Tafsir Yuridis-Formal “Pahlawan”

Jika relaksasi nomenklatur pahlawan berdasarkan bidang jasa dan pengorbanan menjadi politik hukum pemerintah (negara), maka saran dan usulan dari berbagai kalangan dan menjadi polemik publik bisa diakomodasi.

Jumat, 11 Februari 2022 | 09:21 WIB
0
181
Tafsir Yuridis-Formal “Pahlawan”
Milenial ilustrasi (Foto: Kompasiana)

Definisi (konseptual atau operasional) merupakan salah satu unsur dari paradigma (Kuhn, 1970). Setiap orang bisa merumuskan definisi secara individual. Tetapi, definisi sebagai paradigma haruslah yang telah disepakati, digunakan atau dipraktikkan bersama di kalangan komunitas tertentu (keilmuan, profesional, dll). dalam memecahkan masalah atau teka-teki yang dihadapi. Ini berlaku juga untuk definisi “pahlawan”.

Selama ini, kajian tentang pahlawan (hero), kepahlawanan (heroism) merupakan objek kajian ilmu sejarah yang dilakukan oleh para sejarawan. Pendefinisian pahlawan dan kepahlawanan pun dilakukan oleh para sejarawan. Namun, pemberian atau penganugerahan “gelar pahlawan” tidak serta-merta bisa dinisbatkan kepada para sejarawan, melainkan kepada Presiden sebagaimana diamanatkan di dalam pasal 15 UUD 1945. Karenanya, bisa jadi, definisi pahlawan dan kepahlawanan dari Presiden tidak selalu segaris dengan definisi yang diberikan oleh sejarawan.

Bangsa Indonesia lahir dari sebuah perjuangan dan kerja keras yang panjang. Tidak hanya bermodalkan semangat dan mimpi untuk mewujudkan kemerdekaan, tetapi dibutuhkan pengorbanan yang besar. Jasa, perjuangan, dan pengorbanan mereka harus menjadi contoh dan teladan bagi kita sebagai generasi penerus bangsa. Karena, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan perjuangan para pahlawannya”, kata Presiden Soekarno.

Persoalan gelar pahlawan akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dan menarik untuk didiskusikan. Banyak gagasan yang muncul terkait dengan gelar pahlawan ini. Persoalan pahlawan dan kepahlawanan pun tampaknya tidak lagi hanya dimaknai dalam perspektif sejarah dan/atau kesejarahan yang merupakan domain wilayah kajian sejarawan. Setiap komunitas memiliki perspektif sendiri tentang apa, mengapa, dan bagaimana pahlawan dan kepahlawanan. Bahkan, sejarawan Bondan Kanumoyoso menyarankan agar definisi pahlawan di era milenial perlu diubah, dan mencakup mereka yang dinilai berjasa besar di bidang masing-masing (lingkungan hidup, tenaga kerja, seni, ipteks, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dll.), tidak melulu mereka yang membela kemerdekaan dan kedaulatan yang ancamannya berasal dari luar (Eksa, 2018).

Berdasarkan data dari Kementerian Sosial (Kemsos, 2020; Mirnawati, 2012), gelar pahlawan dianugerahkan pertama kali pada tahun 1959 yang diberikan kepada Abdul Muis, seorang politisi dan penulis. Hingga tahun 2021, penerima gelar pahlawan dari Presiden berjumlah 197 orang. Gelar pahlawan yang dianugerahkan pun beragam, yaitu Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Nasional (30 orang), Pahlawan Pergerakan Nasional Indonesia (43 orang), Pahlawan Proklamator Indonesia (2 orang), Pahlawan Pembela Kemerdekaan Indonesia (25 orang), Pahlawan Revolusi Indonesia (10 orang), Pahlawan Nasional Indonesia (83 orang), Pahlawan Reformasi Indonesia (4 orang).

Para pahlawan bangsa tersebut berasal dari berbagai etnis di Indonesia, meliputi pribumi-Indonesia, peranakan Arab, Tionghoa, India, dan orang Eurasia, serta berasal dari berbagai kalangan seperti perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, ulama, seorang uskup, dll.

Para pahlawan tersebut berasal dari 32 daerah (provinsi) di Indonesia, dan lima daerah terbanyak adalah Jawa Tengah (30 pahlawan), Jawa Timur (27 pahlawan), DI Yogyakarta (23 pahlawan), Sumatera Barat & Utara (@12 pahlawan), Sulawesi Selatan (11 pahlawan), dan Jawa Barat (10 pahlawan).

