Ragam Aksi Korektif Siti Nurbaya

Soal kedekatan Siti dengan media ini bisa dipahami, mengingat dia lama di birokrasi. Merintis karir dari Pemprov Lampung, Siti lalu ditarik ke lingkungan Departemen Dalam Negeri.

Senin, 9 September 2019 | 19:31 WIB
0
483
Ragam Aksi Korektif Siti Nurbaya
Siti Nurbaya (Foto: Monitor.co.id)

Judul Buku: Saatnya Berubah: Aksi Korektif Siti Nurbaya Mengelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Editor: Eka Widodo Soegiri, dkk
Tebal: 182 halaman
Terbit: 6 September 2019

“Seorang profesional, pekerja keras, beliau kita minta untuk mengawal lingkungan hidup dan kehutanan ke depan.” Presiden Joko Widodo sepertinya tak berlebihan menyatakan hal itu saat mengumumkan penunjukan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Minggu (26/10/2014).

Siti pertama kali membuktikannya di bulan-bulan pertama memimpin lembaga yang merupakan gabungan dua kementerian dengan karakter berbeda. Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Nyaris tanpa riak! Dialog menjadi kuncinya. Semula dia memang harus mondar-mandir menembus kemacetan jalan raya Jakarta. Demi bisa berbicara dari hati ke hati dengan para pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup di kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur dan Kementrian Kehutanan di Senayan dia lakoni dengan happy.

Tak lupa, para senior dan aktivis LSM ikut diajak serta agar mendapatkan solusi yang cepat sekaligus menyejukkan semua pihak. Salah satunya Ir Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998. Hingga sekarang dia masih kerap memberikan kritik dan nasehat kepada Siti.

Belum genap setahun menjadi menteri, ujian berikutnya menghadang Siti Nurbaya; Kebakaran hutan! Fenomena El Nino pada pertengahan 2015 menjadikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) salah satu yang terparah sepanjang sejarah. Bencana ini benar-benar menguras kemampuan manajerialnya. Dia mengerahkan segenap jejaring yang ada, membangun sinergi dengan berbagai pihak terkait. Siti Mafhum tanpa sinergi mustahil bisa memadamkan api yang begitu dahsyat dan menghilangkan polusi asap pekat.

Ketika semua teratasi, berikutnya adalah bagaimana mencegah agar bencana serupa tak terulang. Untuk itu dia membuat berbagai kebijakan korektif dengan menekankan penguatan manajemen pencegahan dan pengendalian karhutla, koordinasi pengendalian, penyebarluasan pengetahuan, dan proses perubahan perilaku sosial masyarakat untuk terlibat dalam pengendalian kebakaran.

Karena lazimnya kebakaran banyak terjadi dan yang paling sulit diatasi adalah di lahan gambut, Siti Nurbaya mewajibkan para pengelola untuk membuat sekat kanal. Juga mengatur tata air agar kelembapan kawasan terjaga dan kebakaran lahan terhindar. Hasilnya, luas kebakaran hutan terus mengecil. Jika pada 2015 tercatat 2,6 juta hektare, menjadi 438.363 hektare (2016), 165.483 hektare (2017), dan 510.564 hektare (2018).

Tak cuma itu. Untuk membuat efek jera, master lulusan International Institute for Aerospace Survey and Earth Science, Enschede, Belanda, 1988 itu, menyeret sejumlah perusahaan kakap bidang kehutanan ke pengadilan. Tuduhannya, mereka biang kerok kebakaran. Catatan di Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dibentuk pada 2015, menunjukkan ada 567 kasus pidana masuk ke pengadilan, 18 gugatan terhadap perusahaan (inkrah) dengan nilai Rp 18,3 triliun, dan 132 kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

"Ini yang membedakan pemerintahan Joko Widodo dengan rezim-rezim sebelumnya. Ini salah satu yang paling penting untuk kita apresiasi," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi kepada detik.com, pertengahan Januari 2019.

Sementara Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid pernah membela Siti saat presiden Jokowi memarahinya. Mantan Wali Kota Solo itu mengritik keras Siti yang dinilai tidak melakukan terobosan dalam pengelolaan hutan. Ia menilai pembangunan hutan hanya berorientasi proyek.

"Itu sentilan buat dia juga, Jokowi punya janji 12,7 juta hektare perhutanan sosial diberikan pada rakyat dan 9 juta hektare yang akan diberikan pada petani untuk reforma agraria. Sampai sekarang ini lamban gerakannya," kata Khalisah kepada CNNIndonesia.com, 2 Agustus 2017.

Upaya memadamkan api dan menghilangkan asap kebakaran hutan adalah hanya satu dari sederet aksi Siti Nurbaya selama memimpin Kementerian LHK yang terekam dalam buku “Saatnya Berubah: Aksi Korektif Siti Nurbaya Mengelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan”. Buku setebal 182 halaman ini diinisiasi dan ditulis para staf Kementerian LHK di bawah tanggung jawab Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Agus Justianto.

Buku tersebut tidak diluncurkan atau dibedah secara formal, namun diulas dalam bingkai coffe morning di Gedung Manggala Wanabhakti, Jumat (6/9/2019) lalu.

Dipaparkan juga beragam aksi korektif substansial dan progresif lainnya, seperti upaya Siti Nurbaya menginisiasi uji coba kantong plastik tidak gratis pada 2017. Langkah ini diimplementasikan oleh pemerintah daerah dan toko ritel secara sukarela. Juga di isu-isu terkait pengelolaan hutan produksi, industri kehutanan, penanganan deforestasi, pengembangan hasil hutan bukan kayu, dan lainnya.

Segala perbaikan dan kemajuan yang dihasilkan dari aksi korektifnya ini menjadi catatan keberhasilan yang tak terpungkiri. Semua dimungkinkan, sekali lagi karena sikap Siti yang terbuka. Dia pandai memanfaatkan jejaring yang dimilikinya, dan terutama mau mendengar dan belajar dari pihak lain.

Siti juga terbuka kepada pers. Perempuan kelahiran Jakarta, 28 Juli 1956 itu mudah didoorstop atau dihubungi melalui WA untuk meminta konfirmasi. Dia tidak kaku dan menjaga jarak karena aturan protokoler. Andai memang situasinya tak memungkinkan untuk menjawab, Siti biasanya akan mengarahkan wartawan untuk menghubungi langsung pejabat terkait. Tak cuma menyertakan nama dan nomor kontak si pejabat, Siti biasanya juga sudah mengontak si pejabat agar meladeni pertanyaan wartawan terkait sebuah isu.

Pada awal April 2017, saya dan beberapa wartawan yang tengah mengikuti perjalanan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ke Helsinki, Finlandia, pernah “mendoorstop” Siti Nurbaya yang kebetulah juga tengah mengikusi sejumlah agenda di negara itu. Ketika itu Parlemen Eropa baru saja menerbitkan Resolusi Sawit yang memojokkan Indonesia karena mengaitkannya dengan isu HAM.

Kami dibuat surprise karena Siti menyertakan sejumlah pejabat terkait untuk memberikan respons bersama. Mereka antara lain Duta Besar Indonesia untuk Finlandia Wiwiek Setyawati Firman dan Deputi Kepala Bappenas bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Gellwynn Jusuf.

Pada 2004, ketika kasus kekerasan IPDN menyeruak ke publik dia justru menggandeng media massa untuk bersama mengungkap kasus tersebut. Kala itu, dia meladeni Tempo yang tengah menyusun laporan utama, secara terbuka. Hasilnya sebuah laporan yang relatif komprehensif dan berimbang.

Soal kedekatan Siti dengan media ini bisa dipahami, mengingat dia lama di birokrasi. Merintis karir dari Pemprov Lampung, Siti lalu ditarik ke lingkungan Departemen Dalam Negeri. Jabatan tertingginya adalah Sekjen Depdagri. Dari situ dia diajak Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Prof Ginandjar Kartasasmita untuk menjadi Sekjen DPD.

Dari sejumlah tamu yang hadir, bermunculan puja-puji terhadapnya. Siti meresponsnya dengan senyum. “Apa kebanggaan seorang pemimpin itu? Disayangi oleh bawahan dan ketika mereka menulis buku ini, artinya mereka menyayangi pemimpinnya,” ungkap Siti.

Buku ini, dia melanjutkan, sebenarnya berisi gambaran apa yang kita kerjakan bersama-sama di Kementerian ini. “Terima kasih untuk kerja keras teman-teman yang telah bersama saya selama hampir 5 tahun ini,” ujarnya.

Terkait materi buku yang bertabur foto, saya dapat memakluminya karena dibuat oleh para staf aktif maupun yang sudah pensiun. Ini semacam ekspresi kekaguman terhadap atasan mereka.

Meskipun begitu, tentuk akan lebih elok bila sebagian foto seremonial digantikan dengan infografis. Selain akan membuat materi lebih variatif, informasi substansial tetap terakomodir di dalamnya sehingga lebih sarat makna.

***