Saya kalau mendengar pernyataan-pernyataan Amien Rais, sungguh membuat saya cemas terhadap Pemilu 2019 yang akan datang. Semoga saja ini hanya merupakan kecemasan saya pribadi, tidak menjadi kecemasan masyarakat pada umumnya.
Setiap pernyataannya, sungguh tidak menenangkan. Padahal dari seorang yang sepuh seperti beliau, harusnya kita mendapat banyak teladan yang baik, akhlak orang tua yang baik, bukanlah ketakutan-ketakutan yang menghantui kondisi Pemilu yang menjadi Pesta Demokrasi, yang dilaksanakan setiap Lima tahun sekali.
Saya mencemaskan situasi Pemilu seperti yang dialami Republic Democratic Kongo (RDC), dimana kericuhan terjadi baik sebelum Pemilu dilaksanakan, maupun setelah Pemilu dilaksanakan, saat RDC melaksanakan Pemilu 2018 yang baru lalu.
Memang secara situasi dan kondisi politik saat ini di Indonesia, sangat berbeda dengan situasi dan kondisi politik di Kongo. Namun hal-hal yang memicu kericuhan tersebut, indikatornya hampir sama. Tidak adanya kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, dan pengaruh sentimen terhadap Rezim yang berkuasa, menjadi pemicu awalnya.
Amien Rais tidak segan-segan untuk memprovokasi ibu-ibu, agar setiap pengajian tetap menyuarakan sentimen terhadap Jokowi. Bahkan Amien Rais sanggup mengatakan Pilpres 2019, seperti perang badar. Partai yang berseberangan dengan Partai oposisi, adalah Partai setan.
Semua ucapan yang dimuntahkan dari mulut Amien Rais penuh dengan nada permusuhan. Lihat saja cara dia mengintimidasi KPU, dia sudah mengindikasikan kalau KPU akan berbuat curang. Dia akan minta Prabowo untuk mundur kalau ternyata KPU benar-benar melakukan kecurangan.
Saya menduga, Amien Rais sedang melakukan Conditioning terhadap apa yang akan terjadi. Ini merupakan pra-kondisi dari 'Skenario Kalah," kalau kemungkinan kalah, maka yang akan dikondisikan adalah situasi seperti yang dia katakan.
Yang jelas KPU akan menjadi sasaran utama, menolak semua hasil Pemilu, karena Pemilu dianggap curang. Polemik soal DPT dan orang asing masuk dalam DPT, menjadi pintu masuk bagi oposisi untuk menolak hasil Pemilu, akibatnya Pemilu menjadi kisruh.
Pemilu Kongo juga sempat kisruh sebelum dimulai, karena gudang KPU terbakar, 7.000 mesin penghitung suara habis terbakar. Saling tuduh antara Rezim berkuasa dan pihak oposisi. Oposisi menganggap Rezim berkuasa sengaja membakar untuk mendiskreditkan oposisi.
Barnabé Kikaya bin Karubi, seorang penasehat kepresidenan, menyalahkan pelaku yang identitasnya belum diketahui itu. Ulah penjahat tersebut membuat sekitar 7.000 dari 10.000 mesin pemungutan suara rusak.
Sebaliknya, Para pendukung oposisi mengklaim, kebakaran itu sengaja dilakukan oleh pihak Joseph Kabila, pemimpin yang berkuasa sejak 2001, agar ia mendapatkan alasan untuk menunda pemilu.
"Kami sedang berada di bawah bayang-bayang rezim yang kriminal. Insiden ini jelas bukan kecelakaan, melainkan sebuah kesengajaan. Pelaku utamanya adalah rezim itu sendiri," tegas Valentin Mubake, mantan sekretaris jenderal partai oposisi Union for Democracy and Social Progress (UPDS), seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (14/12/2018).
Ketegangan antara pihak oposisi dengan Rezim berkuasa Kongo, ada kemiripan dengan ketegangan antara oposisi dan Rezim berkuasa di Indonesia saat ini.
Sentimen kekuasaan dan politik begitu tajam, sehingga api kecemburuan terhadap Petahana Jokowi, yang dianggap penuh dengan fasilitas, dan sangat berkemungkinan bisa mengintervensi idependensi KPU. Sentimen ini kalau terus digosok, sangat mungkin akan memicu kericuhan.
Sebagai masyarakat, jelas kita tidak ingin apa yang terjadi di Kongo tidak terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk lebih besar, dan memiliki pandangan yang lebih maju, jelas sangat mengharapkan Pemilu yang Damai. Cukuplah peristiwa 1998 menjadi pengalaman pahit bangsa ini.
Kalah dan menang dalam sebuah kontestasi politik, hanyalah bagian dari menjalankan Takdir Tuhan. Senang menerima kemenangan, tidak bersedih menerima kekalahan. Menang dan kalah, keduanya hanyalah soal peruntungan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews