Benarkah Khilafah Bukan Ajaran Islam?

Masyarakat tidak perlu khawatir. Umat Islam tidak akan mendirikan Negara Khilafah! Yang perlu diwaspadai justru kebangkitan komunis modern.

Rabu, 3 April 2019 | 12:50 WIB
0
460
Benarkah Khilafah Bukan Ajaran Islam?
Bendera tauhid (Foto: Pinterest)

Adanya seseorang yang berada dalam arena Debat Capres IV pada Sabtu, 30 Maret 2019, yang memakai topi dengan simbul “palu-arit”, setidaknya membuktikan bahwa ideologi komunis hingga kini masih ada dan berkembang di Indonesia.     

Apalagi, di DPR ada yang terang-terangan “bangga jadi anak PKI”. Dan, anak-anak biologis komunis ini seringkali membangun kebencian sosial terhadap kaum muslim yang berlebihan, sehingga menguatkan deteksi keberadaan ajaran komunisme modern di Indonesia.

Pada saat komunis berkuasa lewat PKI pimpinan DN Aidit, mereka berhasil menghabiskan Masyumi dengan beragam fitnah. Salah satunya fitnah sebagai pendukung pemberontakan PRRI dengan dasar beberapa anggota Masyumi diam-diam ikut menjadi pemberontak PRRI, sehingga Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi pada 1960.

Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang (Crescent Star Family) untuk mengkampanyekan hukum syariah dan ajarannya. Ada  upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa transisi ke Orde Baru.

Tapi, tak diizinkan Orba. Setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, upaya lain membangkitkan partai ini kembali dilakukan, tapi para pengikut Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang, yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif tahun 1999, 2004, dan 2009.

Sementara isu pemberontakan yang dilakukan kaum muslim, adalah Khilafah yang ada dalam AD/ART ormas Islam HTI. Dan, fitnah tersebut berhasil, sehingga panji-panji A-Rayah dan A-Liwa yang bertuliskan kalimat Tauhid pun dituding sebagai simbol pemberontakan, hanya karena kedua panji tersebut menjadi bagian bendera HTI dan ISIS.

Ironisnya semua fitnah tersebut diamini dan didukung salah satu Ormas Islam di Indonesia, padahal kalau direnungkan secara cerdas akan terlihat jika panji-panji Ar-Rayah dan Al-Liwah itu berbeda dengan bendera HTI dan ISIS.

Selain itu, kedua panji tersebut juga sudah lahir jauh sebelum HTI dan ISIS ada. Dan, inilah sebuah fakta politik, bahwa kaum muslim yang mau belajar dan waspada terhadap proses “belah bambu” yang dilakukan pembenci Pancasila dan Islam itu hanya sebagian saja.

“Selebihnya sulit diajak belajar,” ungkap seorang ustadz kepada Pepnews.com. Tahu mereka atas instruksi hirarki, yang tidak semua instruksi tersebut terjamin kebenarannya.

Karena itu, katanya, sebagai ilmu pengetahuan, “Saya paparkan sedikit kebenaran tentang istilah Khalifah, Khilafah, dan juga Khalifatullah fil Ardh yang selama ini menimbulkan kerancuan, kebingungan, dan keblingerisasi,” lanjut ustadz tadi.  

Tiga istilah tersebut perlu dikupas agar tidak membangun polemik antar kaum muslim yang mudlorot, sehingga membuat perpecahan umat akibat provokasi mereka yang benci Islam dan kaum muslim.

Dalam Al-Qur’an sebenarnya tidak ada istilah Khilafah, dalam al-Qur’an tidak ada istilah Khalifatullah fil Ardh, dan hanya ada dua kali di dalam Al-Qur’an terdapat istilah Khalifah, yang ditujukan untuk Nabi Adam dan Nabi Dawud.

Penggunaan terminologi atau istilah Khalifah itu hanya digunakan dua kali dalam al-Qur’an. Pertama, dalam QS Al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Konteks ayat ini berkenaan dengan penciptaan Nabi Adam AS. Ini artinya Nabi Adam dan keturunannya telah Allah SWT pilih sebagai pengelola bumi. Penggunaan istilah Khalifah di sini berlaku untuk setiap anak cucu Adam.

Berikutnya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia....” (QS Al-Ahzab 72).

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al-Israq 70).

“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya 105).

Potensi semua manusia menjadi khalifah ini juga disinggung oleh Hadits Nabi SAW:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya.”

Lantas, “Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Sahih al-Bukhori, Hadits No 4789)

Kedua, ayat terakhir yang menyebut istilah Khalifah itu adalah yang berkenaan dengan Nabi Dawud:

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...” (QS Saad 26).

Harap diingat bahwa Nabi Dawud adalah Raja Bani Israil. Dalam ayat di atas, Nabi Dawud diperintahkan untuk memberi keputusan dengan adil. Inilah spirit ajaran Qur’an: keadilan. Sehingga amanah sebagai Khalifah (pemimpin) harus diwujudkan dengan prinsip keadilan. Kata adil dalam al-Qur’an disebut sebanyak 28 kali.

Pada titik ini, tidak satupun ayat mengenai Khalifah bicara mengenai sistem pemerintahan. Tentu ini dapat dipahami karena ada jarak yang jauh antara Nabi Adam dan Nabi Dawud dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Istilah Khalifah dalam konteks kepemimpinan umat pasca wafatnya Rasulullah SAW muncul setelah beliau wafat.

Titel kepemimpinan Abu Bakar itu Khalifatur Rasul (Pengganti Rasul). Karena tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka Abu Bakar menggantikan beliau dalam kapasitas sebagai pemimpn umat, bukan pengemban kenabian.

Menurut sejarawan Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, titel untuk Umar Bin Khattab itu Khalifatu Khalifatir Rasul (Pengganti dari penggantinya Rasul). Ini mungkin seperti ungkapan joke dari orang Madura, “Gubernur Jawa Timur itu Pak Mohammad Noer, selain itu ya cuma penggantinya”.

“Jadi, Sayidina Umar hanya dianggap sebagai Khalifah Pengganti Khalifah Rasul saja. Tapi penyebutannya kan jadi ribet. Nanti Khalifah ketiga dan keempat gaimana penyebutannya?” lanjut ustadz yang dekat dengan Istana ini.

Abdullah bin Jahsy kemudian menyebut Sayidina Umar sebagai Amirul Mu’minin. Maka gelar Khalifah tetap dipakai, namun dalam pelaksanaannya di masyarakat Khalifah kedua, ketiga dan keempat dipanggil dengan sebutan Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman).

Tradisi ini diteruskan oleh Bani Umayyah. Sepeninggal Bani Umayyah, muncul istilah baru di masa Khalifah ketiga Abbasiyah, yaitu Al-Mahdi.

Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, ini seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi.

“Yang terjadi, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Wazir (semacam perdana menteri),” ujar ustadz asal Surabaya berdarah Madura dan Sunan Ampel ini.

Istilah Khalifatullah fil Ardh ini tidak ada dalam al-Qur’an. Yang ada dalam al-Qur’an itu istilah “khalaif al-ardh” atau “khalaif fil ardh”. Misalnya:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalaif al-ardh (penguasa-penguasa di bumi) dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS Al-An'am 165).

“Kemudian Kami jadikan kamu khalaif fil ardh (pengganti-pengganti di muka bumi) sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”. (QS Yunus 14).

Jadi, sekali lagi menjadi jelas bahwa penggunaan kata khalifah dalam al-Qur’an digunakan merujuk ke Nabi Adam dan Nabi Dawud, bukan merujuk kepada khalifah sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ditemukan istilah Khilafah dalam al-Qur’an.

Maka kita sebaiknya jangan mengklaim sebuah istilah seolah ada dalam al-Qur’an, padahal tidak ada sama sekali. Begitu pula istilah Khalifatullah fil ardh, yang penggunaannya sangat politis dilakukan oleh Abbasiyah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan mereka.

Lantas apa bedanya khalifah dengan khilafah? Khilafah belakangan ini telah menjadi sebuah istilah yang bermakna sistem pemerintahan. Pemerintahan Khilafah ini sudah bubar sejak 1924. Maka tepat kita katakan “Islam Yes, Khilafah No”.

Bukan saja kita bilang “No” karena sudah bubar, dan digantikan oleh negara-bangsa, tapi juga istilah Khilafah tidak ada dalam al-Qur’an. Istilahnya saja tidak ada, apalagi bentuk dan sistem pemerintahan yang baku juga tidak terdapat penjelasannya di dalam al-Qur’an.

“Bisakah seseorang menjadi Khalifah tanpa ada Khilafah? Bisa! Mengapa tidak? Bukankah kita semua sebagai anak cucu Nabi Adam adalah pewaris dan pengelola bumi? Ini khalifah dalam pengertian Qur’an, bukan dalam konteks sistem Khilafah ala HTI,” tegasnya.

Bisakah pemimpin sekarang kita sebut sebagai Khalifah meskipun tidak ada khilafah? “Bisa, mengapa tidak? Bukankah Nabi Dawud menjadi Khalifah padahal beliau Raja Bani Israil?” lanjutnya. Kata kuncinya, seperti dijelaskan di atas, adalah keadilan.

Siapa pemimpin yang adil, bisa kita anggap sebagai Khalifah seperti Nabi Dawud. Bisakah ada khalifah tanpa khilafah? Bisa, mengapa tidak? Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani itu berdasarkan kerajaan, diwariskan turun temurun.

Ini bertentangan dengan konsep yang dijalankan Khulafa ar-Rasyidin. Tapi, toh namanya juga disebut sebagai Khalifah. Artinya pada titik ini cuma sebutan gelar belaka untuk kepala negara, sementara esensinya sudah hilang.

“Jadi jangan dikacaukan antara istilah khalifah dalam al-Qur’an dengan istilah khilafah (sistem pemerintahan) yang tidak ada dalam al-Qur’an,” tegas ustadz yang banyak belajar tentang sejarah Islam dan sufi ini.

Bagaimana dengan di kitab fiqh? Pembahasan di kitab fiqh tersebut dalam konteks kewajiban mengangkat pemimpin (Imam atau Khalifah), bukan kewajiban menegakkan sistem khilafah. Menurutnya, sampai di titik ini kerancuan semakin parah: seolah wajib mendirikan sistem khilafah. Padahal yang wajib itu memilih pemimpin.

Karena itu, sangatlah tidak mungkin jika kaum muslim Indonesia akan mengganti ideologi Pancasila yang lahir dari inti ajaran dalam Al-Qur’an. Selain itu, juga sangat tidak mungkin jika kaum muslim Indonesia akan mendirikan negara Khilafah yang tidak ada disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.

Ustadz yang sering keliling dunia itu berharap, sebagai seorang muslim yang masih bodoh ini, marilah kaum muslim Indonesia kembali bersatu dan meyakinkan diri, bahwa saudara kita sesama muslim tak akan mengganti ideologi Pancasila dan mendirikan Negara Khilafah.

Saat kaum muslim Indonesia bersatu, justru kekuatan kaum muslim dalam menjaga Pancasila dan NKRI ini akan membuat keder dan takut para kader komunis unit modern (milenial) yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan membuat NKRI menjadi negara boneka dari negara-negara komunis dunia.

Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir. Umat Islam tidak akan mendirikan Negara Khilafah! Yang perlu diwaspadai justru kebangkitan komunis modern!

***