Radikalisme masih menjadi momok yang patut untuk diwaspadai karena keberadaannya terasa senyap bak gerakan bawah tanah yang cukup sulit terdeteksi. Namun bukti akan eksistensi radikalisme di Indonesia masih tetap ada bahkan sampai saat ini.
Indonesia telah secara resmi membubarkan ormas yang ditengarai merupakan ormas radikal, dimana ormas tersebut menganut paham khilafah dan memiliki cita-cita untuk meruntuhkan demokrasi dari Indonesia.
Meski gerakannya senyap, namun berkembangya penggunaan media sosial juga telah dimanfaatkan oleh kelompok yang anti terhadap demokrasi untuk menghembuskan paham radikalisme.
Saat ini penganut paham radikal juga semakin dimudahkan dalam menyebarkan virus-virusnya, sebab pengguna potensial sosial media semakin berkembang utamanya di kalangan anak muda.
Suhardi Alius selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, mengimbau kepada pengguna sosial media agar berhati-hati dalam bersosial media. Hal tersebut didasari pada konten-konten yang berisi kekerasan yang berkembang pesat melalui jejaring sosial.
Kelompok radikal tersebut menggunakan jaringan internet untuk bermacam hal, seperti provokasi guna menebarkan ketakutan hingga upaya rekrutmen anggota baru, dimana ada sebagian anggota yang merupakan warga Indonesia direkrut menjadi bagian dari ISIS.
Dengan maraknya penggunaan sosial media, paham radikal tentu tidak pandang bulu dalam menyebarkan ideologinya, sehingga peningkatan kewaspadaan sangatlah perlu untuk digencarkan.
Guru Besar UniversitaIslam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra memaparkan, paham radikal yang menganggap pemahamannya paling benar juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui tenaga pendidik.
Hasil survei dari lembaga kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga merupakan Guru Besar Sosiologi Islam di UIN Jakarta pada 2010 lalu, menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal.
Data tersebut juga menunjukkan 25% siswa dan 21 Guru menyatakan bahwa Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Inspektur Wilayah III Inspektorat Jenderal Kemenag Hilmi Muhammadiyah memaparkan, radikalisme di Indonesia justru terus menggelinding bak bola sajlu. Keberadaannya seakan terus menggerus rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.
Agar paham radikalisme tidak tersu meluas, maka seluruh elemen masyarakat haruslah membendung paham tersebut agar tidak kecolongan. Karena tidak hanya masyarakat umum saja yang rawan terpapar radikalisme, justru tidak sedikit pengikut paham tersebut dari kalangan terdidik.
Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian tersendiri khususnya bagi kalangan pendidik agar senantiasa memberikan pemahaman tentan wawasan kebangsaan.
Salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan adalah dengan memahami nilai-nilai nasionalisme, jangan sampai rasa nasionalisme terkikis seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi. Sebab, para generasi muda yang rentan terhadap paparan paham radikalisme.
Di sisi lain, penanganan akan paparan radikalisme bisa kita cegah dengan menumbuhkan nilai toleransi antar umat beragama dan memaknai pancasila sebagai ideologi yang sah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika pendidikan dasar tentang ideologi bangsa telah dimiliki, maka bukan tidak mungkin masyarakat memiliki imun terhadap paparan paham radikal, sehingga meski paham radikal dihembuskan, masyarakat memiliki landasan untuk menolak paham tersebut.
Di sisi lain, Abdulah Mas’ud seorang aktifis NU CARE mencoba menilai radikalisme dari perspektif yang berbeda. Menurutnya, radikalisme bisa ditimbulkan dari berbagai macam faktor. Untuk itu, ia menawarkan dua hal dalam upaya menangkal radikalisme, yakni dakwah damai di lingkungan masyarakat serta pemberdayaan ekonomi.
Cara dakwah secara damai di masyarakat tentunya harus diperbanyak. Sehingga tidak ada ketakutan dan kekerasan yang disampaikan. Pendekatan sopan santun dan lembut juga haruslah dikedepankan. Selain itu penting juga mewujudkan gerakan ekonomi umat.
Sehingga kita perlu waspada jika ada pendakwah yang jauh dari kesan teduh dalam menyampaikan ceramahnya, tentu kita sepakat bahwa dakwah yang baik tidak akan menciptakan permusuhan antar sesama umat manusia.
Dengan adanya permasalahan ini, tentu kita semua memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paham radikal yang sering digembar-gemborkan terbukti dapat mengancam rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews