Sesuatu yang terbuka dimasa Jokowi-Ahok, menjadi tertutup dimasa Anies. Yang tertutup semasa Jokowi-Ahok, menjadi terbuka dimasa Anies. Memang Anies selalu kebalikannya Jokowi-Ahok.
Kalau ada yang menduga Anies menolak untuk transparan soal anggaran, itu pasti anggapan dan dugaan yang salah. Anies ternyata tidaklah seperti itu.
Sesungguhnya, Anies sangat menginginkan transparansi, bahkan dia ingin buatkan aplikasi yang dapat dengan mudah diakses warga. Hal ini sebagai usahanya menunjukkan transparansi mengenai anggaran.
Ini disampaikan Anies saat dia menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta saat Pilkada DKI tahun 2017 lalu. Anies Baswedan akan fokus mewujudkan pemerintahan yang bersih bila terpilih kelak. Dia menjanjikan akan melakukan transparansi anggaran pada masyarakat.
"Transparansi akan menjadi kata kunci dalam pengelolaan pemerintahan ke depan," ujar Anies saat berada di rumah Jenderal (Purn) Djoko Susanto di, Jalan Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur (8/12/2016).
Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sulit rasanya untuk tidak menepati janji, jelas dia tidak ingin digambarkan Majalah Tempo seperti Jokowi, yang hidungnya memanjang seperti hidung Pinokio.
Meskipun pada kenyataannya Anies menolak untuk mengunggah KUA-PPAS, yang memang bukan tradisinya, karena itu tradisi Jokowi dan Ahok. Sementara Anies bukanlah Jokowi atau Ahok.
Sampai disini faham ya, Anies sangat ingin adanya transparansi anggaran, karena itu cita-cita dan janjinya saat kampanye sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta di Pilkada DKI tahun 2017 lalu.
Janji ini adalah bukti bahwa Anies menginginkan adanya transparansi anggaran. Soal terpenuhi atau tidak janji tersebut, ditepati atau tidak janji tersebut itu soal lain lagi. Yang jelas saat ini Anies adalah Gubernur DKI Jakarta.
Persoalan transparansi anggaran ini pulalah yang membuat awal kisruh di DPRD DKI, karena kader PSI menginginkan adanya trasparansi anggaran sejak dari bahan mentah anggaran (KUA-PPAS), RAPBD, sampai APBD, dan diunggah di website DKI.
Inikan hanya perbedaan persepsi, perbedaan sudut pandang dalam melihat kepentingan masyarakat terhadap keterbukaan anggaran, yang sudah menjadi tradisi Gubernur sebelumnya.
Juga perbedaan cara memahami janji Anies. Sebelum membandingkan Anies dengan Gubernur sebelumnya, harus difahami juga bahwa Anies adalah antitesis pendahulunya, Anies tidak ingin disamakan.
Yang salah itu pandangan yang menginginkan Anies Baswedan seperti Jokowi atau Ahok, sementara Anies dan pendukungnya sama sekali tidak menginginkan seperti itu. Anies adalah Anies, bukan Ahok atau Jokowi.
Sudah jelas-jelas kalau Anies selalu bertolak belakang dengan Jokowi atau Ahok, apa yang dilakukannya selalu tidak sama dengan apa yang dilakukan Jokowi-Ahok.
Termasuk juga perbedaan dalam hal transparansi anggaran. Kalau Jokowi-Ahok sangat trasparan soal anggaran, sehingga mudah diakses publik, boleh dong Anies melakukan hal yang sebaliknya, karena Anies antitesis Jokowi-Ahok.
Lihat saja sebagian JPO di Jakarta saat ini, kalau semasa pemerintahan Jokowi-Ahok, JPO semua atapnya tertutup. Tapi itu berbeda setelah Jakarta dibawah pemerintahan Anies, JPO sudah tidak lagi pakai atap, alias terbuka.
Sesuatu yang terbuka dimasa Jokowi-Ahok, menjadi tertutup dimasa Anies. Yang tertutup semasa Jokowi-Ahok, menjadi terbuka dimasa Anies. Memang Anies selalu kebalikannya Jokowi-Ahok.
Salah besar kalau memaksakan transparansi anggaran kepada Anies, karena Anies tidak ingin disamakan dengan Jokowi-Ahok, Anies merupakan antitesis Jokowi-Ahok.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews