UGM Larang Masjid Kampus Undang UAS, Ini Bukan Kampus yang Saya Kenal

Alasan yang disampaikan tak lazim untuk kampus, yang seharusnya membuka diri atas beragam pemikiran. Dan saya ingin melupakan bahwa pernah sekolah di sana ...

Rabu, 16 Oktober 2019 | 17:50 WIB
0
386
UGM Larang Masjid Kampus Undang UAS, Ini Bukan Kampus yang Saya Kenal
Saya masih kurus, di panggung mimbar bebas Fisipol UGM, 1990 (Foto: Dok. pribadi)

Tahun 1989 saya diterima di UGM. Saya berangkat dari Lampung, menyeberangi Selat Sunda, menuju Yogyakarta dengan penuh semangat. Saya memasuki dunia baru yang mencerahkan. Kami generasi yang beruntung, menjadi mahasiswa UGM dengan Rektor Koesnadi Hardjasoemantri. Kami memanggilnya 'Pak Koes'.

Pak Koes orang hebat. Pakar Hukum Lingkungan ini suatu hari memanggil semua dekan. Dia memberi satu perintah penting: "Panggil kembali semua mahasiswa yang DO. Kalau diterima di UGM, itu artinya mereka bisa lulus". Keputusan luar biasa.

Kami kuliah di Jaman Orde Baru. Soeharto masih sangat berkuasa. Tapi Pak Koes sosok yang mumpuni. Dia tak melarang mahasiswa berdemonstrasi, walaupun kerap ditekan aparat militer.

Beberapa tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dicap 'kiri' --- Andi Arief dan Nezar Patria --- juga berasal dari kampus ini, meski saat itu Pak Koes sudah tak lagi menjadi rektor. Pak Koes, karena sudah dua periode, digantikan Pak Adnan. Toh saya merasa suasana kampus tetap demokratis.

Saat itu kampus UGM biasa mengundang tokoh 'oposisi'. Para pentolan Petisi 50, seperti Ali Sadikin dan AM Fatwa, bisa bicara di acara mahasiswa. Jamaah Salahudin, bebas mengundang pelbagai tokoh agama untuk mengisi ceramah.

Amien Rais, tokoh yang pertama kali mengajukan pergantian Presiden Soeharto, bebas bicara. Gus Dur, Permadi, Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, Sri Bintang, Buyung Nasution dll juga kerap manggung di Bulak Sumur. Tak ada soal. Dan saya terkagum-kagum dengan dialektika yang mereka sampaikan.

Ya, singkat kata, saat itu UGM menjunjung tinggi gagasan filsuf Voltaire: "Bisa jadi saya berbeda pendapat dengan Tuan. Tapi saya akan membela sampai mati hak Tuan untuk menyampaikan pendapat ..." Itu sebab di kampus boleh dibahas, misalnya, buku-buku komunis yang paling komunis sekalipun.

Hari ini saya terkejut dengan pencekalan Ustadz Abdul Somad oleh UGM. Alasan yang disampaikan tak lazim untuk kampus, yang seharusnya membuka diri atas beragam pemikiran. Dan saya ingin melupakan bahwa pernah sekolah di sana ...

***