Klaim Kemenangan dan Teror Bom Molotov, Apa Kaitannya ?

Selasa, 12 Februari 2019 | 21:10 WIB
0
450
Klaim Kemenangan dan Teror Bom Molotov, Apa Kaitannya ?
Ilustrasi bom molotov (Foto: tribunnews.com)

Ketua BPN, Djoko Santosa merilis hasil survei internal kubunya dengan hasil elektabilitas Prabowo unggul dibandingkan Joko Widodo. Lagi-lagi kubu 02 melontarkan informasi tak jelas, bila bicara survei pasti ada data kuantitas, metodologi yang dipakai. Faktanya rilisan Ketua BPN itu tak dibarengi pengungkapan berapa besar prosentase keunggulannya 02 dan data-data kuantitasnya.

Gaya lempar isu tanpa fakta sudah menjadi karakter kubu 02 sejak Pilpres 2014, publik tak akan lupa ketika Prabowo merayakan kemenangan dengan sujud syukur yang di-ekspose TV One besar-besaran. Saat itu, kubu Prabowo-Hatta mendasarkan keyakinan menang pada hasil survei cepat dari lembaga survei Puskaptis. Belakangan terungkap, Puskaptis ternyata dikomandoi oleh orang-orang yang berafiliasi dengan kubu Prabowo-Hatta. 

Modus ini coba kembali diulang jelang Pilpres 2019, meski sebenarnya tak seberapa efektif untuk meningkatkan elektabilitas Pasangan 02. Pesan dari Djoko Santoso sengaja dilontarkan untuk menggoyahkan keyakinan pendukung Pasangan 01, faktanya opini dari berbasis hasil survei internal kubu 02 tak berpengaruh banyak bagi pemilih 01.

Pada sisi lain bisa diartikan pernyataan Ketua BPN Prabowo-Sandi untuk menghibur pendukung Pasangan 02 yang makin pesimis terhadap kemenangan sang junjungan pada Pilpres 2019. Mengingat tidak sedikit loyalis dan pendiri Gerindra sendiri, seperti Muhdi PR ternyata tak mendukung Prabowo yang tak lain adalah teman dekatnya. 

Di tubuh koalisi 02 juga mulai tak kompak, tak sedikit calon anggota legislatif dari Partai Demokrat mendeklarasikan diri mendukung Joko Widodo-Amien, padahal secara formal PD mendukung pencalonan Prabowo-Sandi. Meski fenomena ini bukan hal baru, pada Pilpres 2014 sejumlah caleg dari Golkar juga mendukung Jokowi-JK sedangkan Golkar saat itu mengusung Prabowo-Hatta.

Bedanya saat itu JKW-JK saat itu tak didukung oleh partai yang mendukung JKW-Amin saat ini, fenomena ini menunjukan kegamangan di tubuh PD untuk mendukung Capres-Cawapres yang didukungnya. Saat ini hanya dua partai yang solid mendukung Pasangan 02 yaitu Gerindra dan PKS, keduanya tak mempunyai pilihan lain selain mengikuti ambisi Prabowo merebut kursi RI 1 terakhir kalinya. 

Tak bisa dipungkiri, kubu koalisi hanya bisa berharap dari kantong suara SUV (Swing Voters & Undecided Voters) , menurut hasil survei lembaga survei independen prosentasenya berkisar 20 persen dari total pemilih. Kelompok ini diidentifikasi dari kelompok umur Millenial antara umur 20 - 30 tahun, ciri yang menonjol adalah generasi ini melek tehnologi digital dan preferensi politiknya lebih cair dibandingan generasi sebelumnya. Tak heran, baik kubu 01 dan 02 berlomba - lomba merangkul kelompok umur ini untuk memperkuat suara. 

Bagi kubu 01 bila dapat mendulang suara dari kelompok Millenial makin memperkokoh legitimasinya, sebaliknya bila tidak pun dari beberapa survei Jokowi-Amien masih aman. Sebaliknya bagi kubu 02 harus mati-matian mendulang suara dari kelompok ini untuk mengimbangi suara petahana, nah bila gagal meyakinkan SUV artinya lenyap sudah harapan berkuasa. 

Detik-detik pertarungan keras makin terlihat sejalan dengan mendekatnya waktu Pilpres bulan April ini, kerja keras harus dilakukan kubu 02 agar dapat mendongkrak elektabilitas calonnya di mata Millenial. Pertarungan darat dan udara makin sengit, kanvasing door to door, perang tagar di media sosial bakal makin tinggi intensitasnya.

Tak heran bakal timbul ekses-ekses di lapangang seperti kekerasan fisik antar pendukung tak dapat dihindari. Sebenarnya kontestasi politik 5 tahunan ini tak hanya pertarungan darat dan udara, ada operasi inteljen dari dua belah yang melibatkan mantan - mantan pakar di bidang itu. 

Bisa jadi serangan bom molotov di beberapa di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah bagian operasi ini, mengingat kedua daerah ini adalah lumbung suara bagi Pasangan 01. Operasi rahasia menebarkan ketakutan dan teror di masyarakat bukan hal baru di Indonesia, masyaratnya heterogen sehingga rawan untuk diprovokasi lewat isu agama dan etnis.

Siapakah yang bertanggung jawab? Pastinya saat ini Jawa Tengah terutama kota Solo bakal makin memanas menjelang Pilpres dan Pemilu 2019 , siapa yang akan memanaskan tentu dapat ditebak siapakah yang akan mendapat keuntungan politik bila peristiwa itu terjadi.

Kubu mana yang mempunyai rekam jejak teror dan hoaks kemenangan?

***