Sejumlah pihak menuding Pemberlakuan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri sebagai sarana membungkam kebebasan berpendapat. Padahal, SKB 11 Menteri ini merupakan cara melindungi ASN dari radikalisme yang mengancam integritas nasional dan bukan ketakutan Pemerintah terhadap Islam.
Indonesia tampaknya sedang darurat Radikalisme. Beragam imbauan dan peringatan termasuk menetapkan sejumlah aturan kini mulai diberlakukan. Berdasarkan survei menyebutkan terdapat setidaknya 800.000 lebih ASN atau PNS terpapar radikalisme. Yakni, yang anti Pancasila dan anti NKRI, jumlah yang cukup besar bukan?
Jadi salahkah negara mengarahkan para pegawainya? Sebab, tak hanya di instansi pemerintahan saja, namun di instansi swasta juga diberlakukan rambu-rambu yang mesti diikuti sungguh-sungguh oleh para pekerjanya.
Seperti yang sudah-sudah, jika terdapat peraturan yang baru pasti mengundang kontroversi. Entah pihak yang pro maupun pihak yang kontra. Akibatnya, berita tentang peraturan baru menjadi simpang siur. Padahal mereka tidak mengetahui secara pasti apa isi, mekanisme serta fungsi aturan yang dibuat oleh negara tersebut.
Alih-alih memberikan dukungan, sejumlah pihak yang berposisi bersilangan seolah membumbuinya menjadi semakin pelik. Hingga, masyarakat akan langsung merespon dengan negatif.
Belum lagi adanya pihak tertentu yang melakukan penafsiran liar atas SKB, serta mengait-kaitkannya dengan kepentingan politik, tentu hal ini sangat disayangkan.
Pemerintah ingin bersikap adil atas larangan terhadap para ASN dan juga memberlakukannya juga bagi masyarakat luas. Hal tersebut makin diperumit oleh tuduhan Islamofobia. Islamofobia ini adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam serta Muslim. praktik diskriminasi terhadap Muslim ini ditengarai dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, serta kemasyarakatan bangsa.
Sejalan dengan yang diutarakan Mudzakir selaku Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengatakan surat keputusan bersama 11 menteri ini dibuat guna memproteksi aparatur sipil negara dari bahaya paparan radikalisme. yang dinilai mengancam integritas nasional.
Mudzakir mengatakan terdapat mekanisme yang harus dijalankan dalam sistem pelaporan terhadap ASN yang diduga telah melakukan pelanggaran. Mekanisme tersebut ditengarai untuk melindungi ASN dari tindakan kesewenang-wenangan.
Sebelumnya, sebanyak 11 instansi negara (kementerian dan lembaga) telah teken Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara (ASN), yang memuat 11 butir larangan agar tidak dilanggar oleh seluruh insan ASN ini.
11 butir larangan yang dimaksud ialah;
Pertama, Penyampaian pendapat baik secara lisan maupun tulisan dalam format berbentuk teks, gambar, audio, maupun video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan juga Pemerintahan.
Kedua, Serupa dengan butir pertama yang mana hal tersebut ditujukan terhadap salah satu suku, ras, agama dan antar golongan.
Ketiga ialah, Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 yang menggunakan media sosial atau dengan cara (share, upload,broadcast, retweet, repost, ataupun sejenisnya).
Sementara nomor empat ialah berkenaan dengan anggapan atau berupa dukungan sebagai tanda setuju mengenai pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan cara memberikan tanda dislike, likes, love, retweet, ataupun berwujud comment di media sosial.
Kelima, Pemberitaan yang berpotensi menyesatkan baik secara langsung maupun yang menggunakan media sosial. Keenam, Penyebarluasan pemberitaan yang dinilai menyesatkan baik secara langsung maupun memanfaatkan jejaring sosial.
Ketujuh, Penyelenggaraan kegiatan atau aksi yang mengarah pada perbuatan berbentuk menghina, menghasut, memprovokasi, serta membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
Kedelapan adalah Keikutsertaan pada suatu organisasi dan atau kegiatan yang diyakini cenderung mengarah pada perbuatan menghasut, menghina, memprovokasi, dan membenci atas empat pilar negara beserta Pemerintah.
Butir sembilan, yakni Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan juga Pemerintah.
Sepuluh, Pelecehan atau penghinaan terhadap simbol negara baik yang dilakukan secara langsung maupun yang melalui jejaring sosial. Sebelas, Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 hingga 10 yang dilakukan secara sadar oleh pihak ASN.
Berkaca pada pengalaman, banyak orang-orang yang bertingkah laku seolah mereka paling mengerti terhadap ketatanegaraan. Padahal kenyataannya mereka hanya ikut-ikutan arus yang berada di jejaring sosial. Termasuk penyebaran radikalisme yang begitu subur bertumbuh di dunia digital. Jumlah 800 ribu orang ASN itu bukan jumlah yang sedikit, loh! Bayangkan jika angka tersebut terus bertambah, sehingga akan membuat suasana negara makin keruh.
Maka dari itu pemberlakuan aturan SKB 11 Menteri ini bukan hanya melindungi ASN saja, namun juga seluruh warga negara. Sehingga mereka akan berlaku lebih bijak dalam menggunakan media sosial serta mampu menekan angka penyebaran radikalisme yang kian menggila!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews