"Saya mohon kepada KPK untuk, ya, bisa segera konklusif dan tuntas. Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak terlibat. Termasuk Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang diperiksa dan dicitrakan secara luas di Tanah Air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi ini, meskipun KPK belum menentukan hasil pemeriksaan," kata Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato yang disampaikannya dari Jeddah, Arab Saudi pada 4 Februari 2013 sebagaimana yang dikutip oleh sejumlah media (Sumber: Tempo.co).
Pidato SBY tersebut sebagai respon atas anjloknya tingkat elektabilitas Partai Demokrat. Sebab, menurut survei yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia sepekan sebelumnya, tingkat elektabilitas Demokrat menurun akibat kuatnya opini publik yang menganggap kader-kader partai Demokrat sering terlibat kasus korupsi.
Dalam survei yang digelar LSI pada 7-14 Januari 2018, tingkat elektabilitas Demokrat hanya 6,2 persen atau jauh di bawah perolehan suara partai berlambang Bintang Mercy tersebut pada Pileg 2009. Masih menurut survei LSI, Demokrat yang pada 2009 menjawarai pemilihan legislatif dengan 20,85 persen suara berada diposisi keempat. Sementara posisi tiga besar ditempati PDIP dengan tingkat elektabilitas 22,2 persen, disusul Golkar dengan 15,5 persen, dan Gerindra yang dipilih oleh 11,4 persen responden.
Ketika itu sejumlah elit yang juga anggota DPR dari Fraksi Demokrat, seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh terseret dalam kasus korupsi Hambalang. Selain keduanya, Andi Mallarangeng yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pun ikut terseret dalam kasus yang menjadi salah satu “ikon” Partai Demokrat yang saat ini diketuai oleh SBY. Begitu juga dengan Anas yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
"Sejak 2004 hingga sekarang, ini adalah angka terendah untuk Partai Demokrat memberikan keprihatinan dan kecemasan yang mendalam bagi jajaran Partai Demokrat di seluruh Tanah Air," ujar SBY.
Sebagai pendiri sekaligus pejabat tiga posisi strategis partai, yakni Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi, SBY pantas galau atas situasi dan kondisi partainya.
Kegundahgulanaan SBY tersebut sangat lumrah lantaran, sebelum LSI merilis hasil surveinya, Litbang Kompas lewat surveinya mengungkapkan jika tingkat elektabilitas Demokrat terus merosot, dari 11,1 persen pada (akhir 2012, menjadi 10,1persen pada pertengahan 2013, dan terus menukik ke angka 7,2 persen pada akhir 2013.
Tiga hari berselang setelah SBY menyampaikan pidatonya, publik dikejutkan dengan bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Anas Urbaningrum. Skandal “Spindik Anas” ini kemudian menyeret Abraham Samad selaku Ketua Komisaris Komisi Pemberantasan Korupsi dan asistennya, Wiwin Suwandi.
Lantaran selang waktu antara pidato SBY dengan bocornya Srindik Anas tersebut, publik pun kemudian menghubung-hubungkan keduanya. Dan, karena isi dari pidato SBY, publik pun mencium adanya intervensi Istana atas kasus Hambalang yang tengah ditangani KPK.
Kenapa publik berpikir Istana harus mengintervensi kasus Hambalang justru dengan menersangkakan Anas Urbaningrum? Bukannya seharusnya Istana membersihkan nama Anas dari daftar hitam KPK sehingga nama Demokrat kembali bersih dan partai ini dapat kembali bersaing dengan PDIP dan Golkar di posisi tiga besar?
Opini publik tersebut salah besar. Sebab, ditahannya orang dekat Istana atau presiden justru berdampak positif jika presiden maju sebagai calon petahana dalam pemilu.
Pada 27 November 2008 atau beberapa bulan jelang Pemilu 2009, Aulia Pohan yang juga besan SBY ditahan KPK atas kasus korupsi aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar kepada sejumlah anggota Dewan dan pejabat Kejaksaan serta bantuan hukum bagi para pejabat BI.
Ditangkapnya keluarga SBY ternyata justru meroketkan tingkat elektabitas Partai Demokrat dan SBY yang ketika itu berstatus bakal calon presiden petahana dalam Pilpres 2009.
Pada Agustus 2008, hasil survei putaran kedua Reform Institute menyebut tingkat elektabilitas SBY berada di puncak. SBY dipilih oleh 19,06 persen dari 2.473 responden. Pada Juni 2009, atau satu bulan sebelum Pilpres 2009, lembaga survei yang sama mengungkapkan tingkat elektabilitas SBY (Ketika itu sudah berduet dengan Boediono) mencapai 62,92 persen.
Dan, meski selama masa kampanye Pilpres 2009 kasus korupsi Aulia Pohan digoreng oleh lawan-lawannya, SBY mampu meraih 60,82 persen suara pemilih. Sementara perolehan suara Demokrat melejit dari 7,45 persen pada Pileg 2004 menjadi 20,85 persen pada pemilu legislatif 5 tahun kemudian.
Sedangkan pada Pileg 2014, Demokrat meraih 10,19 persen suara. Perolehan suara Demokrat ini melebihi angka-angka yang disodorkan oleh sejumlah rilis survei yang hanya menyebut berkisar di angka 6-8 persen.
Dengan demikian, di-operasi tangkap tangan-nya Romahurmuzly alias Romy yang juga ketua umum partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin justru berpotensi melambungkan tingkat elektabilitas pasangan yang diusungnya dalam Pilpres 2019. Begitu juga dengan dampak diproseshukumnya “orang-orang Jokowi” lainnya seperti Setya Novanto dan Idrus Marham.
Saat ini sejumlah lembaga survei, seperti SMRC dan LSI Indonesia menyebu tingkat elektabilitas sudah berada di atas 50 persen. Bahkan LSI mengungkapkan data jika elektabilitas Jokowi saat ini sudah 58,7 persen. Dengan kata lain, saat ini Jokowi sudah berada di zona aman.
Dari tiga pengalaman pemilu tersebut, Pileg 2009, Pilpres 2009, dan Pileg 2014, jelas jika diproses hukumnya orang dekat Jokowi justru dapat mendongkrak perolehan suara sang calon petahana.
***
Artikel ini sudah ditayangkan di Kompasiana.com
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews