Lawan Para Perusuh Itu!

Kemarin baru saja terungkap Caleg Partai Berkarya --parpol milik Cendana-- bersekongkol dengan dosen IPB untuk membakar seputaran Grogol, Roxy, Glodok. Untuk menciptakan kerusuhan rasial.

Selasa, 1 Oktober 2019 | 19:40 WIB
0
356
Lawan Para Perusuh Itu!
Ilustrasi demo (Foto: Kompas.com)

Setiap hari demo di Jakarta. Biasanya dilakukan menjelang sore. Malamnya Jakarta akan penuh kericuhan. Bom molotov, batu, gas air mata, penjarahan, semua jadi satu.

Tengah malam selesai. Besok mulai lagi dengan rutinitas yang sama.

Anak-anak biasanya mahasiswa duluan turun. Sekitar sianglah. Atau anak-anak sekolah. Menggunakan jaket almamater atau seragam sekolah. Mereka seperti jadi band pembuka untuk pertunjukan sesungguhnya di malam hari : rusuh!

Itulah menu utamanya. Rusuh. Bakar. Hancurkan.

Selama beberapa hari ini, polanya selalu begitu.

Pertanyaanya, saat ini apa yang mereka protes? Demo untuk menyampaikan tuntutan apa?

RUU KUHP? Sudah disepakati untuk ditunda pengesahannya.

UU KPK? Sudah diketuk dan disyahkan. Demonya telat. Jika mau protes UU tersebut bisa menggugat di MK. Jalan ke MK itu bisa menggugurkan pasal-pasal yang dianggap bertentangan. Sementara jalan membakar mobil, sama sekali gak ada yang akan dicapai. Selain teror.

RUU apalagi yang dipermasalahkan, sedangkan DPR sudah demisioner. DPR baru belum dilantik. Jikapun dilantik, mereka akan sibuk dengan dirinya sendiri dulu.

Mengukur jas dan kebaya. Mengatur siapa yang jadi ketua dan wakil ketua. Siapa ketua komisi. Siapa ketua fraksi. Siapa anggota banggar. Siapa masuk komisi mana. Itu saja butuh waktu sekitar tiga bulan.

Jadi para pendemo di gedung DPR nanti, apa yang mereka protes? Apa yang mereka minta dari DPR yang belum sempat ngapa-ngapain itu?

Bagi saya, demo yang konsisten polanya, siang bawa poster dan malamnya bawa molotov (mungkin saja orangnya berbeda), bukan lagi perkara menyampaikan aspirasi. Ini teror.

Sialnya masih ada orang yang tepuk tangan dengan kegilaan ini.

Di media sosial, ada terornya jenis lain lagi. Tudingan bozar-bazer. Seolah-olah kita tidak boleh membela pikiran kita sendiri. Jika kita tidak pro pendemo, akan dituding bazer Istana. Atau bazer Jokowi.

Karena ketakutan dicap ini-itu kita memilih diam. Lalu membiarkan media sosial dikuasai para pencoleng. Tudingan bozar-bazer itu semacam jalan pembuka untuk membungkam siapa saja yang berbeda.

Akhirnya kita sama sekali tidak berani melawan ketika kota kita setiap hari dirusak. Ketika anak-anak dan adik-adik kita saban malam digiring ke arena pembantaian. Ketika kehidupan terganggu akibat rusuh.

Aparat juga dicaci. Mereka seperti samsak yang dihujani bogem tanpa bisa bereaksi. Padahal perilaku perusuh itu sudah keterlaluan.

Melihat polanya yang terstruktur, saya gak percaya bahwa di balik semua ini tidak ada kepentingan besar yang mensetting. Gambarnya terlalu telanjang untuk mengatakan bahwa semua bergerak organik.

Ini sudah bukan demo menyampaikan aspirasi. Kali ini yang terjadi adalah usaha membakar Jakarta agar kerusuhan 1998 terulang.

Bedanya, jika dulu rakyat bahu membahu membantu para mahasiswa. Sebab semua orang muak dengan Soeharto dan keluarganya. Kini masyarakat justru muak dengan para perusuh dan pendemo itu.

Para pengemudi muak karena rezekinya mampet gara-gara kemacetan. Para pekerja muak karena setiap malam selalu keleleran tidak ada angkutan. Para pengusaha muak, karena usahanya terganggu.

Ibu dan bapak di rumah cemas, kenapa anaknya belum pulang. Padahal diamankan di kantor polisi.

Akal sehat kita bertanya, sebetulnya apa sih, tuntutan mereka?

Kemarin baru saja terungkap Caleg Partai Berkarya --parpol milik Cendana-- bersekongkol dengan dosen IPB untuk membakar seputaran Grogol, Roxy, Glodok. Untuk menciptakan kerusuhan rasial.

Kita sulit melepaskan rencana itu dari semua gerak demo yang rusuh setiap malam ini. Semuanya berada dalam satu rangkaian orkestrasi yang sangat telanjang.

Bagi saya tidak ada cara lain, selain melawannya. Peduli orang mau teriak bozar-bazer. Peduli mau dituding bazer istana. Itu urusan pikiran mereka sendiri.

Saya melawan karena saya gak ikhlas Indonesia dirusak begini. Keharmonisan hidup kita dihancurkan. Kebiadaban terjadi di depan mata.

Saya melawan untuk menyelamatkan masa depan bangsa ini. Sebab tidak ada yang tersisa dari kerusuhan selain kesedihan dan air mata.

Siapa yang diuntungkan dari kerusuhan ini?

Para bandar dan mafia yang khawatir kesenangannya terganggu oleh Jokowi.

Para pengasong khilafah yang menunggu momentum untuk menegakkan ideologinya.

Para curut politik yang hidup dari konflik ke konflik.

"Satu lagi mas, yang diuntungkan," sela Abu Kumkum.

Siapa Kum?

"Para pedagang Starling. Starbak keliling."

Eko Kuntadhi

***