Kemarahan Jokowi adalah Pengakuan Kekalahannya

Semoga kemarahan Jokowi, sesungguhnya bukan ditujukan melulu bagi para menterinya itu. Tapi orang-orang atau kepentingan-kepentingan yang ada di belakang mereka.

Senin, 29 Juni 2020 | 22:58 WIB
0
275
Kemarahan Jokowi adalah Pengakuan Kekalahannya
Presiden Joko Widodo (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saya senang akhirnya Jokowi bisa marah, secara terbuka dan disiarkan langsung. Apakah ini yang pertama? Saya tidak punya catatan! Tapi sekeras ini kepada "orang-orang" yang diangkat sebagai pembantunya, jelas kali pertama. Dulu Jokowi pernah melakukan beberapa kali resuffle, tapi tidak harus didahului dengan ancaman-ancaman seperti ini...

Walau saya bisa memahami "kegusaran, kejengkelan, yang berujung meledaknya kemarahan" Jokowi. Untuk pertama kalinya saya pun akan menganggap hal ini juga sebagai "salawi". Semua memang salah Jokowi sendiri. Saya tidak segan mengakui Jokowi memang "lemah", terlalu mengakomodasi terlalu banyak kepentingan yang ada di sekitarnya. Padahal semua "kepentingan" itu tak mau dituduh balik, ketika kondisi berbalik grembyang. Mereka akan menganggap bahwa keputusan sepenuhnya di tangan Jokowi. Itu hak preprogratif Presiden!

Lepas dari itu, mari kita simak sederet kelemahan dan kesalahan Jokowi. Dengan harapan agar ancaman-ancaman yang dia sempat lontarkan berbuah kebijakan yang tidak lagi ahistoris. Tidak bikin lagi peraturan yang blunder, apalagi harus tunduk pada kepentingan yang serakah dan sama sekali tidak populis.

Pertama, kekalahannya menerima Maroef Amin sebagai cawapres-nya. Ia sendiri sampai detik terakhir memilih Mahfoed MD dengan harapan bisa adanya upaya penegakan hukum yang lebih kuat. Namun konon justru Megawati-lah yang bersikeras menyodorkan nama MA. Sial, belakangan bendera partainya dibakar oleh kelompok yang diduga terafiliasi dengan calon yang diajukannya itu. Dan MA yang harusnya bersuara keras, malah cuek bebek, seolah gak melihat!

Kedua, membuang menteri paling berintegritas, khususnya Susi Pujiastuti. Konon popularitasnya yang tinggi, justru dicurigai oleh sementara pihak, ia berambisi sebagai cawapres di masa datang. Tak kurang Jokowi sendiri pernah berseloroh tentang hal ini. Setelah kepergiannya, laut Indonesia kembali bergejolak. Sialnya, penggantinya justru diberikan kepada salah satu dari rivalnya. Seorang yang plonga-plongo, canggung dan jelas tanpa reputasi.

Ketiga, ia kembali memilih Yasonna Laoly, salah satu menteri paling brengsek dari kabinet sebelumnya. Ia bahkan adalah menteri yang tega mengundurkan diri, "tinggal glanggang colong playu". Justru ketika situasi hukum sedang kritis dan butuh kehadirannya.

Lagi-lagi ia harus tunduk pada kemauan Megawati, yang menyadari bahwa 2024 harus diamankan sejak Kabinet baru diumumkan. Megawati tentu sadar kader partainya termasuk yang paling potensial tersandung hukum, bukan saja karena "aji mumpung", juga karena memang wataknya sebagai para maling.

Keempat, bagian yang paling absurd adalah keinginannya untuk memberi kesempatan golongan pengusaha milenial. Padahal, mereka ini tak lebih bagian dari oligarki. Para bisnisman yang dibesarkan oleh silang sengkarut permainan ekonomi-politik, yang di masa lalu disebut dengan KKN. Di sini saya sungguh heran, kalau tiba-tiba orang sedemikian memuja Erick Thohir, hanya karena dia muda dan kaya.

Bukankah puluhan tahun yang lalu, cerita yang sama juga melekat pada Aburizal Bakrie? Yang belakangan grup usahanya punya nama dan reputasi buruk nyaris di semua kasus korupsi raksasa itu? Sebut saja mulai dari Lapindo, Bumi Resources, hingga Jiwasraya. Pun ET namanya pun tak lebih seperti itu....

Kelima, kebijakan Jokowi merubah tradisi yang jelas ngawur. Hal ini sangat terasa di Kemenag, yang posnya selalu ada di tangan orang NU. Daripada menunjuk orang militer, yang tak kalah canggungnya. Kalau pengen out of the box, kenapa tidak pilih Yenny Wahid misalnya. Yang jelas canggah pendiri NU, seorang anak turun langsung Gus Dur, Bapak Bangsa yang setidaknya selalu pluralis juga memiliki pemahaman tata kelola pemerintah yang lebih modern dan tidak bias gender.

Keenam dan seterusnya adalah terlalu banyak figur yang menurut saya, nyaris adalah "wrong man in wrong place". Satu-satunya yang baik dari Kabinet Jokowi adalah orang-orang yang tetap dipertahankan dari kabinet sebelumnya. Basuki, Pratikno dan Retno adalah contoh bahwa klan alumni itu tidak buruk-buruk amat. Tidak semuanya perlu penyegaran to nyatanya, tapi tetap bisa konsisiten, loyal, dan dapat diandalkan.

Saya tidak melihat Covid-19 sebagai penyebab "kegagalan" Kabinet Indonesia Maju ini. Realitasnya memang ada tumor ganas di dalamnya. Semoga kemarahan Jokowi, sesungguhnya bukan ditujukan melulu bagi para menterinya itu. Tapi orang-orang atau kepentingan-kepentingan yang ada di belakang mereka. Sehingga ini menjadi momentum yang baik untuk berbenah. Sebagaimana yang ia bilang bisa bergerak lebih cepat, lincah, dan tepat sasaran.

Kalau pun pandemik ini ikut disalahkan, siapa sih hari ini yang tidak ikut menyalahkan?

#TetapMenemaniJokowi

***