Demokrasi, Korupsi, dan Informasi

Ataukah kini sedang terjadi anomali babak lanjutan dari demokrasi di mana catatan sejarah dan akal sehat diizinkan untuk cuti?

Selasa, 17 September 2019 | 15:12 WIB
0
481
Demokrasi, Korupsi, dan Informasi
Trump dengan latar belakang Samuel Huntington (Foto: The Whasington Post)

Jika kita mengikuti catatan Samuel Huntington, demokratisasi terjadi dalam tiga gelombang. Pertama, saat terjadi Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika Serikat tahun 1790an. Kedua, pasca Perang Dunia Kedua. Ketiga, pada periode 1970-1990. Demokrasi diyakini adalah ruang bebas yang diidamkan publik di luar kerangkeng kediktatoran.

Entah dengan alasan apa Huntington membatasi periode ketiga gelombang demokratisasi dari tahun 1970 hanya sampai tahun 1990. Padahal, saat itu (1990) sedang terjadi perubahan besar dalam konstelasi politik, ideologi, dan kekuatan militer dunia, yaitu runtuhnya Blok Timur (Pakta Warsawa), kemudian Uni Sovyet.

Seharusnya bisa dipastikan, keruntuhan komunisme itu akan disusul dengan musim semi demokrasi di negara-negara eks Blok Timur. Mungkin Huntington sangat percaya dengan apa yang dikatakan Duta Besar Amerika untuk PBB (1981-1985), Jeane Kirkpatrick, “Tidak ada cerita, masyarakat komunis berubah menjadi demokratis.” Tapi kenyataan menunjukkan sebaliknya: negara-negara eks satelit Sovyet dan pecahan Sovyet pada tahun 1990-1991 berubah menjadi negara demokratis.

Bahkan, jika ingin mencari puncak demokratisasi gelombang ketiga, justru terjadi di tahun 1998 di Indonesia, setelah jatuhnya Soeharto. Indonesia, sebuah negara besar (luas wilayah dan jumlah penduduknya) berubah cepat dari sebuah negara dengan pemerintahan otoriter menjadi demokratis, bahkan jauh lebih demokratis dibanding Amerika Serikat sekalipun.

Buktinya, dalam alam demokrasi Indonesia semua kelompok mempunyai hak dan kewajiban yang sama, temasuk kelompok sisa-sisa Orde Baru, para pendukung, serta penikmat rezeki haram dari sistem (politik, hukum, dan ekonomi) terdistorsi yang dipelihara Orde Baru. Di Indonesia, demokrasi menemukan formatnya yang paling mendekati sempurna.

Uniknya, dalam perjalanan pasca reformasi 1998, kelompok-kelompok yang pada masa Pemerintahan Soeharto ditindas sekaligus menjadi penentang, di alam demokrasi sebagian dari mereka bergabung dalam satu kelompok yang mengambil posisi diametral dengan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Gak usah bingung kalau dalam demokrasi terdapat keajaiban dan keanehan.

Pada dasarnya, gelombang ketiga demokratisasi yang disebutkan Huntington itu sendiri lahir dari rahim sebuah peristiwa yang bertolak belakang dengan demokrasi, yaitu kudeta.

Di Lisabon, Portugal, Kamis, tanggal 25 April 1974 pukul 00.25 sebuah stasiun radio memutar lagu ‘Grandola Vila Morena’ (dipopulerkan oleh Zeca Alfonso). Lagu itu adalah isyarat bagi satuan-satuan militer untuk mulai bergerak menguasai instalasi-instalasi strategis guna mengakhiri kediktatoran Perdana Menteri Marcello Caetano.

Meskipun dinamai ‘Revolusi Bunga’ karena terjadi pada musim semi, dan yang dilengserkannya adalah seorang diktator, tetap saja yang namanya kudeta adalah barang haram dalam kamus demokrasi. Dari peristiwa itu Portugal berubah menjadi negara demokratis. Bahkan peristiwa itu mendorong gerakan demokrasi ke berbagai belahan dunia.

Umumnya, penyakit paling parah yang diderita oleh satu negara yang lama diperintah oleh seorang diktator adalah korupsi. Karenanya, sangat wajar kalau salah satu produk demokrasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditinjau dari perubahan indeks persepsi korupsi, dalam 17 tahun usianya, KPK adalah lembaga anti korupsi paling giat di dunia dalam memerangi korupsi.

Hanya saja, semangat KPK itu tidak dibarengi reformasi di jajaran korp hakim. Kendati sangat banyak penyelenggara negara dan mitra jahatnya yang terjaring KPK, namun hukuman bagi para koruptor itu terlalu lembek. Karenanya tidak membuat para pejabat haram jadah yang memiliki kesempatan untuk korupsi menjadi takut untuk berbuat khilaf.

Sekali lagi, di alam demokrasi semua kelompok, temasuk kelompok kaum korup yang pesta pora di masa Orde Baru, mempunyai hak yang sama dalam politik, hukum, dan ekonomi. Karenanya, demokrasi tidak serta merta menghentikan korupsi. Terlebih karena hukumannya sangat ringan, jumlah pelakunya makin banyak. Para koruptor yang terjaring hanya kehilangan nama baik, itu pun kalau punya. Sementara harta jarahannya tetap aman.

Tentu saja kelompok kaum korup produk Orde Baru maupun produk demokrasi akan bersatu melawan upaya pemberantasan korupsi dan praktik-praktik kotor lain di bidang ekonomi. Bagaimana caranya? Ya dengan segala cara. Paling tidak, begitulah tesis rasional makronya.

Jadi, jika demokrasi melahirkan banyak anomali dan keanehan, maka tidak usah heran kalau dalam urusan pemberantasan korupsi, di mana sentralnya adalah lembaga KPK, juga terjadi hal serupa. Berapa banyak figur yang dulunya dikenal sebagai pegiat anti korupsi kini justru bersekutu dan mati-matian membela pejabat-pejabat yang pantas diduga korupsi.

Kisruh yang terjadi KPK terkait jajaran komisioner baru dan RUU KPK saat ini, pihak-pihak yang berseteru tidaklah bipolar, terbagi dua pihak yang berseberangan. Paling tidak perlu dipahami bahwa: di KPK terdapat faksi-faksi yang memiliki agenda yang berbeda-beda, di DPR juga demikian.

Di Pemerintah juga tidak semua menginginkan pemberantasan korupsi lebih diefektifkan dan KPK dikuatkan serta diamankan dari kepentingan di luar pemberantasan korupsi. Hanya saja, di pemerintahan keputusan final ada di tangan Presiden. Peta persoalannya tidak sederhana.

Di era informasi bebas saat ini, senjata paling ampuh untuk mempengaruhi opini publik adalah media. Keahlian memanfaatkan media, menyusun narasi, menata kata, dan menekuk logika menjadi sangat penting dalam memenangi pertempuran di medan persepsi publik.

Contoh, jika seorang atau sekelompok orang yang dikenal sebagai pegiat anti korupsi, maka lawannya dalam kontroversi langsung distigma sebagai pro koruptor. Contoh lain, makin banyak pejabat yang kena OTT KPK, disimpulkan bahwa OTT KPK atau KPK itu sendiri menjadikan korupsi makin marak.

Celakanya, yang berpemikiran macam itu adalah orang berpendidikan tinggi dan duduk di lembaga terhormat. Begitu juga dengan orang-orang yang mengamini tesis sesat itu, juga orang-orang terpelajar dan memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa.

Bukti dari ampuhnya informasi (via media) dalam membentuk persepsi publik, berapa banyak di antara kita yang terkagum-kagum dan berpikiran bahwa Amerika dan negara-negara barat adalah bandar kebenaran dan hebat, setelah mendapat informasi dari BBC, Reuters, AP, Washington Post, CNN (Amerika), atau setelah nonton film James Bond, Chuck Norris, dan Rambo? Ayo ngaku saja.

Jika selama ini Amerika Serikat menasbihkan diri sebagai bandar demokrasi, itu adalah bualan terbesar dalam sejarah manusia. Buktinya, hampir selama masa pemerintahan Soeharto (1967-1998) Amerika menjadi the first and last lending resort bagi Indonesia. Dengan diam-diam atau terang-terangan, mereka bersikap pragmatis, toleran, dan hipokrit terhadap kediktatoran Soeharto.

Padahal semua tahu, meskipun Soeharto selalu mengklaim sebagai pemimpin yang ‘demokratis’ karena Indonesia adalah negara demokrasi, tapi semua tahu bahwa demokrasi versi Soeharto adalah ‘demokrasi dengan tapi’. Berapa banyak korban yang mati di tangan aparat di masa Orde Baru. Berapa luas tanah rakyat atau negara yang diambilalih oleh keluarga dan kroninya yang bebas melakukan apapun untuk menumpuk kekayaan. Korupsi merajalela.

Tapi toh kala itu Amerika oke-oke saja tuh, menggelontorkan pinjaman via IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, serta memberikan special privilege di bidang perdagangan, antara lain kuota ekspor produk-produk manufaktur ringan.

Ataukah kini sedang terjadi anomali babak lanjutan dari demokrasi di mana catatan sejarah dan akal sehat diizinkan untuk cuti?

Orang-orang yang memposisikan diri di garda terdepan pemberantasan korupsi, jihadis demokrasi, pembela HAM, penegak keadilan untuk semua, bersekutu dengan kelompok-kelompok yang pada era sebelum reformasi mereka lawan karena merampok dan menindas, hanya karena membaca berita di media?

Come on, jadilah orang baik atau orang haram jadah, tapi karena pilihan sendiri untuk mecapai tujuan, dengan benar-benar tahu, paham persoalan yang sebenarnya. Bukan beropini, bersikap, bertindak semata-mata karena diarahkan melalui berita di media, bukan karena akal dan alur pikir yang ditekuk dengan narasi serta tesis orang lain.

***