Faktor Inilah yang Buat Indonesia hanya bisa Di-Iran-kan, tidak Di-Suriah-kan

Senin, 22 April 2019 | 18:17 WIB
0
267
Faktor Inilah yang  Buat Indonesia hanya bisa Di-Iran-kan, tidak Di-Suriah-kan
Sumber Aljazeera.com

Hari itu, 17 Desember 2010, kemarahan Mohammed Bouazizi sudah tidak lagi terbendung. Ia begitu marah pada pemerintah setelah gerobak yang dipakainya untuk berjualan sayuran dan bebahahan disita aparat Kota Sidi, Tunisia.

Bouazizi yang frustasi karena tidak mampu membayar uang pungli kepada aparat yang menyita gerobak miliknya itu lantas membeli sebotol bensin. Diguyurnya bahan bakar itu kesekujur tubuhnya.

Lantas, lelaki berusia 26 tahun itu memantik api.

“Blub!”

Seketika api membakar tubuh Bouazizi.

Dalam tempo singkat, foto terbakarnya Bouazizi memviral lewat Twitter. Apinya membakar kemarahan rakyat Tunisia. Seketika rakyat Tunisia turun ke jalan memprotes pemerintah Tunisia. Gelombang protes terus membesar. Meski telah berupaya semaksimal mungkin, Presidin Tunisia Ben Ali yang terlah berkuasa selama 23 tahun pun menyerah dan menyatakan lengser dari singgasananya pada 14 Januari 2011.

“Api Bouazizi” terus menjalar dari Tunisia ke berbagai negara Arab lainnya. Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah terbakar. Satu persatu pemimpin yang telah menguasai negaranya selama puluhan tahun digulingkan atau terancam digulingkan. Dan, sampai saat ini “api Bouazizi” yang telah menciptakan Arab Spring itu masih terus menjalar.

Sebelumnya pasti tidak seorang pun yang berpikir kalau rontoknya negara-negara di Timur Tengah diawali oleh kemarahan seorang pedagang kaki lima yang mengakhiri hidupnya dengan membakar diri. Artinya, semua kemungkinan bisa terjadi. Karenanya jangan pernah menyepelekan segala macam isu terkait aksi unjuk rasa menentang hasil Pemilu 2019, khususnya Pilprers 2019.

Gelombang protes rakyat Tunisia pastinya tidak terjadi tanpa ada situasi atau kondisi yang mendahuluinya. Demikian juga dengan rakyat Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Sebelum Bouazizi membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan di negaranya, rakyat Tunisia pastinya sudah merasakan situasi yang sama. Adanya persamaan rasa senasib sepenanggungan inilah yang kemudian mendorong rakyat Tunisia turun ke jalan untuk mendesak mundur presidennya.

Indonesia memang bukan Tunisia. Indonesia juga bukan Mesir, Libya, Yaman, ataupun Suriah. Tetapi, seperti halnya situasi yang melatarbelakangi konflik di negara-negara Timur Tengah tersebut, bagi kelompok atau kubu pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pelaksaanaan Pilpres 2019 dipenuhi oleh berbagai macam ketidakadilan dalam bentuk kecurangan-kecurangan.

Memang benar, tudingan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pelaku kecurangan tidak lebih dari sebuah pepesan kosong belaka. Karena, hanya dengan memanjangkan sedikit saja “sumbu”, sederetan kecurangan yang dituduhkan oleh pendukung Prabowo-Sandi dapat dengan mudah dipatahkan. Apalagi, dari sekian banyak tuduhan tersebut, bisa dikatakan 80 persen di antaranya terbukti hoax.

Masalahnya, sekalipun pihak terkait dan juga netijen sudah berupaya keras menjelaskannya, dan pastinya dengan argument-argumen yang masuk akal, namun semburan propaganda hitam tentang kecurangan pemilu lebih kencang tenimbang kucuran penjelasannya.

Selain itu, sama seperti pada keislaman Prabowo, para pendukung pasangan nomor urut 02 sudah menutup matanya pada setiap penjelasan maupun bantahan. Bagi kelompok masyarakat ini, Prabowo-Sandi dicurangi dan kubu Jokowi-Ma’ruf adalah pelakunya.

Atas ketidakadilan dalam pelaksanaan Pilpres 2019 yang pendukung Prabowo-Sandi rasakam itulah, besar kemungkinan hasil resmi Pilpres 2019 yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum akan ditolak mentah-mentah.

Masalahnya, sepertinya ada dua scenario yang kemungkinan besar akan dilakoni secara pararel. Pertama, menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, menyalurkan kemarahan atas rasa ketidakadilan lewat people power.

Amien Rais sendiri sudah menegaskan jika ia tidak akan membawa dugaanj kecurangan pemilu ke MK. Mantan Ketua Umum PAN tersebut bahkan sudah mengultimatum akan menurunkan people power bila terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019.

Untuk memenangkan gugatan ke MK sepertinya akan menemui kegagalan. Lantaran, sampai detik ini belum ada informasi terkait dugaan kecurangan Pilpres 2019 yang terbukti kebenarannya atau terbukti dapat mengubah hasil resmi Pilpres 2019.

Karenanya, skenario people power bisa dipastikan tinggal menunggu waktu. Apalagi jika berkaca pada Pilpres 2014 di mana terjadi sejumlah bentrokan saat berlangsungnya siding gugatan pemilu yang digelar di MK. Dan, jika mengamati perkembangan sampai detik ini, bentrokan yang terjadi terkait hasil Pilpres 2019 jauh lebih dahsayat tenimbang bentrokan yang terjadi lima tahun yang lalu.

Dan, berkaca pada Pilpres 2009 di Iran, chaos bisa dipicu hanya dengan di-viral-kannya informasi hoax.  Jika mengamati masifnya penyebaran informasi hoax di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dan begitu mudahnya masyarakat termakan oleh informasi menyesatkan tersebut, terpicunya chaos akibat dari tersebar luasnya konten hoax kemungkinan besar juga bisa terjadi di Indonesia pasca-Pilpres 2019.

Pertanyaannya, apakah chaos yang terjadi akibat dari luapan kemarahan pendukung Prabowo dapat men-Suriah/Libya/Yaman-kan Indonesia dalam artian berujung pada meletusnya perang saudara, melahirkan revolusi seperti di Tunisia dan Mesir, atau hanya sakadar sanggup meng-Iran-kan Indonesia?

Salah satu penyebab terjadinya perang saudara yang terjadi di Suriah, Libya, dan juga Yaman adalah terpecah belahnya militer dalam dua kelompok besar yang saling bertentangan. Di Suriah, misalnya, tentara pro pemerintah Bashar Assad berhadapan dengan tentara pemberontak yang menyebut kelompoknya Free Syrian Army. Sama seperti di Libya, saat tentara pro-pemerintah berhadapan dengan tentara pemberontak, kelompok-kelompok teroris datang dan menimbulkan kekacauan sehingga situasi semakin sulit dikendalikan.

Sementara, di Tunisia dan Mesir, tentara tetap solid dalam satu komando. Karenanya, meskipun di kedua negara tersebut terjadi chaos, perang saudara tidak terjadi. Di kedua negara yang berada di benua Afrika tersebut, chaos hanya berujung pada pergantian tongkat kepemimpinan nasional. Di Tunisia, Presiden Jenderal Zine el Abidine Ben Ali dijatuhkan dan digantikan oleh Mohamed Ghannouchi yang mendeklarasikan diri sebagai Pelaksana Tugas Presiden. Setelah Ghannouchi lengser hanya beberapa jam setelah deklarasi, pemerintahan Tunisia dipegang oleh Moncef Marzouk.

Sebenarnya, di Tunisia pun kelompok teroris ISIS sempat numbrung ikut bermain. Tetapi, lantaran soliditas tentara Tunisia, upaya ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya yang ingin mengacaukan Tunisia mampu diredam.

Sebagaimana tentara Tunisia, tentara Mesir pun solid di bawah komando Jenderal Abdul Fatah as Sisi. Di tangan As Sisi, soliditas tentara Mesir berhasil meredam konflik antar anak bangsa pasca aksi unjuk rasa  besar-besarnya yang berujung pada tergulingnya Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011. Sama seperti di Tunisia, di Mesir pemerintahan sempat berganti dari Mubarak ke Muhammad Mursi sebelum kemudian diambil alih oleh As Sisi.

Sebaliknya, aksi unjuk rasa besar-besaran di Iran pasca-Pilpres Iran 2009 hanya sanggup menimbulkan kerusuhan. Meskipun kerusuhan tersebut membesar lantaran menjalar ke sejumlah daerah di Iran, tentara Iran yang dimotori oleh Garda Republik sanggup meredamnya. Sehingga, chaos yang terjadsi di Iran tidak menyebabkan pergantian kepemimpinan nasional, apalagi sampai terjadi perang saudara.

Bagaimana dengan Tentara Nasional Indonesia ?

Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini solid di bawah komando Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Di sisi lain, Polri sebagai aparat bersenjata juga dalam kondisi solid di bawah kepemimpinan Jenderal Pol. Tito Karnavian. Dan, lebih dari itu, kedua institusi yang pada masa Orde Baru tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini pun dalam kondisi kompak.

Dengan soliditas dan kekuatan yang dimilikinya, baik TNI maupun Polri berikut institusi intelijen dipastikan sanggup meredam chaos bila mana nanti terjadi di Indonesia pasca-Pilpres 2019. Karenanya, meskipun ISIS “cabang” Indonesia, kelompok-kelompok teroris dan kelompok-kelompok radikal lainnya ikut bermain dalam memperkeruh situasi, TNI dan Polri dipastikan siap menghadapinya.

Dengan demikian, meskipun dalam aksi people power nantinya lahir seorang atau lebih martir, situasi kemanan Indonesia akan tetap terkendali. Seorang atau lebih yang menjadi atau dijadikan martir tidak akan menjadikannya seperti Bouazizi.

Karenanya, serusuh-rusuhnya situasi Indonesia terkait Pilpres 2019, pemerintahan tidak akan berganti. Dan, dengan soliditas TNI, juga Polri, Indonesia hanya bisa di-Iran-kan, Indonesia tidak akan bisa di-Tunisia-kan, apalagi sampai di-Suriah-kan.

Selanjutnya, Pemilu Presiden 2019 akan sampai pada pelantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Meskipun demikian, meningkatnya militansi kelompok-kelompok jihadid tetap harus diwaspadai. Lebih dari itu, merambatnya pengaruh kelompok-kelompok jihadis ke sejumlah elemen masyarakat di Indonesia harus dapat ditangkal oleh pemerintah.