Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tampaknya sangat geram mendengar hoaks terkini, tujuh kontainer surat suara tercoblos pada pasangan nomor urut 01. Jika biasanya Megawati hanya mengungkapkan penyesalannya terhadap perilaku hoaks para politisi, kali ini ia mendesak agar pelaku hoaks ditindak tegas.
Kegeraman Megawati masuk akal. Hoaks 7 kontainer surat suara telah tercoblos bukan sembarang hoaks. Dibandingkan hoaks Ratna Sarumpaet dipukuli, hoaks ini jauh lebih berbahaya sebab berpotensi menyebabkan kerusuhan politik dalam pelaksanaan pilpres 2019. Bahkan tampaknya memang ditujukan untuk itu.
Hoaks surat suara tercoblos patut diduga sebagai bagian dari investasi narasi pilpres curang. Ia bertujuan membangun kesan di kepala rakyat bahwa calon petahana Joko Widodo menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi KPU agar tidak bertindak netral dan bersedia bekerjasama untuk memenangkan petahana.
Jubir TKN Jokowi-Ma'ruf, Arya Sinulingga melihat hoaks surat suara tercoblos ini sebagai upaya sistematis mendiskreditkan KPU agar kelak tersedia alasan memprotes hasil pemilu.
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Idil Akbar menilai pembuatan dan penyebaran hoaks surat suara tercoblos upaya sistematis mendegradasi jalannya pilpres yang damai dan aman, dimaksudkan untuk memunculkan wacana "kalau tidak curang, tidak menang."
Sepertinya ada pihak-pihak yang telah membaca pilpres 2019 akan dimenangkan oleh Joko Widodo dan karenanya mulai mempersiapkan langkah-langkah antisipasi.
Hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos memang bukanlah narasi yang berdiri sendiri. Ia hanya mata rantai dari seri narasi yang mengarahkan rakyat agar berpikir calon petahana mencurangi pilpres. Perhatikan saja polanya.
Akhir-akhir ini persoalan apapun terkait e-KTP, dihubungkan dengan potensi pemilu curang. e-KTP kadaluarsa tercecer dijadikan indikasi kubu petahana mencurangi pemilu. Blanko e-KTP diperdagangkan di Pasar Pramuka dan Tokopedia dihubungkan dengan skenario kecurangan pemilu.
Bahkan ketika Kemendagri mengingatkan ada 31 juta penduduk telah melakukan rekaman e-KTP namun belum masuk data pemilih tetap (DPT), Kemendagri dipropagandakan hendak mencurangi pemilu.
Demikian pula ketika KPU membuat kotak suara pemilu dari bahan karton duplex kedap air. Pilihan bahan itu berdasarkan pertimbangan atas amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memerintahkan kota suara transparan. Pilihan penggunaan duplex sebagai bahan kotak suara itu dipropagandakan sebagai langkah mencurangi pemilu dan pilpres.
Terbaru adalah pernyataan Andi Arief menanggapi penjelasan Prof. Mahfud tentang penyelesaian sengketa kecurangan pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Dalam acara Indonesia Lawyers Club, Profesor Mahfud MD sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan banyaknya kecurangan membuat tidak semua kasus bisa diadili oleh MK. MK hanya memproses kasus dimana selisih suara dapat mengubah urutan pemenang. Mahfud mencontohkan jika ada kecurangan 4 juta suara sementara selisih suara antara capres 9 juta, MK tidak akan memproses perkaranya.
Penjelasan Prof. Mahfud ini masuk akal. Misalnya capres A menang dengan selisih 9 juta suara. Capres B melaporkan ada kecurangan 4 juta suara. Jika pilpres diulang dan 4 juta suara ternyata pindah semua ke capres B, tetap saja pilpres dimenangkan capres A dengan selisih 1 juta suara.
Penjelasan terang-benderang Mahfud MD diserang Andi Arief melalui twitternya. Andi Arief katakan logika Profersor Mahfud hal yang berbahaya, menuduh penjelasan sebagai ajakan pembiaran kecurangan pemilu dan pilpres dengan margin tertentu.
Andi bahkan menyerang pribadi, mengatakan jangan percaya Prof. Mahfud. Andi mengaku-ngaku sudah kenal Mahfud sejak di Yogyakarta sebagai seorang yang hanya senang menikmati demokrasi namun tidak terlibat aktif memperjuangkannya.
Untung saja Mahfud MD yang dikata-katai demikian dengan sabar ia menjawab bahwa penjelasannya soal tata cara menyelesaikan sengketa pemilu dan pilpres bukan bersumber dari diri pribadinya melainkan berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011 yang dibuat semasa Partai Demokrat penguasa mayoritas parlemen dan SBY presidennya. Jadi bukan saja UU itu ditandatangani SBY, boleh dikatakan UU 8/2011 dibuat Partai Demokrat.
Selain propaganda terbuka oleh para politisi, kita juga bisa melihat banyaknya akun media sosial palsu gentayangan di kolom komentar media online dan di media sosial, menyebarluaskan pernyataan sesat bahwa tanpa dicurangi, Prabowo tak mungkin kalah.
Semua ini merupakan satu kesatuan narasi besar yang bertujuan mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu dan pilpres 2019.
Entah apa target akhir dari pengondisian ini. Apakah sekadar menurunkan elektabilitas Jokowi karena disangka bertindak curang; atau agar ada alasan penundaan pemilu dan pilpres agar tersedia waktu yang lebih banyak lagi bagi lawan untuk mengejar ketertinggalan elektabiltas; atau agar kelak terjadi huru-hara menolak hasil pilpres.
Menyadari betapa jahat niat dan tujuan penyebaran hoaks ini, patut kiranya rakyat bersikap seperti Megawati Soekarnoputri, mendesak kepolisian untuk bertindak cepat, tegas dan tuntas membongkar dan memproses hukum tanpa pandang bulu para auctor Intellectualis, pembuat, dan penyebar hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos. Demokrasi harus diselamatkan dari para politisi penghalal cara.
Jalan membongkar skenario ini sudah ada titik terangnya dengan tertangkapnya Bagus Bawana Putra, salah satu petinggi organisasi Koalisi Relawan Nasional (Kornas) Prabowo-Sandiaga.
Saatnya polisi didesak bergerak mengungkap otak di balik Bagus dan para penyebarnya.
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews