Tentang "Blackout" 4 Agustus 2019, Ada Unsur Sabotase?

Kejadian mati listrik kemarin membawa pesan bahwa negara harus mengevaluasi sistem pengamanan bidang-bidang strategis yang menjadi kepentingan masyarakat.

Senin, 5 Agustus 2019 | 22:52 WIB
0
661
Tentang "Blackout" 4 Agustus 2019, Ada Unsur Sabotase?
Ilustrasi listrik mati (Foto: Prokal.co)

Matinya listrik di DKI Jakarta, Jabar, dan Banten secara bersamaan pada 4 Agustus 2019 adalah peristiwa besar. Bukan sekadar mati listri ‘seperti biasa’. Kejadian itu, menghentikan semua aktivitas banyak orang, dan menghentikan (paling tidak menghentikan sementara) mesin-mesin yang beroperasinya menggunakan arus listrik.

Proses produksi di industri terhenti, mesin-mesin alat medis di rumah sakit terhenti, transaksi keuangan non tunai tidak dilakukan, sistem transportasi terganggu, alat-alat sistem pertahanan dan pengamanan terinterupsi, dan lain-lain, serta dampak ikutannya. Secara ekonomi, nilai kerugian yang ditimbulkan cukup besar, juga risiko-risiko lain yang meningkat selama listrik mati. 

Sejauh ini PLN menyebutkan, penyebab mati totalnya listrik di tiga provinsi (Jabar, DKI, Banten) adalah gangguan pada SUTET Ungaran-Pemalang (masuk sistem Jabar), serta matinya Turbin Gas 1–6 (kemudian disusul turbin nomor 7) di PLTU Suralaya, Cilegon. 

Ada beberapa catatan dari kejadian ini;

Pertama, Ini menggambarkan betapa sistem kelistrikan PLN, baik di sistem pembangkitan maupun transmisi sangat rentan, artinya rentan juga untuk disabotase.

Kedua, dalam catatan saya, dari hasil sekian kali wawancara atau liputan tentang kelistrikan, peralatan transmisi listrik ‘terbaru’ milik PLN dibeli pada akhir dekade 1980an dan 1990an. Sehingga, jika sekarang-sekarang sering terjadi gangguan pada sistem transmisi listrik PLN, ada alasan yang ‘bisa diterima dan dipahami’. 

Ketiga, kejadian ini agak aneh. Dua peristiwa di dua tempat berjauhan, yang akibatnya merujuk pada satu hal: terhentinya aliran listrik ke satu wilayah (3 provinsi) terjadi secara bersamaan. Dua penyebab blackout di Jabar, DKI dan Banten, yang disebutkan PLN, tidak berupa blasting atau benturan yang menimbulkan kerusakan fisik pada peralatan atau konstruksi, melainkan gangguan senyap, quiet disturbance. 

Layak diduga, gangguan awalnya terjadi ‘di layar komputer’. Bahkan, untuk mengetahui penyebab gangguan itu, PLN mengajak kalangan akademisi dan pakar dalam penyelidikannya. Artinya, PLN sendiri tidak yakin mampu mengungkap penyebab kejadian ini. Kemungkinan lain, PLN ingin mengatakan, “Ini bukan salah kami, kita lihat bareng-bareng.”

Keempat, kejadiannya di hari Minggu. Ini bisa benar-benar kebetulan. Tapi juga jika pikiran kita agak liar dan menduga ini tindakan sabotase, bisa diinterpretasikan sebagai ‘test awal’, dilakukan di hari Minggu agar akibatnya ‘tidak begitu besar’. 

Dalam tulisan ini, saya memasukkan kemungkinan sabotase sebagai penyebab terhentinya aliran listrik di Jabar, DKI, dan Banten secara bersamaan. Karena bagaimanapun, matinya listrik pada 4 Agustus 2019 telah melumpuhkan satu wilayah yang luas dan paling vital di negeri ini, yaitu Ibukota Negara dan dua provinsi penyangganya, dengan total penduduk lebih dari 50 juta jiwa. Di wilayah ini terdapat banyak obyek vital negara. 

Sementara gangguan yang disebutkan sebagai penyebab awal, terjadi di dua tempat yang berjauhan. Seharusnya, DKI Jakarta dan dua provinsi penyangganya, Jabar dan Banten terbebas dari kejadian mati listrik total. DKI Jakarta adalah potret wajah Indonesia. Tapi ini terjadi. 

Kalau sistem kelistrikan saja yang begitu vital bisa tiba-tiba mati total dengan sebab yang tidak diketahui secara pasti, sangat mungkin kerentaan serupa juga dialami oleh sistem-sistem strategis lainnya, seperti jalur air yang sekaligus sumber air bersih yang menghidupi Jabar dan DKI, sistem distribusi minyak dan gas, sistem IT dimana saat ini hampir semua bidang menggunakan menggunakannya, termasuk lalulintas jalan raya di mana enam truk dengan muatan penuh yang ‘mogok’ di gerbang masuk di pagi hari bisa melumpuhkan Jakarta. 

Adalah fakta hari ini bahwa jaringan teroris sudah merasuk ke Indonesia.

Awalnya, sasaran aksi terorisme adalah orang asing (Barat) dan jaringan bisnis yang terafiliasi ke Barat. Akhir-akhir ini sasarannya sudah bergeser ke institusi yang memerangi terorisme, yaitu Polri. Bukan hal mustahil kalau sasaran mereka mulai merambah ke kepentingan negara secara keseluruhan. Di luar terorisme, adalah fakta juga bahwa tidak semua pihak happy dengan pencapaian pemerintah dalam lima tahun terakhir. 

Saya tegaskan, saya tidak mengatakan bahwa mati totalnya listrik selama enam jam di Jabar, DKI, dan Banten disebabkan oleh aksi sabotase. Tapi, aksi sabotase sebagai penyebabnya tidak boleh dikesampingkan. Toh sulit juga menemukan argumen kuat yang menyatakan penyebab blackout 4 Agustus 2019 kemarin bukan karena aksi sabotase. Tentu saja kita semua berharap penyebabnya bukan aksi sabotase.

Kejadian kemarin membawa pesan bahwa negara harus mengevaluasi sistem pengamanan bidang-bidang strategis yang menjadi kepentingan masyarakat. Caranya? Buat pada bidang-bidang strategis itu dibuat simulasi ‘jika 1., jika 2., jika 3., dan seterusnya. Lalu disusun sistem pengamanan yang mendahului ‘jika-jika’ itu sebagai penangkalnya.

Sistem itu harus terus-menerus ditingkatkan, karena setiap bidang yang harus diamankan pun terus berkembang. Begitu juga kaum destruktif itu akan terus mencari celah untuk melakukan aksinya. 

Satu lagi, selain sistem pengamanannya harus terus ditingkatkan, dan juga yang tak kalah penting adalah memastikan semua SDM yang bekerja di bidang-bidang strategis tersebut, memiliki integritas serta komitmen tinggi terhadap Negara Kesatuan RI agar menjadi bagian terpenting dari sistem pengamanan tersebut.

***