Politik Itu Cair Seperti Sirop

Kalau urusannya mengenai khilafah atau ulah pengasong agama yang menunggangi agama demi tujuan politik, saya akan melawan sebisa-bisanya.

Kamis, 24 Oktober 2019 | 18:21 WIB
0
338
Politik Itu Cair Seperti Sirop
Ma'ruf Amin dan Joko Widodo (Foto: Merdeka.com)

Ada yang tanya, bagaimana saya memandang acakkadut dunia politik saat ini?

Bedakan pertarungan politik dengan pertarungan ideologis. Bagi saya, menentang khilafah itu ideologis. Menentang politisasi agama itu juga ideologis. Jadi gak ada kompromi untuk urusan yang sifatnya ideologis.

Sedangkan soal-soal teknis lainnya, bisa sangat politis. Yang namanya politik, sekali lagi, cair seperti sirop. Kalau kental namanya ingus.

Jadi dalam menilainya saya menggunakan kacamata yang lentur. Gak mau terlalu kaku seperti kulit singkong.

Dari kacamata itulah saya meneropong persoalan. Saya juga membagikan pandangan ideologis saya via tulisan-tulisan saya.

Sesekali juga mendistribusikan opini politik. Yang namanya opini, apalagi opini politik, hanya terbangun dari keterbatasan informasi yang saya dapatkan. Bukan mewakili keseluruhan.

Bisa benar. Bisa juga leleset.

Tentu ada yang setuju dan ada yang tidak. Memang itu tujuannya. Membuka ruang diskusi. Menjelajah kemungkinan baru dalam menetapkan perspektif. Membagikan pisau analisa semoga bisa digunakan.

Semua tulisan di medsos, siapapun penulisnya, tidak layak dijadikan satu-satunya pegangan. Jadikanlah hanya sebagai salah satu sumber informasi. Jadi anggap saja seliweran informasi di medsos sebagai referensi. Bukan fatwa semacam gerombolan 212.

Kadang kita bisa sepandangan. Kadang bisa berbeda. Itu lumrah. Sama seperti mencret, itu juga lumrah. Yang tidak lumrah itu ketika Lucinta Luna keguguran.

Politik memang membuka ruang-ruang kemungkinan baru. Jangan takut menjelajahinya selama secara ideologi tidak bertentangan.

Makanya saya lebih santai menghadapi fenomena politik yang berkembang. Jika urusannya sekadar politik, santai saja menanggapinya. Kalau sudah menyentuh ideologis, baru kita pasang kuda-kuda lebih kokoh.

Sekali lagi, jika urusannya hanya soal bagi-bagi kursi, saya gak ada urusan soal itu. Mau siapapun yang duduk, terserah.

Kita ini rakyat. Kepentingan rakyat hanya memastikan kehidupan berjalan adem dan ekonomi terus tumbuh. Kepemtingan rakyat adalah hidup yang nyaman, aman, cukup rezeki dan tidak ada ancaman.

Intoleransi adalah ancaman bagi hidup kita.

Kalau urusannya mengenai khilafah atau ulah pengasong agama yang menunggangi agama demi tujuan politik, saya akan melawan sebisa-bisanya. Dalam pandangan saya, itulah awal kehancuran Indonesia.

Saya dan sebagian besar Anda bukan politisi. Gak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan. Biarlah soal kekuasaan itu urusan para politisi. Urusan kita hanya memastikan, bagaimana kita bisa keramas sambil menyanyikan lagu Evi Tamala esok pagi.

"Iya, mas. Jangankan Prabowo jadi Menhan. Jika Rijik insyaf, mau tertib dan tidak menyebar kebencian lagi. Saya juga terima jika dia diangkat sebagai Ketua Karang Taruna di Petamburan. Yang penting ada manfaatnya buat rakyat," Abu Kumkum ikut nyeletuk.

Nah, kan...

***