Tahun 2019 merupakan tahun pemilihan umum (Pemilu) buat warga negara Indonesia. Pada hari pencoblosan nantinya kita sebagai warga negara yang baik harus ikut serta dalam Pemilu yang tahun ini, Pilpres (Pemilihan Presiden) disatukan dengan memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dan daerah, juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Di setiap Pemilu, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menjadi sorotan. Semua pihak selalu berharap agar KPU bisa netral dan tidak berpihak. Hingga Pemilu 2019 kali ini pun selalu berharap, agar KPU bisa netral. Bahkan ada yang mempertanyakan, bagaimana seleksi anggota KPU nya, hingga tim seleksi mampu memilih calon terbaik dari berbagai calon melalui seleksi yang sangat ketat.
Saya ingin sedikit memaparkan pengalaman saya mengikuti tes seleksi untuk calon anggota KPU. Itu terjadi pada di tahun 2007. Tes yang dilakukan Sarlito Wirawan banyak memunculkan protes. Saya di harian "Kompas," edisi Rabu, 8 Agustus 2007 protes bahwa tes kepada para peserta lebih ditekankan kepada tes psikologi.
Tes itu menyangkut tes kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945. Jadi yang lulus tes dianggap setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan kami yang tidak lulus, termasuk saya dan Indra Jaya Piliang yang tidak lulus?
Akhirnya saya dan Indra Jaya Piliang sama-sama menggugat KPU di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Indra Jaya Piliang menggugat lebih dulu. Saya dan Hasanuddin mendaftarkan diri kemudian pada hari Selasa, 30 Oktober 2007. Bung Indra Jaya Piliang dan saya kalah. Kami sama-sama naik banding. Hasilnya kalah. Siapa yang kami gugat?
Saya dan Bung Indra Jaya Piliang menggugat Departemen Dalam Negeri RI dan Presiden RI. Meski kalah, saya dan Indra Jaya Piliang merasa bangga, sebagaimana ungkapan Indra Jaya Piliang sendiri:
"Saya bersama Pak Dasman Djamaluddin pernah menggugat KPU di PTUN. Apa yang kita lakukan dulu sudah ada catatan hukum yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia, bahwa kalau tidak diperhatikan, inilah hasilnya," ujar Indra Jaya Piliang.
Ia juga menegaskan, buktinya sekarang, semua protes kepada KPU, karena KPU tidak independen lagi waktu itu. Apa yang kita lakukan dahulu, hasilnya baik untuk bangsa ini, meskipun dahulu ketika kita di PTUN, mana yang bantu. Oleh karena itu, saya beranggapan untuk merubah kekuasaan, dengan masuk ke dalam kekuasaan itu sendiri.
Ketika menggugat KPU inilah, Indra Jaya Piliang terjun ke dunia politik. Semangat untuk mengubah sistem politik pun tidak semudah membalikan telapak tangan, karena di dalam political berlaku ungkapan, "Tidak ada teman sejati di dalam politik, yang ada hanya teman seideologi dan teman yang menjadi musuh, karena ideologi..."
Di samping itu, Indra Jaya Piliang pernah mengungkapan kepada saya, ketika terjun ke dunia politik banyak ditinggalkan teman-temannya. Ketika mendukung Jusuf Kala dan Wiranto sebagai Capres dan Cawapres, membuat dirinya waktu itu ditinggal teman-teman. Bagaimana pun di dalam politik berlaku adagium yang telah saya sebutkan.
Suatu malam saya terkejut dan tidak percaya Bung Indra Jaya Piliang ditangkap karena mengkonsumsi narkoba jenis sabu di tempat hiburan di Tamansari, Jakarta Barat, Rabu, 13 September 2017, pukul 19.30 WIB. Saya kaget, pun teman yang lain. Tidak percaya. Belakangan polisi membenarkan. Ia akan direhabilitasi karena memakai narkoba, kurang dari 1 gram.
Tidak ada yang tahu, mengapa Indra Jaya Piliang yang tegar, kuat melawan arus kehidupan harus mengibarkan bendera putih, karena kalah. Apakah ini berkaitan dengan penghasilan yang diterimanya tidak sebagaimana ketika menjadi seorang peneliti? Bisa membuat makalah, mengadakan seminar, talkshow dan lain sebagainya?
Agar cerita ini tetap pada alurnya, saya hanya ingin mengharapkan bahwa KPU harus tetap netral dalam Pemilu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews