KPK Terbelah oleh Intrik dan Faksi, Penyidik Lebih Berkuasa dari Pimpinan

Keberadaan "wadah pegawai KPK" lebih banyak untuk kepentingan politik dalam internal mereka dibanding digunakan untuk menuntuk kesejaeraan para pegawai di lembaga KPK.

Rabu, 28 Agustus 2019 | 11:28 WIB
0
518
KPK Terbelah oleh Intrik dan Faksi, Penyidik Lebih Berkuasa dari Pimpinan
Alexander Marwata (Foto: Detik.com)

Salah satu pimpinan KPK dan juga calon pimpinan KPK yaitu Alexander Marwata mengungkapkan pernah tidak diberi atau susah mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi oleh penyidik KPK. Hal itu diungkapkan oleh Alexander saat wawancara dengan Panitia Seleksi (Pansel). Ia juga sempat heran dan kaget karena merupakan salah satu pimpinan KPK.

"Sebelumnya memang enggak pernah ada pimpinan yang meminta BAP. Nah itu makanya, justru aneh kalau pimpinan minta BAP tidak diberi. Saya sangat kaget luar biasa. (Padahal) saya yang terbitkan sprindik," ujar Alex saat tes wawancara dan uji publik capim KPK di Gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019) sebagaimana diberitakan Kumparan.

Bagaimana bisa lima pimpinan KPK tidak diberi tembusan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik yang merupakan bawahannya?

Apakah fungsi lima pimpinan KPK hanya sekedar untuk tandatangan terkait penerbitan sprindik untuk penetapan tersangka dan sekedar formalitas untuk pajangan saja?

Apakah lima pimpinan KPK harus tandatangan dan tidak bisa menolak,ketika para penyidik menyodorkan sprindik untuk ditandatangani?

Begitu kuasa atau dominankah penyidik KPK itu?

Apa yang disampaiakn oleh pimpinan dan calon pimpinan KPK yaitu Alexander Marwata menunjukkan bahwa lembaga KPK memang ada masalah internal dalam koordinasi antar pimpinan dan penyidik.

Lima pimpinan KPK sepertinya hanya formalitas dan tidak lebih dari sekedar panjangan saja. Dan para penyidik begitu sangat berkuasa dan dominan.

Ini semua karena adanya wadah dalam KPK yang bernama "wadah kepegawaian KPK" yang terdiri dari para penyidik dan pegawai KPK lainnya.

Bagaimana bisa lembaga penegak hukum punya "wadah kepegawaian" mirip seperti serikat pekerja. Harusnya lembaga penegak hukum tidak boleh ada yang namanya wadah kepegawaian atau serikat pekerja. Bisa berbahaya. Karena kalau "wadah kepegawaian" itu terlalu kuat maka bisa menjadi alat penekan kepada pimpinan KPK itu sendiri. Atau kalau para penyidik melakukan boikot tidak mau menangani perkara. Ini bisa berbahaya dikemudian hari.

Dan itu terbukti. Ketika lima pimpinan KPK melakukan mutasi kepada beberapa pegawai atau penyidik KPK dan mereka menolak untuk dimutasi atau dipindah. Dan akhirnya melakukan gugatan ke pengadilan karena tidak mau dipindah. Ini kan aneh. Seorang pegawai KPK menolak dipindah oleh pimpinan KPK.

Keberadaan "wadah pegawai KPK" lebih banyak untuk kepentingan politik dalam internal mereka dibanding digunakan untuk menuntuk kesejateraan para pegawai di lembaga KPK.

Di satu sisi lembaga KPK adalah lembaga penegak hukum,tapi disatu sisi mempunyai cita rasa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berlindung dibalik nama "wadah kepegawaian".

Wadah Kepegawaian KPK untuk peridoe pertama dipimpin oleh Novel Baswedan.

Apalagi para penyidik KPK ini mempunyai niat ingin menyingkirkan para penyidik dari unsur kepolisian dan kejaksaan? Bahkan para penyidik KPK menekan kepada pimpinan KPK untuk mengangkat para penyidik dari internal KPK. Dan itu sudah dilaksanakan. Hasilnya, mendapat protes dari para penyidik unsur kepolisian karena tidak melalui test sebagaimana mestinya.

Dalam tubuh KPK ada intrik dan faksi di antara mereka.

***