Arief Budiman Terlibat Suap Wahyu Setiawan?

Kamis, 16 Januari 2020 | 16:08 WIB
0
293
Arief Budiman Terlibat Suap Wahyu Setiawan?
Nama Ketua KPU Arief Budiman disebut Wahyu Setiawan dalam sidang DKPP di KPK, Rabu, 15 Januari 2020. (Foto: Antara.com).

Penetapan tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap politisi PDIP oleh KPK tidak akan berarti jika tak disusul dengan penetapan tersangka lain, yang tidak tertutup kemungkinan para komisioner KPU selain Wahyu.

Dugaan korupsi (suap) komisioner yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu  dikhawatirkan juga akan menyeret oknum Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju ini.  Kotor benar “mainnya”. Ini baru 1 yang ketahuan.

Sebagai rakyat biasa, kita berharap semoga saja KPK berani ungkap semua permainan kotor seperti ini mulai dari tingkat Nasional hingga Daerah. Wahyu diduga menerima suap hingga Rp 900 juta dengan menjanjikan PAW politisi PDIP.

Adalah Harun Masiku yang ingin menjadi anggota DPR RI 2019-2024 untuk menggantikan PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan dalam Pileg 2019.

Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW. Sebab, sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky.

Harun yang sejak Minggu (6/1/2020) meninggalkan Indonesia itu diduga memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW. Saeful Bahri, tersangka lain, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto.

Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK.

Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.

Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).

Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDIP Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri.

Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tidak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu, saat ini masih belum diketahui keberadaannya.

Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. 

Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak.

Saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), Hasto Kristiyanto mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto meyakinkan. Benarkah?

Semua itu nantinya akan terkuak dalam sidang DKPP yang kini sedang berlangsung di KPK. Setidaknya, Wahyu yang disidang terkait Kode Etik dipastikan tak akan mau “dikorbankan” sendirian. Dalam sidang Rabu (15/1/2020) saja ia mulai “nyanyi”.

Meski Wahyu dan Arief menyatakan bahwa kasus yang menimpa Wahyu itu masalah pribadi, tapi keterangan Wahyu dalam sidang pertama sempat pula menyebut nama Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik.

Bahkan, hingga nama anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Johan Budi, saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik itu. Wahyu mengatakan, ia sempat menyampaikan pada Arief dan Evi perihal PDIP yang menanyakan soal penetapan anggota DPR melalui proses PAW.

Menurut Wahyu, hal ini disampaikan ke Arief dan Evi, lantaran ia mencium adanya potensi “permakelaran” dalam permohonan yang disampaikan DPP PDIP itu. “Saya bahkan sudah menyampaikan fenomena yang sedang saya hadapi,” ungkap Wahyu.

“Saya pernah menyampaikan itu kepada Pak Ketua (Arief Budiman) dan Kak Evi (Evi Novida Ginting Manik),” kata Wahyu dalam persidangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (15/1/2020).

“Saya pernah menyampaikan di chatting saya, saya mohon surat-surat penolakan terhadap PDI-P segera dikeluarkan karena ada situasi permakelaran,” lanjutnya. Kepada Arief, Wahyu bahkan sempat meminta supaya ia menghubungi Harun Masiku.

Arief diminta Wahyu untuk menyampaikan bahwa permohonan PAW PDIP tidak bisa KPU laksanakan karena tak memenuhi ketentuan perundang-undangan.

“Karena gelagatnya tidak enak, saya bilang ke ketua, ketua kalau ketua bisa berkomunikasi dengan Harun tolong disampaikan bahwa permintaan PDIP melalui surat tidak mungkin bisa dilaksanakan, kasihan Harun,” ujar Wahyu.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Johan Budi sempat disebut Wahyu telah mengetahui adanya penolakan dari KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui proses PAW.

Wahyu mengatakan, setelah dirinya menyampaikan ke Arief, Arief lantas menyampaikan sikap penolakan KPU ini ke sejumlah pihak, termasuk ke Johan Budi.

“Ketua juga menceritakan pada kami, telah berupaya menjelaskan pada berbagai pihak soal sikap penolakan kami. Termasuk baru saja menceritakan pada Pak Johan Budi, Anggota Komisi II yang kebetulan bertugas sama ketua,” ujarnya.

Tapi, Wahyu tak menyebutkan lebih lanjut bagaimana tanggapan Johan Budi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024.

Wahyu diduga menerima suap dari Politisi PDIP Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Selain menetapkan Wahyu dan Harun, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka.

Yaitu mantan anggota Bawaslu, orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful Bahri. Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Sementara Harun dan Saeful disebut sebagai pihak yang memberi suap.

Sebagai Ketua KPU yang sudah dilapori Wahyu, seharusnya Arief Budiman mewanti-wanti Wahyu agar tidak “bermain” dengan upaya PDIP yang memaksakan kehendaknya. Apalagi memberi “angin surga” seolah bisa mengurus PAW untuk Harun Masiku.

Apalagi, semua Komisioner KPU sudah tahu bahwa dalam penyelenggaraan Pimilu itu KPU berpegang pada UU Pemilu yang kemudian diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Adanya putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 itu tak bisa mengalahkan UU Pemilu.

Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut.

“Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto.

Dari sini sebenarnya Hasto “tidak tahu” bahwa posisi UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU, sehingga apapun putusan MA tidak bisa mengubah kedudukan hukum UU Pemilu yang ada di atas PKPU.

Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 telah mengesahkan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak.

Perlu dicatat, sukses Uji Materi PKPU di MA itu tak punya Kekuatan Hukum jika melanggar UU Pemilu. Sebab UU Memiliki Kekuatan di atas Segala Peraturan. Seharusnya Hasto dan para kader parpol belajar tahu, UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU!

Sehingga, para kader politik tidak selalu salah dalam berpolitik dan patuh hukum. Seharusnya juga tidak ngotot memaksakan kehendak parpol (PDIP). Putusan MA yang menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai, harus dibaca secara yuridis formal.

Artinya, sebenarnya MA sudah mengarahkan PDIP supaya kembali ke aturan formal hukum, yakni UU Pemilu. Kalau pun akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, adalah sudah tepat.

Cuma pertanyaannya, mengapa sampai ada uang suap segala meski sebenarnya KPU sudah melaksanakan UU Pemilu? Tidak salah jika kemudian muncul pertanyaan, jangan-jangan ini juga sudah pernah dilakukan sebelumnya, cuma tak ketahuan.

Apalagi, selama ini Wahyu Setiawan dikenal sebagai Komisioner yang menggawangi Situng KPU yang hingga kini, konon, belum “selesai” juga. KPU sukses menipu rakyat dengan hasil Situng yang tak kunjung kelar sampai hari ini.

Dengan kata lain, KPU sukses menipu rakyat melalui penetapan hasil pemilu dadakan pada tengah malam buta saat rakyat sedang tidur nyenyak!

Sekarang gantian, Komisioner KPU dan pihak yang terlibat suap KPU yang tidak bisa tidur nyenyak!

***