Semalam, para aktivis berkumpul mengenang Agus Edy Santoso atawa Agus Lenon. Sebagian dari mereka bahkan sudah menuliskan pengalamannya bersama almarhum. Tulisan itu dikumpulkan dalam satu buku.
Semalam, mengenang 40 hari wafatnya Agus Lenon, buku itu ikut diluncurkan. Tapi bagaimanakah sebaiknya aktivis dikenang?
Setiap kali kita mengenang Bung Karno, kita teringat nasionalisme yang ia perjuangkan. Mengenang Hatta, kita mengenang koperasi yang ia selalu sebarkan. Mengenang Che Guevara, kita teringat revolusi yang menjadi hidupnya.
Mengenang aktivis kita mengenang gagasan yang acapkali ia perjuangkan.
Gagasan apa yang acapkali diperjuangkan Agus Lenon? Apa yang menjadi legacynya di dunia aktivis?
Dalam buku itu, Isti Nugroho dan Jonminofri sudah merumuskan dengan cukup baik soal gagasan perjuangan Agus Edy Santoso. Katakanlah itu semacam platform politik yang mendasari aktivismenya.
Isti dan Jon dua aktivis dan dua sahabat dekat almarhum. Mereka berdua yang sigap meggumpulkan tulisan para sahabat tentang Agus. Sigap pula mengumpulkan para aktivis hikmat bersama mengenang 40 hari wafatnya Agus.
Aktivis sejati pada dasarnya mewaris spirit para Nabi. Kuat mereka menggemakan keadilan. Para Nabi datang untuk membentuk jiwa yang adil, lalu masyarakat yang adil.
Yang acapkali menjadi korban ketidak adilan umumnya mereka yang marginal. Mereka adalah rakyat kecil, kaum mustadhafin, kelompok disabilitas, mereka yang lemah sumber daya.
Karena penguasa berada pada pusat grativisikasi sebuah bangsa, besar sekali peran penguasa menegakkan keadilan. Atau bahkan penguasa itu sendiri sumber ketidak adilan.
Tak heran jika banyak aktivis menarik jarak dari kekuasaan. Itu tak lain karena mereka menjaga ruang. Berada dalam posisi yang berjarak, kontrol dan kritik pada penguasa lebih bebas diberikan.
Aktivis umumnya mendekatkan diri kepada mereka yang marginal. Berusaha tumbuh bersama. Ikut menjadi agen yang menemani, mencerahkan, protes dan mengubah lingkungan agar lebih baik untuk kaum papa itu.
Sayapun teringat bagaimana almarhum Agus menyediakan waktu untuk kaum papa. Saya ekspresikan passion agus itu dalam untaian kata. Puisi ini juga ada di buku dan dibacakan Isti Nugroho sebagai pembuka acara mengenang 40 hari wafatnya Agus Lenon.
Teringat Padamu, Bung
- Untuk Agus Edy Santoso
Denny JA
Bung, aku teringat padamu
Saat itu di sebuah sore
Kau bawa cerita
Puluhan tunanetra
Ingin tamasya ke pantai
Rasakan asinnya air laut
Merayakan persahabatan
Kau jemput mereka
menyewa lima mikrolet
Tamasya ke Ancol
Memanggul gitar
Tak lupa bekal nasi dan rendang
“Mereka senang sekali, bro,” ujarmu
Bermain air laut
Bernyanyi,
Berjoget,
Mereka lepas”
Ujarmu:
“Walau mata mereka buta
Tapi hati mereka peka,
Tak terasa bro,
Dua puluh tahun sudah
Aku menemani mereka.”
Bung, aku teringat padamu
Tentang kisahmu yang lain
Pernah kau temani belasan tunadaksa
menonton film di bioskop
Tapi bioskop tidak dibuat untuk mereka
Tak ada tempat untuk kursi roda
Tangga- tangga di bioskop
Tak bisa dilalui kursi roda
“Tapi kita tetap di sana, bro
Menjadi tontonan banyak orang
Ini aksi Demo dalam diam,” ujarmu
Bung, aku teringat padamu
Ujarmu saat itu
Bahkan masjid juga lupa
Menyediakan tempat untuk kursi roda
Dirimu mencari jalan
menemani belasan tunadaksa
sholat di ruang parkir saja
Mencoba khusyuk di sana
Menerima apa yang ada
“Kita memang sholat, bro,
Kursi roda berjajar
Dilihat orang banyak
Sekaligus, kita aksi protes,”
Bung, aku teringat padamu
Ketika orang orang sibuk mengejar kuasa
Ketika waktu habis menumpuk harta
Terasa betapa berharga
Punya hati yang memberi
Punya jiwa yang berjuang
Punya nurani yang menemani
Walau dengan cara yang sederhana.
Bung, aku teringat padamu.
Teringat burung dengan sayap seadanya
Namun selalu ingin terbang tinggi
Lebih tinggi lagi
***
Febuari 2020
Denny JA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews