Sukarno, Marhaen dan Jokowi

Minggu, 6 Januari 2019 | 13:00 WIB
2
906
Sukarno, Marhaen dan Jokowi
Sumber foto: www.youtube.com

"Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia"

"Tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!" Ujar seorang pelukis jalanan mengutip pidato Bung Karno saat sidang BPUPKI 1 Juni 1945.

"Saya mengenal Bung Karno lewat lukisan ini, semakin saya melukis, semakin saya mengenal beliau," ujarnya. Baginya Bung Karno adalah inspirasi. Bukan hanya bagi sang pelukis, tapi bagi banyak khalayak, Bung Karno adalah inspirasi sekaligus pelecut semangat.

Bung Karno menambahkan di dalam pidatonya: "Negara Republik Indonesia ini bukan milik satu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik golongan suatu adat-istiadat, tetapi milik kita semua".

Di dalam pidato itu jelas terlihat kemana arah bangsa ini dibentuk di awal, ini sekaligus mematahkan dominasi agama tertentu ketika perumusan Pancasila, dimana saat piagam Jakarta tercantum kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Tidak ada agama tertentu bagi Indonesia. Memang secara demografis Islam adalah mayoritas, tapi cita-cita bangsa ini di awal adalah bagi seluruh rakyat, sama rata, sama rasa. Akhirnya kalimat "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dihilangkan.

Penghilangan kalimat tersebut ternyata menimbulkan efek yang besar, salah satunya adalah pemberontakan DI/TII yang ditunggangi oleh kepentingan para eks tentara KNIL yang sakit hati karena tidak diterima masuk TNI padahal mereka bekas pejuang.

Tapi tindakan tegas diambil, DI/TII dimusnahkan. Artinya, tidak ada kans bagi seseorang atau kelompok yang ingin menguasai atau menonjolkan diri hingga ingin memisahkan diri dari Indonesia. Semangat Bung Karno diterapkan dengan baik oleh TNI.

Era berganti, Bung Karno boleh lengser, tapi semangatnya tidak. PNI, partai kendaraan Bung Karno, yang membawa semangat Marhaen dan demokrasi bertransformasi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Era kapitalisme ala Orde Baru telah membuat bangsa ini terpuruk, budaya korupsi berkembang, yayasan-yayasan yang dibentuk justru berubah menjadi funder bagi perusahaan-perusahaan elit keluarga. PDI yang membawa DNA Sukarno melalui anak wanitanya, Megawati dianggap ancaman. Baik ancaman bisnis maupun ancaman ideologi.

PDI digembosi, segala cara, namun itu tidak mempan. Tragedi 27 Juli 1996 justru semakin membuat nama Megawati melambung, Indonesia butuh reformasi. PDI pun menjadi PDI-P, huruf "P" dibelakang memiliki kepanjangan "Perjuangan", sebagai simbol mengenang perjuangan mereka untuk tetap bertahan melawan tiran.

Dan 2014, PDI-P diwakili oleh sosok Marhaen sesungguhnya; Jokowi, sosok rakyat yang tidak banyak bicara, sosok rakyat yang lebih suka bekerja, dan menghasilkan hal-hal yang dinikmati oleh rakyat, seluruh rakyat, baik pendukungnya, maupun oposisi bahkan penghinanya sekalipun.

Jokowi pun tak segan menggebuk dana yayasan orde baru. Sisa dana korupsi sebesar 4,5 Trilyun (dengan kurs 1 USD = Rp. 14.500) harus dikembalikan oleh ahli waris Soeharto dan kroninya, tiada ampun. Termasuk dana-dana yang digelontorkan untuk banyak perusahaan, termasuk perusahaan kayu, PT Kiani Nusantara. Oposisi kelabakan, klan orde baru pun merapat untuk melawan sosok kurus ceking itu.

ya, Jokowi menggambarkan dengan pas sosok Marhaen, seorang petani kecil yang menginspirasi Sukarno untuk membentuk negara dengan keadilan bagi semua. Seorang petani dan seorang tukang kayu, perpaduan profesi yang menyimbolkan Indonesia, sangat Indonesia.

Sebuah cita-cita Sukarno yang saya tulis di paragraf pertama tercapai saat ini. Mungkin jika Sukarno hidup kembali, niscaya dia akan datang memeluk Jokowi, bersama bendera Merah Putih.

Sukarno pun berbisik: "Ku titipkan negeri ini padamu"

***