Kritik dan Pemerintahan "Ngomdo"

Jika Jokowi siap membangun sistem dan mekanisme, agar kritik itu mendapat respons berupa tindakan nyata, saya siap memberikan beberapa materi kritik.

Selasa, 16 Februari 2021 | 19:48 WIB
0
172
Kritik dan Pemerintahan "Ngomdo"
Presiden Joko Widodo (Foto: CNN Indonesia)

Jokowi meminta masyarakat untuk aktif mengritik Pemerintah. Seperti biasa, apapun yang dikatakan Presiden, akan menjadi santapan politik bagi yang berposisi berseberangan. Demikian pula para pengamat, juga beberapa politikus, memakai momen itu untuk mendesakkan perubahan UU-ITE.

Meski saya juga keberatan dengan UU-ITE, saya tak ingin membahasnya di sini. Karena sebagian argumen mereka yang keberatan UU-ITE, bercampur baur dengan persepsi (juga perspektif) mereka yang bias mengenai ‘apa itu’ kritik.

Tanpa pemahaman yang sama mengenai ‘kritik’ per-definisi, persoalan pokoknya juga akan menjadi bias. Beberapa contoh yang disodorkan Kontras, misalnya, mengenai banyaknya korban UU-ITE yang dianggap ‘kritis’ pada Pemerintah, perlu dijelaskan secara proporsional. Karena contoh-contoh yang dikemukakan terlihat bias.

Bukan soal cara, tapi materi dari apa yang disebut mereka sebagai ‘kritik’ itu. Pertanyaan Jusuf Kalla dan pernyataan Rocky Gerung, sama konyolnya.

Kritis dan kritik, dalam pemahaman bahasa Indonesia, sangat berbeda. Kita sering salah melihat hal itu, karena bias kepentingan untuk membangun dasar argumennya. Meski pada praktiknya, pelaksanaan UU-ITE juga sering bias, karena hukum dan keadilan tidak berjalan paralel.

Hukum tidak ditegakkan secara konsisten, karena bias pula dengan persoalan politik. Lihat saja bagaimana ‘perlakuan’ Polisi (baca; Pemerintah) untuk orang-orang tertentu, di mana Menkopolhukam dan Menteri Agama pun juga harus membelanya.

Lepas dari permasalahan tersebut, ketika Jokowi menjelaskan mangsud baiknya, agar rakyat berani mengritik, bagi saya hanya akan bermakna ngomdo ketika Pemerintah tidak membangun sistem dan mekanismenya. Bagaimana dan di mana kritik (yang sebenarnya kritik, karena ada yang disebut kritik tapi tak memenuhi kriteria itu selain ujaran kebencian) itu akan bermuara dan dikemanakan?

Jika pemerintahan Jokowi menindaklanjuti hal itu dengan membangun infrastruktur atau instrumennya, ajakan itu akan terasa masuk akal dan produktif. Jika pemerintah hanya berjanji menerima, semua menjadi tak ada gunanya.

Hal itu justeru akan menambah frustrasi masyarakat. Karena sama posisinya dengan parlemen, yang tak mewakili aspirasi rakyat sebagai pengawas jalannya Pemerintahan. Parlemen bahkan dituding bagian dari persoalan Indonesia (yang mesti dibenahi).

Tindak lanjut dari Pemerintah, sebenarnya sederhana. Harus disampaikan lewat mana dan apa. Siapa yang menangani itu. Bagaimana kemudian distribusi dan eksekusinya. Jokowi mungkin bisa belajar dari Ahok ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (2014 – 2017). Ahok menciptakan aplikasi ‘qlue’, yang pada kenyataannya justeru ditolak oleh RT-RW DKI Jakarta. Karena kenyataannya, 'qlue' menutup peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang punya otoritas kekuasaan, sekecil apapun.

Dengan ‘qlue’ untuk mendengar keluhan atau laporan dari masyarakat, Ahok membentuk tim tersendiri, di luar birokrasi pemerintahan. Langsung dalam penanganan dan pengawasannya. Tim tersendiri ini yang kemudian bertindak, atau meneruskan pada bagian yang punya kewenangan menangani apa yang menjadi pokok keluhan, masukan, dan kritik masyarakat. Semua dilakukan secara transparan, bisa diakses dan diawasi bersama.

Baca Juga: Ketika JK Menertawakan Jokowi

Jika Jokowi siap membangun sistem dan mekanisme, agar kritik itu mendapat respons berupa tindakan nyata, saya siap memberikan beberapa materi kritik, yang sudah saya simpan lama. Mengenai kinerja Kemenkominfo, Kemendes dan Dana Desa, Kemen ATR/BPN, Danais, dan masih banyak lagi. Nanti kalau saya sebutin, nasib saya bisa celaka.

Sebagaimana Kementerian ATR/BPN pun, sebenarnya sudah membuka Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (dan secara bagus disingkat; LAPOR). Untuk janji transparansi, banyak kementrian melakukan hal yang sama. Tapi hanya berhenti pada slogan ‘good and clean governance’. Karenanya, jika tanpa sistem dan mekanisme yang jelas mengenai hal itu, Pemerintah hanya ngomdo (ngomong doang).

Itu kritik saya paling awal, atas permintaan kritik Presiden. Dan saya tidak takut dengan UU-ITE, karena saya mengritik kebijakan Pemerintah. Bukan mengatakan atau menilai Jokowi sebagai pembohong misalnya. Lagian, saya juga menyodorkan alternatif solusinya, ehm. Bukan asal njeplak. Dan saya bukan orang bayaran untuk logika sederhana kek ginian. |

@sunardianwirodono