Tuntutan PA 212 Berhentikan Presiden Tidak Masuk Akal

RUU HIP yang dinilai berpeluang membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak akan terjadi. Mahfud menyebutkan pelarangan komunisme di Indonesia sudah bersifat final.

Minggu, 28 Juni 2020 | 11:29 WIB
0
200
Tuntutan PA 212 Berhentikan Presiden Tidak Masuk Akal
Foto: Republika.co.id

Persaudaraan Alumni (PA) 212 mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar menggelar sidang istimewa untuk memberhentikan Presiden RI Joko Widodo dalam aksi penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan usulan DPR. Gagasan tersebut dianggap tidak masuk akal karena HIP adalah usulan DPR, bukan Presiden Jokowi. 

Desakan pemberhentian Presiden Jokowi di masa pandemi-Covid-19 sangat tidak logis. Sikap tidak terpuji tersebut tanggapan dari wakil ketua MPR Jazilul Fawaid yang mengatakan bahwa tuntutan tersebut masih jauh panggang dari api, jangan kipasi suasana rakyat yang sedang susah akibat terdampak Covid-19.

Ia mengajak kepada seluruh pihak agar dapat menjaga stabilitas politik di masa pandemi ini. Dengan demikian, kondisi keamanan dan ekonomi di Indonesia tidak akan terpuruk.

Jazilul juga mengatakan, agar tidak mengganggu pak Jokowi yang sedang fokus berjuang melawan covid-19 dan dampak buruknya, karena tantangan ini amatlah berat.

Dirinya juga menagaskan bahwa MPR akan terus menjaga konstitusi dan kesatuan persatuan dalam keberagaman. Hal ini bertujuan agar stabilitas politik dan keamanan akan tetap terjaga.

Sebelumnya, PA 212 menggelar aksi pada Rabu 24 Juni 2020 di depan gedung DPR. Dalam aksi tersebut salah satu peserta aksi Edy Mulyadi membaca orasinya, dalam orasia tersebut ua mendesak agar MPR menggelar sidang istimewa untuk memberhentikan Presiden Joko Widodo.

Edy juga menilai bahwa pemerintahan Jokowi membuka ruang yang besar bagi bangkitnya PKI dan Neo-Komunisme.

Sebelumnya, pemerintah juga sudah meminta penundaan pembahasan RUU HIP. Hal tersebut dikarenakan pemerintah akan fokus dalam menangani wabah covid-19.

Jika diperhatikan, tuntutan agar presiden Jokowi mundur dari jabatannya tentu saja tidak masuk akal. Seperti kaki yang gatal namun kepala yang digaruk.

Justru saat ini yang diperlukan bukanlah sikap saling menyalahkan karena negara sedang dilanda masalah yang serius. Presiden Jokowi justru harus diapresiasi sebab pemerintah tidak mengirimkan utusan ke DPR yang berarti pembahasan RUU HIP tidak dilanjutkan.

Permintaan PA 212 agar MPR menggelar sidang istimewa untuk mencopot Jokowi dari jabatannya tentu saja suatu hal yang keliru. Jika kita merujuk pada pasal 7A UUD 1945 tahun 2001, undang-undang tersebut telah mengatur mengenai syarat-syarat memberhentikan presiden yang terdiri dari tiga syarat.

Pertama, Presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, penyuapan atau korupsi dan melakukan tindak pidana berat dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun penjara.

Artinya, tuntutan yang menjadi bahan orasi PA 212 tersebut merupakan tuntutan yang salah sasaran, atau mungkin PA 212 hanya memanfaatkan moment untuk cari panggung. Padahal ada langkah konstitusional yang bisa diambil.

Ataukah PA 212 masih belum bisa move on atas pilpres 2019 lalu, sehingga mencari-cari celah untuk menurunkan Presiden Jokowi.

Sementara itu, Politikus senior PDI-P Hendrawan Supratikno mempertanyakan maksud dari aksi yang digelar PA 212. Dirinya mennyindir bahwa PA 212 lebih mementingkan hal lain daripada masalah pandemi virus corona.

Anggota DPR RI tersebut juga meminta agar semua pihak dapat bergandengan tangan selama masa pandemi ini.

Ia menuturkan, fokus kita saat ini adalah membangun gotong royong skala besar, solidaritas nasional untuk mengatasi dampak pandemi covid-19.

Perlu kita ketahui bahwa pemerintah saat ini sudah meminta kepada DPR agar pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan rancangan undang-undang usulan DPR agar ditunda pembahasannya. Pemerintah menginginkan agar DPR memperbanyak dialog dengan semua elemen.

Menko Polhukam Mahfud MD Melalui kicauannya telah mengutarakan, terkait RUU HIP, Pemerintah menunda untuk membahasnya dan meminta DPR sebagai pengusul untuk lebih banyak berdialog dan menyerap aspirasi dulu dengan semua elemen masyarakat.

Wakil Ketua Badan Legislasi (BALEG) DPR Achmad Baidowi telah mengonfirmasi bahwa RUU HIP belum dibahas, pihaknya juga masih menunggu kepastian dari pemerintah.

Tentu saja RUU HIP yang dinilai berpeluang membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak akan terjadi. Mahfud menyebutkan pelarangan komunisme di Indonesia sudah bersifat final.
Sehingga segenap aspirasi yang ada sudah semestinya disampaikan secara elegan, bukan lantas bersikap bar-bar dan meminta pencopotan jabatan bagi presiden Jokowi. Sikap kritis memang diperlukan, namun jangan sampai sikap kritis tersebut menunjukkan hal yang tidak masuk akal.

***