Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya.
Sudah 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat digeser kedudukkannya. Konon, mereka itu disanksi gegara acara besar yang diselenggarakan FPI dan Habib Rizieq Shihab.
Pertanyaan akhirnya muncul: mengapa ada acara besar lain di daerah lain yang berdekatan harinya Kapolda dan Kapolres setempat tak digeser dan dicopot dari jabatannya?
Bahkan, jauh sebelumnya hingga hari-hari ini cukup banyak peserta Pilkada 2020 yang juga melanggar protokol kesehatan tidak menjadi penyebab Kapolres dan Kapolda ikut digeser seperti 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat itu?
Dari sini banyak kalangan berasumsi terjadi ketidakadilan Polri dalam memberikan tindakan di lingkungan internalnya sendiri. Dan terasumsikan pula bahwa tindakan tegas hukum hanya berlaku bagi yang bukan “pro-kekuasaan”.
Kepulangan HRS tepat Hari Pahlawan, 10 November 2020, itu membuat penguasa (baca: Presiden Joko Widodo) panik. Selama ini, sepak terjang HRS dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika HRS terus-menerus menyerukan Jokowi mundur.
Kendati seruan tersebut tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Seruan tersebut sudah berubah dengan slogan “Revolusi Akhlak”! Mungkin apa karena Revolusi Mental ala Jokowi gagal total?
Contoh Revolusi Akhlak pun dilontarkan pertama kali oleh HRS pasca “artis seks” Nikita Mirzani melecehkannya. Dan, HRS membalasnya dengan sebutan “lonte” yang dijaga oleh polisi di kediamannya.
Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Yudi Sufriadi nasibnya sama: dicopot.
Tidak hanya dua Kapolda, dua Kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolrestro Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah di mana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa.
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut, pencopotan dua Kapolda dan dua Kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS.
Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS.
Situasi politik makin tegang saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ikut dipanggil oleh Bareskrim terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS.
Melalui surat nomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk memberikan klasifikasi terkait acara HRS. Gubernur Anies pun diperiksa selama 10 jam hingga dini hari.
Anies pun sebelumnya telah konferensi pers, menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan.
Melalui Walikota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tidak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Sikap Anies tegas dan berlaku untuk siapa saja.
Ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda 50 juta rupiah kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash! Selesaikah? Ternyata tidak.
Perangi Baliho
Diawali dengan viralnya pemberitaan Kendaraan Tempur (Ranpur) bertuliskan KOOPSSUS yang melintasi wilayah Petamburan belum lama ini. Berhenti sejenak di depan mulut gang ke kediaman HRS. Kemudian berlalu kembali.
Esoknya viral sebuah video beberapa orang bersegaram “ala” TNI yang menurunkan baliho pada malam hari. Berikutnya, datang lagi sekelompok “pasukan” TNI naik sepeda motor dan berhenti di wilayah Petamburan juga tanpa aktivitas.
Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman malah ikut kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, penurunan baliho HRS juga terjadi di Jawa Tengah oleh aparat Brimob bersenjata.
Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya nggak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran?
Jika toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya, apa salah baliho itu? Nggak bayar pajak? Apa baliho parpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak?
Apa baliho ormas itu bayar pajak? Mengutip Tony Rasyid, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawan menegaskan, tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial.
Lalu kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar?
Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik. Bahkan kecaman beras banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya.
Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai!
Sebaliknya, publik memberikan empati. Bahkan dukungan kepada HRS bermunculan. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah menjadi hukum sosial. Setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi, ia akan berlimpah empati.
Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma Imam Besar FPI ini. Kapolda Metro Jaya yang baru Irjen Polisi Fadil Imran mendukung langkah Pangdam Jaya tersebut.
Aksi penurunan serupa juga terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang, Minggu (22/11/2020). Petugas gabungan dari Satpol PP Kabupaten Tangerang, TNI dan Polri menurunkan puluhan spanduk dan baliho bergambar HRS. Begitu pula di Kota Tangerang.
Perununan baliho HRS juga berlangsung di wilayah Kabupaten dan Kota Bekasi sejak Jum’at (20/11/2020). Meski sempat mendapat penolakan warga, namun penurunan tersebut berjalan lancar juga akhirnya.
Benarkah TNI secara institusi telah memerintahkan Pangdam Dudung mencopot baliho HRS?
Jawaban mengejutkan datang dari Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad. Beritasatu.com, Kamis (19/11/2020) menulis, pimpinan TNI tidak pernah memberikan perintah penurunan spanduk ataupun baliho HRS.
“TNI tidak pernah memberikan perintah. Video tersebut (juga) tidak jelas siapa, belum ada klarifikasi,” kata Achmad Riad, ketika dikonfirmasi, di Jakarta, Kamis (19/11/2020).
Dikatakan Riad, kalaupun ada prajurit TNI di lapangan yang menertibkan spanduk ataupun baliho, tentunya akan dilakukan bersama kepolisian. TNI biasanya hanya bersifat membantu menertibkan penurunan spanduk.
“Bilapun ada hal tersebut tentunya akan dilakukan bersama sama Satpol PP, Polisi dan TNI akan membantu,” ujar Kapuspen TNI.
Padahal, Mayjen Dudung awalnya baik-baik saja, bahkan memberi pernyataan positif bahwa Acara Pernikahan Putri IB HRS sudah sesuai Prokes.
Dan, Rabu, 18 November 2020 sempat mengundang Pengurus DPD FPI DKI Jakarta untuk mengajak kerjasama menjaga stabilitas keamanan Ibukota Jakarta. Pertemuan berjalan sangat hangat bersahabat dan penuh damai.
Namun entah kenapa, hari esoknya, hanya berselang sehari tiba-tiba berubah, menghina IB-HRS dan menantang FPI, serta mengerahkan puluhan Tank Panser Perang dan ribuan Pasukan Tempur TNI untuk menurunkan baliho HRS se-Jakarta.
Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews