Presiden Joko Widodo bertemu Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) yang berjumlah puluhan ribu orang di Istora Senayan Jakarta pada Senin (14/1/2019). Pertemuan ini adalah respon Presiden Jokowi terhadap tuntutan PPDI sebelumnya.
Mereka bertemu capres petahana itu masih berseragam “ASN”. Pertemuan tersebut terkesan “mendadak”. Dari kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Presiden Jokowi sengaja ke sana untuk menemui ribuan perangkat desa tersebut.
Semula, mereka ingin menggelar aksi demonstrasi di depan Istana, untuk meminta kenaikan gaji setara dengan Pegawai Negeri Sipil golongan II A. “Saya dengar katanya masih mau demo depan Istana,” ungkap Presiden Jokowi kepada mereka.
“Gak usah, ini musim hujan, saya sampaikan kami terima, presiden yang terima sendiri, tapi di Istora, maka acara pagi ini adalah acara dadakan, jadi wajar tadi MC-nya pindah ke sana, ke sini,” kata Jokowi kepada ribuan anggota PPDI tersebut.
Menanggapi tuntutan para perangkat desa itu, Jokowi menjelaskan bahwa pemerintah melalui Menkeu, Mendagri, serta MenPAN-RB, telah menggelar rapat terbatas pada Rabu (9/1/2019) pekan lalu dan menyetujui kenaikan gaji ini.
Menurut Presiden Jokowi, seperti dilansir Tempo.co, Senin (14/1/2019), pemerintah akan segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Jokowi menyampaikan pemerintah memastikan akan memenuhi tuntutan para perangkat desa ini. “Kami putuskan penghasilan tetap para perangkat desa segera disetarakan dengan (PNS) golongan II A,” ucap Jokowi disambut tepuk tangan.
Jokowi berjanji revisi PP nomor 47 tahun 2015 sebagai payung hukum kebijakan ini segera diselesaikan secepatnya. “Paling lama dua minggu setelah hari ini,” katanya. Janji Jokowi bukan hanya itu.
Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memberikan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan bagi seluruh kepala desa dan para perangkat desa di Indonesia. “Jadi, setelah kita ketemu di sini, bapak dan ibu gak usah demo di Istana, kembali ke daerah masing-masing,” tuturnya.
Menurut Ketua Umum PPDI Mujito, rencana awal pihaknya hanya ingin mengirim sepuluh orang ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, hal itu berubah seusai pemerintah mengabulkan tuntutan mereka.
“Akhirnya pada hari ini saya mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa membendung perasaan rekan-rekan kami yang intinya kawan-kawan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah kepada presiden Jokowi,” ucapnya.
Janji Jokowi tersebut disambut baik salah satunya oleh Edi (29), Bendahara Desa Kertosari, Kecamatan Jumo, Temanggung. Edi mengaku bahagia dan tenang setelah mendengar kabar tersebut. Dia berharap kehidupan para perangkat desa bisa sejahtera.
“Senang, harapannya nanti ke depan bisa lebih pro lagi dengan perangkat desa dan dana desa juga meningkat,” kata Edi. Namun, politikus senior PPP Habil Marati mengatakan, janji yang diucapkan Jokowi itu bakal tinggal janji saja.
“Jokowi mau bohongi lagi mau naikan gaji perangkat desa sementara dalam APBN 2019 tak ada dana untuk gaji perangkat desa,” ungkap Habil Marati, seperti dilansir Situasinews.com, Selasa (15/1/2019).
Habil Marati menyatakan seperti itu dengan menyertakan berita dari Tempo Online, “Jokowi Naikkan Gaji Perangkat Desa, Komisi II: Tak ada di APBN”. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan, tidak ada di APBN kenaikan gaji perangkat desa.
Menurut Mardani Ali Sera, kalau di anggaran kemarin “Seingat saya tidak ada, tapi enggak tahu kalau beliau memindahkan atau mengambilnya dari cadangan umum. Nah, karena itu memang perlu ada pendalaman,” katanya.
Awasi APBN
Cuitan Fahri Hamzah dalam Twitter @Fahrihamzah 23:56-0:41 mengingatkan agar dilakukan pengawasan atas kebijakan fiskal (APBN) menjelang pemilu yang menunjukkan pola yang cenderung berbeda dari tahun sebelumnya.
Alokasi dana dalam bentuk Cash Transfer/Block Grant akan membengkak jumlahnya dalam tahun politik. Intervensi fiskal melalui Conditional Cash Transfer (CCT) bisa mempengaruhi perilaku pemilih di kalangan penerima bantuan. Ini bisa dimengerti dengan mudah.
Tetapi yang jelas, intervensi fiskal ini menjadi potensi modal kampanye bagi petahana untuk terpilih kembali. Dan ini tidak dimiliki oleh kubu oposisi. Kubu oposisi tidak bisa mengontrol anggaran karena itu di tangan presiden.
Catatan riset Semeru Research Institute (Assesing the Political Impacts of Conditional Cash Transfer: Evidence from a Randomized Policy Experiment, 2014) menyebutkan, program CCT mampu meningkatkan suara anggota legislatif dari partai pendukung petahana.
Juga, meningkatkan kepuasan calon pemilih terhadap pemerintah daerah tetapi di saat yang sama mengurangi level kompetisi diantara kandidat presiden. Dari hasil penelitian ini jelas sekali ada 3 catatan bahwa:
(1) intervensi fiskal dalam bentuk dana segar sangat erat berkaitan dengan pemilu; (2) dibanding partai oposisi, partai petahana akan sangat diuntungkan (terutama yang mampu memegang kendali pos dana segar ini);
(3) Level persaingan kandidat presiden semakin rendah atau tidak kompetitif karena petahana punya potensi sumber daya kampanye yang jauh lebih besar bila dibandingkan oposisi. Ini masalahnya.
“Lalu kita lanjut dengan fakta-fakta APBN 2019. Sebelumnya harus kita garisbawahi bahwa seluruh dana yang keluar masuk melalui mekanisme APBN, adalah uang rakyat. Bukan milik golongan apalagi individu. Ini harus diumumkan terbuka,” tegas Fahri Hamzah.
“Tetapi mekanisme penganggaran dalam sistem politik kita masih sangat executive-heavy, lebih banyak dirancang dan dikontrol oleh eksekutif, walau ketuk palunya ada di parlemen. APBN adalah UU yang hanya boleh diusulkan eksekutif,” tulis Fahri Hamzah.
Kelemahan sistemik ini akhirnya melahirkan kecenderungan eksekutif untuk bertindak secara personal. Misalnya dengan membuat persepsi ke masyarakat, kerja-kerja eksekusi anggaran adalah kerja-kerja Presiden sebagai person yang kebetulan juga kandidat presiden.
Selanjutnya diotak-atiklah anggaran yang relevan dengan tujuan meraup elektabilitas pemilu, jumlahnya dinaikkan atau jenisnya diperbanyak agar rakyat bisa menerima jasa dan cash dalam jumlah yang signifikan menjelang pencoblosan.
Menurut anggota DPR RI itu, kalau dicermati APBN 2019, setidaknya ada 4 pos anggaran yang masuk kategori potensi dana yang bisa meraup elektabilitas petahana: (1) Dana Desa; (2) Dana Kelurahan; (3) Dana Bansos PKH; (4) Dana Bantuan Kemasyarakatan Presiden.
Dana Desa APBN 2019 dipatok Rp 70 triliun, naik Rp 10 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 60 triliun. “Yang kita tahu, dana desa ini efektif sebagai lumbung suara. Makanya, di dalam internal koalisi pemerintahan saja tarik-menarik antar parpolnya kuat,” ujarnya.
Siapa yang bisa mengontrol dana segar tersebut, efek elektabilitasnya pasti tinggi. Apalagi menjelang pemilu ini alokasinya naik Rp 10 triliun. Perlu diberitahukan kepada pemilih, dana ini lahir akibat UU No. 6 Tahun 2014 yang lahir dalam masa Presiden SBY.
Dana desa memang paling nampak hasilnya, meski masih ada penyimpangan tetapi UU adalah inisiatif pemerintah dan DPR RI periode 2009-2014 untuk melakukan Otonomi Tingkat ke-3 di lebih dari 73 ribu desa di nusantara kita.
Satu pos anggaran baru dari APBN 2019 adalah Dana Kelurahan, masuk dalam kategori Dana Alokasi Umum (DAU) tambahan, sebesar Rp 3 triliun. Jika dibagi dengan 8.212 kelurahan yang ada di Indonesia, kira-kira per kelurahan akan dapat Rp 365 juta cash.
Karena bersifat alokasi umum, maka ini bisa juga disebut dana taktis dan segar. Tahun lalu belum ada, baru menjelang pemilu 2019 ini saja alokasi ini muncul. Karena sudah ada dalam APBN, maka ini uang negara, uang rakyat, dan hak rakyat. Harus diawasi!
Tetapi jelas sekali rentan dimanfaatkan untuk kepentingan elektabilitas pemilu oleh petahana. Coba cek di lapangan, karena skenarionya per 1 Januari 2019 dana ini sudah bisa cair. Suatu pencairan yang dikebut! Motif pencairan akan tampak saat penggunaan.
Dana Bantuan Sosial Program keluarga Harapan (PKH) di bawah Kemensos juga naik secara signifikan. Tahun lalu hanya Rp 19 triliun, menjelang pemilu ini (2019) naik menjadi Rp 38 triliun (2 kali lipat). Kenaikan ini tentu bisa dicurigai terkait pemilu 2019.
Padahal jumlah penerimanya sama yaitu (10 juta keluarga). Jika tahun lalu pencairan PKH ini dilakukan bulan Februari, Mei, Agustus, November (2018). Pada 2019 ini dimajukan Januari, April, Juni, Oktober. Sebelum 17 April ada 2 kali pencairan, padahal tahun lalu hanya 1 kali.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa setiap Presiden bertemu dengan rakyatnya, oleh APBN dibekali “uang saku” berupa dana bantuan kemasyarakatan presiden. Dulu disebut Banpres. Jumlahnya sangat signifikan.
Pada 2019 ini Presiden bersafari menyapa wong cilik dibekali dana Rp 110 miliar. Jumlahnya naik Rp 7 miliar dari tahun lalu, walaupun 2019 ini masa baktinya tidak setahun penuh sebab Presiden Jokowi akan berakhir sekitar 20 Oktober 2019.
Apa yang dimiliki Presiden ini paling efektif membangun persepsi masyarakat bawah tentang personality dari sang Presiden. Presiden kita baik, merakyat suka bagi-bagi sembako, suka bagi-bagi sepeda. Ini tindakan legal yang bisa dikaitkan dengan pemilu presiden.
“Persepsi seperti ini sudah terbangun kuat walaupun realitanya yang dibagi-bagi Presiden kita ini adalah uang rakyat juga, duit APBN,” ujar Fahri Hamzah. Tapi, itulah kekuatan petahana. Mereka sedang memegang uang dan kekuasaan. Jumlahnya besar sekali.
“Saya hanya mengingatkan ini, demi keadilan dalam pemilu 2019, KPU dan Bawaslu serta masyarakat umumnya harus paham. Semoga pengetahuan ini menjadi cara kita mendidik bangsa kita agar bisa membedakan belanja negara dan kampanye petahana,” lanjutnya.
Sebab, kata Fahri Hamzah, percuma saja debat dan adu program kiri-kanan, tetapi jika pada akhirnya uang berjumlah lebih dari Rp 100 triliun ini menggelontor dan nampak sebagai serangan fajar maka pemilih takkan bisa memilih dengan hati.
Kembali ke soal janji Jokowi, akankah gaji PPDI diambil dari 4 pos anggaran ini guna penuhi janjinya tersebut? Wallahu’alam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews