Kisah Jokowi dan "Indonesian Dream"

Tentu akan lebih afdol lagi Jika Jokowi, sebagai contoh rakyat kecil yang menjadi presiden, mengakhiri jabatan presidennya dengan prestasi cemerlang.

Rabu, 22 Juli 2020 | 08:54 WIB
0
246
Kisah Jokowi dan "Indonesian Dream"
Presiden Joko Widodo (Foto: majalahteras.com)

Kisah Jokowi akan menjadi contoh kasus Indonesia Dream.

Istilah ini untuk etos nasional yang harus ditumbuh dan dikembangkan.
Bahwa di Indonesia, rakyat kecilpun bisa mencapai prestasi tertinggi tanpa kendala sosial. Semua rakyat indonesia, rakyat besar atau rakyat kecil, Wong Gede atau Wong Cilik, punya kesempatan yang sama meraih puncak.

Itulah mimpi Indonesia. Mimpi ini hanya kuat jika semakin banyak kasus yang terbukti.

Para guru sejarah akan berkata: Lihatlah Jokowi. Sudah ada contohnya. Kekuasaan tertinggi di Indonesia tidak hanya dicapai dan bersikulasi di kalangan elit saja. Bahkan rakyat biasa bisa menjadi penguasa tertinggi.

Sangat langka memang kasus Jokowi. Ia benar benar wakil dari rakyat biasa. Rakyat kecil. Rakyat yang sangat sederhana. Tapi ia menjulang ke angkasa politik.

Di masa kecil, rumah Jokowi digusur tiga kali. Ia sempat kesulitan membiayai sekolah. Terseok seok, ia untuk survival.

Tapi di dunia politik, Jokowi akhirnya mengalahkan politisi yang konglomerat, ketua umum partai, mantan petinggi militer, para elit dan keluarga tokoh nasional.

Lihatlah karir politiknya.

“Tiba tiba ia melejit seperti meteor. Ia terpilih dua kali menjadi walikota Solo (2005, 2010). Belum selesai periode kedua, Ia terpilih menjadi Gubernur Jakarta (2012). Belum selesai periode pertama sebagai Gubernur, Ia menjadi Calon Presiden yang paling populer (2014).”

“Jokowi adalah contoh tokoh yang tumbuh karena people power.”

Ucapan di atas meluncur dari rekaman Youtube. Penulis menonton lagi rekaman tersebut. Itu momen ketika penulis, atas nama LSI Denny JA, menggerakkan relawan di Surabaya Jawa Timur, sembilan hari sebelum hari pencoblosan Juli 2014. (1)

Saat itu, Juni- Juli 2014, Penulis dan tim LSI Denny JA berkeliling menggerakkan relawan di tujuh provinsi terbesar Indonesia. Itu sudah mencakup 70 persen populasi nasional.

Penulis sendiri menggerakkan relawan di Jabar, Jateng dan Jatim. Video penulis ketika menggerakkan relawan, di tahun 2014 itu, ketika Jokowi maju pertama kali sebagai capres, semua tersimpan rapih dan bisa ditonton kembali di Youtube. (2)

Setahun sebelum momen itu, sekitar Januari 2013, Jokowi masih menjadi Gubernur Jakarta. Ia menjabat belum 100 hari. Tapi Jakarta dilanda banjir sangat besar.

Ketika menangani banjir, nampak figur Jokowi yang otentik. Ia turun ke bawah, mengecek sungai. Ia masuk ke dalam gorong goromg. Ia duduk di atas gerobak, menghalau jalan yang direndam air selutut, mengunjungi titik banjir.

Jokowi bicara akrab dengan rakyat kecil. Jokowi juga menyalurkan bantuan selaku Gubernur Jakarta. Muncul istilah yang kemudian populer khas Jokowi: Blusukan.

Liputan TV nasional begitu gencar atas banjir Jakarta. Breaking News berhari-hari. Banjir Jakarta menjadi panggung Jokowi di pentas nasional. Jokowi tak hanya dikenal secara nasional. Tapi mimik mukanya, gerak tubuhnya, keakrabannya yang tak dibuat buat dengan rakyat kecil, membuatnya sangat disukai.

Penulis ingat, bulan Januari 2013 itu. LSI Denny JA mulai rutin melakukan survei nasional tiga bulan sekali. Termasuk yang disurvei adalah para tokoh untuk capres 2014.

Kala itu Tim LSI Denny JA sedang diburu semangat membuat Hat-trick. Ini istilah untuk sepakbola jika seorang pemain mencetak tiga goal dalam satu pertandingan.

LSI sudah ikut memenangkan Pilpres dua kali, 2004 dan 2009. Harus pula LSI ikut memenangkan pilpres 2014, agar tiga kali berturut-turut menciptakan Hat-trick.

Siap! Laksanakan! Harus! Begitulah semangat berkobar pada Tim LSI menghadapi Pilpres setahun ke depan.

Survei Nasional LSI Denny JA, Januari 2013. Itulah saat pertama Jokowi masuk radar Capres 2014.

Di bulan itu, Januari 2013, LSI menemukan “Aha Moment.” Eureka. Hasil survei LSI Denny JA, Januari 2013, Jokowi menjadi Tokoh yang paling disukai. Ia sudah melampaui tokoh yang saat itu ketua umum partai: Megawati, Aburizal Bakrie dan Prabowo.

Sejak Januari 2013, selesai banjir Jakarta, penulis pun sudah punya data. Satu setengah tahun sebelum Pilpres 2014, the next president sudah ditemukan. Penulis ibarat menemukan berlian biru di dasar laut.

Ikut memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 tak hanya mencapai Hat-trick. Tapi ikut memenangkan Jokowi ada bonus ekstra. Yaitu penulis ikut serta membantu rakyat kecil menjadi presiden. Ini ikut memperkuat etos Indonesian Dream.

Walau saat itu Jokowi belum pasti maju sebagai capres. Walau saat itu belum ada partai yang mengusung Jokowi. Walau saat itu semua ketua umum partai ingin jadi Capres. Walau saat itu, belum terbayang lewat partai mana Jokowi akan dicalonkan.

Tapi satu kekuatan jokowi yang akan membuka jalan padanya. Yaitu People Power. Jokowi memang tak punya money power. Ia tak punya Party Power (bukan ketum partai). Tak ada Media power (tak punya media). Tapi di atas itu semua, ia punya People Power. Kekuatan dukungan rakyat.

Survei opini publik merekam itu. Sepanjang tahun 2013, aneka lembaga survei mengumumkan hasil yang sama. Ini menjadi headline. Jokowi capres paling potensial. Jokowi paling populer. Jokowi kalahkan ketua umum partai besar. Jokowi tak terlawan.

Itulah yang kemudian terjadi. Partai pun datang memberi tempat kepada Jokowi untuk menjadi calon presiden.

Jokowi pun terpilih di tahun 2014. Dan terpilih lagu di tahun 2019. Persis serupa dengan yang diprediksi oleh lembaga survei opini publik.

Peradaban sudah sampai di sana. Ilmu pengetahuan sudah dapat mengurangi ketidak pastian kompetisi politik pemilu.

Survei opini publik salah satu bagian ilmu sosial yang paling maju. Ia tak hanya mampu membaca peta dukungan saat itu. Tapi melampaui ilmu sosial lain, ia bisa memprediksi pemenang pemilu dengan sedikit kesalahan. Survei opini publik mewarisi sebagian kekuatan prediksi ilmu alam.

Siapa tokoh paling mungkin menang saat ini? Siapa kompetitor tedekat? Ia disukai untuk isu apa? Publik tak suka padanya untuk isu apa? Bagaimana demografi pendukung utama?

Apa isu yang paling populer di wilayah itu? Figur bagaimana yang pemilih rindukan? Media apa yang berpengaruh? Siapa tokoh yang didengar? Siapa pasangan paling kuat untuk mendampinginya maju dalam pemilu atau pilkada?

Semua info penting dan elementer di atas dibutuhkan untuk memenangkan kompetisi politik. Survei opini pulik sudah datang dengan metodelogi yang disempurnakan terus menerus.

Siapa menduga? Yang tercatat sejarah pertama kali melakukan sejenis survei ini adalah sebuah koran lokal. Peristiwa pertarungan pertama yang disurvei adalah Pilpres Amerika Serikat tahun 1824. Capres Andrew Jackson versus John Quency Adam. (3).

Koran lokal yang memberitakan semacam jajak pendapat ala kadarnya adalah North Carolina Star Gazzete. Koran itu membuat prediksi Andrew Jackson akan menang. Saat itu tak ada yang menganggap serius prediksi tersebut. Bagaimana koran bisa tahu apa yang belum terjadi?

Ternyata prediksi itu benar. Jackson menang. Elit politik mulai tercengang. Apa iya hasil pemilu bisa tepat diprediksi?

Semakin banyak koran lokal lain ikut ikutan membuat survei dan memprediksi hasil pemilu.

Di tahun 1916, survei mulai menjadi fenomena nasional. Literary Digest, juga sebuah koran, memulainya. Publik semakin tercengang. Koran ini secara tepat meramalkan siapa yang akan terpilih sebagai presiden. Yaitu Warren Harding di tahun 1920. Cavin Collidge di tahun 1924. Harbert Hoover di tahun 1928. Dan Franklin Roosevelt di tahun 1932.

Di tahun 1936, terjadilah persaingan metodelogi survei. Literary Digest menggunakan lebih 2.3 juta responden. Namun sampel diambil dari yang memang bisa diperoleh saja. Diketahui sampelnya bias dari pemilih menengah atas.

George Gallup memperkenalkan survei opini publik dengan sampel yang sangat jauh lebih kecil. Sampelnya hanya ribuan saja. Tapi sampel dipilih secara lebih ilmiah.

Munculah pertarungan lembaga survei. Raksasa Literacy Digest mengumumkan yang akan menang adalah Alf Landon. Koran ini punya rekor tepat meramalkan pemenang pilpres 4 kali berturut turut. Sampelnya 2.3 juta pula.

Sementara George Gallup pendatang baru. Sampelnya hanya ribuan. Gallup memprediksi yang menang adalah Roosevelt.

Tak hanya capres yang bertarung. Lembaga survei juga bertarung. Tak hanya lembaga survei yang bertarung. Tapi metodelogi survei yang berbeda juga bertarung.

Hasilnya Roosevelt menang besar. George Gallup menjadi bintang baru. Gallup Poll, lembaga survei yang didirikannya, masih hidup hingga kini.

Metodelogi survei pun terus menerus diperbaiki. Kini lembaga survei menjadi pilar kelima demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers. Tak ada demokrasi langsung tanpa kehadiran lembaga survei.

Kandidat serius dalam pemilu umumnya didampingi lembaga survei di sebelah kiri, dan konsultan politik di sebelah kanan.

-000-

Penulis menyusun formula 10 P untuk strategi marketing politik. P 3 itu untuk Polling. Populer dalam bahasa Indonesianya survei opini publik.

Ini era mengawinkan politik praktis dengan ilmu pengetahuan. Ini zaman aneka strategi berdasarkan pada data. Publik yang menentukan siapa pemenang pemilu atau pilkada. Publik yang memberikan legacy atas pencapaian dan prestasi seorang politisi.

Harapan, cita cita, apa yang disukai publik dapat dibaca melalui survei. Kekecewaan, kemarahan, protes dari publik luas juga dapat diketahui melalui melalui survei.

Ada empat jenis survei opini publik yang biasa digunakan, dalam tradisi pilkada atau pemilu nasional. Jenis survei ini dipilah berdasarkan waktu dan targetnya. Umumnya partai atau kandidat yang berkepentingan dengan survei ini.

Namun publik luas juga berkepentingan dengan presiden atau gubernur atau bupati dan walikota berikutnya. Stakeholders lain juga berkepentingan, seperti pengusaha, civil society atau media.

Dalam ulasan di bawah ini, penulis menyontohkan kepentingan partai politik dan kandidat atas survei opini publik itu. Tapi implisit, stakeholder lain dapat pula melakukannya.

Pertama, Testing the Water Poll. Polling ini dikerjakan jauh hari sebelum kampanye dilakukan.

Sesuai dengan namanya, polling ini didayakan untuk mengetes nama kandidat atau program yang akan dilepas ke publik oleh partai. Tujuan dari polling in untuk mendapatkan gambara respon awal dari pemilih.

Misalnya, partai hendak mengusung calon dalam pemilhan kepala daerah. Nama kandidat yang akan didukung partai bisa dites (uji coba) lewat polling untuk melihat respon pemilih. Seberapa Ia mempunyai peluang untuk menang.

Ilustrasi lain, partai hendak membuat program baru. Untuk melihat respon awal dari pemilih (apakah tertarik, atau biasa -biasa saja), partai bisa menggunakan polling jenis ini.

Kedua, Benchmarks Poll. Polling jenis ini umumnya dibuat setelah partai atau kandidat sudah resmi memutuskan maju dalam pemilihan. Atau partai sudah pasti mengusung program baru.

Berbeda degan Testing The Water Poll yang lebih bersifat uji coba (tes untuk melihat respon awal), polling jenis ini digunaan sebagai standatd action plan.

Misalnya. standar dalam merancang program, strategi kampanye dan seterusnya. Polling dirancang untuk memberi data, fakta soal persepsi pemilih . Ini bahan dasar dalam menyusun strategi partai atau kandidat.

Selain mengukur posisi terkini partai/kandidat dibanding dengan lawan, polling dipakai untuk mendapat informasi. Yang terpenting, info mengenai tema, isu kampanye, media yang efektif digunakan. dan sebagainya.

Ketiga, Tracking Poll. Polling jenis ini umumnya digunakan saat kampanye. Partai atau kandidat menggunakan polling jenis ini untuk mengetahui pendapat dan perubahan opini pemilih terkait dengan posisi kandidat. Termasuk penilaian pemilih terhadap program, perbandingan dengan kompetitor, dan seterusnya.

Tracking Poll bisa dilakukan tiap bulan atau bahkan tiap minggu. Ini tergantung kepada kebutuhan dan tingkat persaingan di antara partai atau kandidat.

Jika suara antar kandidat ketat, polling mungkin bisa dilakukan tiap minggu sehingga bisa diketahui isu apa yang menyebabkan perubahan pendapat, dan seterusnya. Apalagi jika pemilu atau pilkada sudah diujung. Yaitu beberapa minggu lagi masuk tahap pencoblosaan menentukan menang dan kalah.

Keeempat, Push Poll. Polling ini dirancang pada masa kampanye dan jika ada situasi khusus. Polling tidak semata ingin melihat trend pergerakan suara, tetapi juga mengetahui pendapat masyarakat atas isu yang spesifik.

Misalnya kandidat ingin merubah strategi isu kampanye. Kandidat ingin melakukan taktik kampanye menyerang (attacking campaign) atau kampanye negatif.

Kandidat bisa merancang “Push Poll” untuk melihat kemungkinan efektifitas dari kampanye itu. Apakah strategi ini akan menambah dukungan atau justru sebaliknya ?

Jenis polling ini juga digunakan ketika ada situasi khusus (misalnya di luar rencana). Tiba tiba katakanlah terjadi bencana alam. Pandemik meraja lela. Bagaimana meresponnya?

Setiap isu yang muncul perlu dilihat pengaruhnya terhadap perolahan suara kandidat.

Dalam marketing politik yang ketat, tak hanya pemilih yang perlu diriset. Perlu juga diketahui sikap stakeholders yang lain: media, penyandang dana, organisasi partai, kelompok kepentingan dan civil society.

Enam stake holders penting dalam pemasaran politik itu saling berkaitan satu sama lain.

Misalnya, pemilih mempunyai keterkaitan dengan media, kelompok kepentingan dan masyarakat sipil. Pilihan (preferensi) pemilih tidak berada di ruang kosong. Mereka juga dipengaruhi oleh isu yang diberitakan oleh media.

Pilihan pemilih juga dipengaruhi oleh isu yang dibawa oleh kelompok kepentingan dan organisasi masyarakat sipil, dan seterusnya.

Karena keenam stake holders ini penting dan saling berkaitan, strategi marketing politik harus bisa memetakannya.

Partai atau kandidat tidak boleh hanya memusatkan perhatian pada satu stake holders saja, misalnya pemilih. Karena ketika partai atau kandidat melakukan kampanye, pemilih tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan stake holders yang lain.

Riset survei opini publik perlu diperkaya dengan riset lain. Untuk mass media sebagai misal, perlu ada analisa media . Bahkan di era media sosial, perlu pula analisa social media. Untuk kelompok kepentingan, civil society, pengusaha, bisa dikembangkan jenis riset FGD dan Depth Interview.

Segala hal di atas dibutuhkan untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui survei opini publik.

Charles Dudley Warner, pemikir hidup seabad lalu. Bahkan untuk era itu saja, ia merasakan kuatnya pengaruh opini publik.

Ujarnya: “Opini publik sekuat Ten Commandement.” Hingga kini Ten Commandement oleh yang meyakininya dianggap titah dari Tuhan, penguasa alam semesta.

Betapa powerful opini publik tersebut. Kini opini publik itu bisa diukur semakin akurat melalui Polling.

Dan alangkah mulia kerja marketing politik, jika Ia juga mempunyai sasaran tambahan kepenting publik tertentu.

Misanya, melalui Polling itu, dapat diperkuat etas nasional Indonesian Dream. Yaitu spirit mencari dan menciptakan Jokowi-Jokowi yang lain. Mencari aneka rakyat kecil yang lain, yang cemerlang. Dengan kesempatan yang sama, tanpa rintangan sosial, rakyat kecil bisa menanjak menjadi pemimpin nasional.

Tentu akan lebih afdol lagi Jika Jokowi, sebagai contoh rakyat kecil yang menjadi presiden, mengakhiri jabatan presidennya dengan prestasi cemerlang (bersambung).

***

Juli 2020

Denny JA 

Catatan:

1. Jokowi akan menang karena people power dibelakangnya. Pidato pembuka Denny JA menggerakkan Relawan Jokowi di Jawa Timur, Juni 2014.

2. Pidato pembuka Denny JA menggerakkan relawan Jokowi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Juni 2014

3. Sejarah lahirnya survei opini publik

***