Apa dan Mengapa Pahlawan

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden) terkait dengan pembinaan dan penghargaan terhadap pahlawan, secara yuridis-formal pahlawan didefinisikan sebagai (1) setiap warga negara Indonesia atau seseorang, (2) yang sudah gugur atau meninggal dunia (almarhum/almarhumah) dan telah berjasa dan berkorban untuk bangsa dan negara (NKRI) dalam bentuk (3) melakukan tindakan kepahlawanan berjuang membela NKRI, atau (4) menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia, serta (5) selama hidupnya tidak ternoda oleh suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacad nilai perjuangan karenanya (BPK-RI, 2017).

Dalam definisi tersebut ada 4(empat) aspek yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk disebut dan diberi penghargaan (gelar, tanda jasa, tanda kehormatan) sebagai pahlawan. Pertama, WNI (pribumi atau non-pribumi); kedua, sudah gugur/meninggal dunia; ketiga, berjasa dan berkorban untuk bangsa dan negara (NKRI); dan keempat, tidak ternoda/tercela selama hidupnya. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, dan tidak berdiri-sendiri atau terpisah.

Pertimbangan Politik Kekuasaan?

Penganugerahan penghargaan sebagai pahlawan tampaknya juga ada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik, sosial, budaya, dll. Walaupun hal ini tentu tidak secara tertulis disebutkan di dalam pertimbangan (konsideran) hukum keputusan atau perturan Presiden.

Ada beberapa pertimbangan yang bersifat NON yuridis-formal dalam penetapan pahlawan. Pertama, pertimbangan politik pembinaan kerukunan dalam kehidupan politik pemerintah/negara, seperti saat penganugerahan pahlawan kepada Tan Malaka dan Alimin untuk kepentingan politik NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) di era Soekarno. Kedua, pertimbangan politik untuk menarik soliditas simpati dan dukungan rakyat dalam menggalang kekuatan persatuan pada projek-projek mercusuar di era Soekarno. Hal ini terjadi saat penganugerahan pahlawan kepada Abdul Muis, Suwardi Suryaningrat (K.H. Dewantoro), dan Suryopranoto. Ketiga, pertimbangan politik pembinaan kesadaran kebangsaan (nasionalisme), seperti penganugerahan pahlawan kepada para pejuang yang menentang VOC atau Belanda diantaranya Diponegoro, Tirtayasa, Pattimura, Tuanku Tambusai, dll. Keempat, pertimbangan “politik golongan” yang dianugerahkan kepada kalangan meliter seperti Basuki Rachmat, dan para pahlawan revolusi, termasuk dalam kategori ini adalah penganugerahan pahlawan kepada Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto. Kelima, pertimbangan politik “pemerataan kedaerahan”, seperti ketika menetapkan Tombolotutu, Sultan Aji Muhammad Idris, Usmar Ismail, dan Raden Arya Wangsa Kara sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2021.  

Pertimbangan non-yuridis formal seperti itu, kemudian dipersepsi bahwa pengangkatan pahlawan lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat formalistik dan berorientasi pada  kekuasaan, daripada nilai-nilai kebangsaan dan sejarah, serta diindikasikan sebagai projek daerah untuk mengangkat identitas dan harga diri kedaerahan (Djegadut, 2020; Kurniawan,  2021). Persepsi ini boleh dan sah-sah saja, walaupuntidak sepenuhnya benar. Keenam pertimbangan politik pemerintah dalam penetapan pahlawan tersebut di atas tidak ada yang salah, walaupun bisa saja ada “bias politik dan kekuasaan” dan belum dianggap merepresentasikan konstruksi yang utuh tentang pahlawan dan kepahlawanan.

Sejatinya, hal ini, sekali lagi, terkait dengan persoalan “tafsir atau interpretasi” tentang apa pahlawan dan kepahlawanan. Tafsir bisa dilakukan oleh siapa saja dan selalu kontekstual sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist). Tetapi, dalam konteks kenegaraan, tafsir yang “benar dan sah” adalah yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden). Jika pun ada indikasi ada bias atau kesalahan (prosedural dan material), toh bisa dilakukan judicial review ke MK (untuk level UU) atau ke MA (dibawah UU); dan/atau bisa saja dilakukan usulan pemakzulan (impeachment) kepada Presiden karena dianggap telah melakukan pelanggaran hukum, sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, pasal 7A.

Jasa dan Pengorbanan: Definisi BARU

Salah satu aspek penting dan utama dari empat aspek yuridis-formal terkait dengan penerima anugerah sebagai pahlawan adalah tafsir tentang “jasa” dan “pengorbanan” seseorang.

Jasa didefinisikan sebagai tindakan seseorang yang menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia; atau nilai kemenangan dan/atau prestasi yang telah dicapai, termasuk pula segala tindak dan/atau perbuatan yang menyebabkan tercapainya kemenangan dan/atau prestasi tersebut. Pengorbanan didefinisikan sebagai penderitaan dan/atau kerugian yang terjadi, akibat suatu pendharmaan diri dalam pelaksanaan tugas dan/atau perjuangan untuk kepentingan Negara dan Bangsa (Perpres No. 33 Tahun 1964; UU Nomor 20/2009).

Kedua aspek tersebut (jasa dan/atau pengorbanan) menjadi parameter bagi negara (pemerintah) untuk menetapkan siapa yang berhak ditetapkan sebagai pahlawan. Yang penting ada bukti  atas jasa dan/atau pengorbanan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Yang menarik dalam definisi tersebut adalah adanya perluasan makna, yang bisa kita pandang sebagai “definisi baru” tentang pahlawan. Pahlawan tidak lagi sebatas seseorang yang berjuang dan gugur di medan pertempuran. Pahlawan adalah mereka yang juga berjasa dan berkorban menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tafsir ini sebenarnya sudah ada pada Perpres No. 33 Tahun 1964 dan UU Nomor 20/2009. Dengan demikian, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa pahlawan hanya dimaknai sebagai seseorang yang berani mengangkat senjata, sehingga pahlawan selalu diidentikkan dengan seorang individu dengan pistol atau bedil di tangan (Kurniawan, 2021), atau hanya untuk mereka yang membela kemerdekaan dan kedaulatan yang ancamannya berasal dari luar baik melalui jalur perjuangan maupun diplomasi (Media Indonesia, 2018).

Bahkan, definisi tersebut menjadikan pahlawan bisa mencakup berbagai bidang jasa dan pengorbanan, meliputi aspek ekonomi, demokrasi, sosial, ipteks, perjuangan wanita (emansipasi), jurnalistik, sastra, penyelamatan lingkungan, penegakan hukum, ulama, dll. Abdul Muis, Usmar Ismail, Ismail Marzuki, K.H. Idham Chalid, Jenderal (Purn) R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Hj. Fathimah Siti Hartinah Soeharto, R.A. Kartini, Roehana Koeddoes, dan para pahlawan Reformasi seperti Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Herry Hertanto, adalah beberapa pahlawan di luar jalur perjuangan bersenjata dan diplomasi.

Walaupun jumlahnya masih sedikit, paling tidak, hal ini membuka kemungkinan munculnya orang-orang yang menonjol di bidang masing-masing untuk menjadi pahlawan. Tentu saja, klasifikasi pahlawan pun akan bertambah, melengkapi nomenklatur gelar-gelar pahlawan yang sudah ada. Misalnya, pahlawan ekonomi, pahlawan hukum, pahlawan devisa, pahlawan lingkungan, dan pahlawan-pahlawan lain yang berjasa dan berjuang demi bangsa dan negaranya. Jadi, persoalannya sesungguhnya terletak pada penggunaan nomenklatur pahlawan yang terkesan berorientasi pada pahlawan perang dengan kekuatan senjata dan diplomasi. Selain, penggunaan nomenklatur yang masih umum. Nomenklatur Pahlawan Nasional Indonesia (83 orang), misalnya, jika dicermati di dalamnya terdiri dari pahlawan-pahlawan dari sejumlah bidang jasa dan perjuangan. Pahlawan Reformasi Indonesia juga merupakan nomenklatur baru yang muncul di era Jokowi.

Jika relaksasi nomenklatur pahlawan berdasarkan bidang jasa dan pengorbanan menjadi politik hukum pemerintah (negara), maka saran dan usulan dari berbagai kalangan dan menjadi polemik publik bisa diakomodasi. Termasuk kemungkinan munculnya pahlawan dari Generasi Millenial (Majni, 2018; Eksa, 2018). InsyaAllah.

 

Semoga menginspirasi

Salam 

Tangsel, 9 Februari 2022