"Ya kadang tentara dengan bahasa-bahasa (Tampang Boyolali) gitu tuh sayang kan gitu" --Djoko Santoso, Ketua Tim Sukses Prabowo-Sandiaga, 6 November 2018.
Demikianlah Djoko Santoso menyusupkan pembelaan diri di balik permintaan maafnya mengatasnamakan Prabowo.
Permintaan maaf Ketua tim sukses capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ini kental beraroma ketidakrealaan. Ini adalah bentuk permintaan maaf yang sekadar demi berhentinya polemik, bukan ungkapan penyesalan yang dilandasi rasa bersalah. "Ya kalau maaf, ya maaf aja lah," katanya.
Rupanya benar, Prabowo dan tim suksesnya tidak paham letak persoalan ungkapan "tampang Boyolali." Mereka tidak mengerti bahwa ungkapan ini berlatarbelakang alam bawah sadar Prabowo yang terjerat cara pandang stereotip terhadap orang-orang pedalaman Jawa.
Ya. Jawa Tengah yang dalam sejarah merupakan pusat peradaban Nusantara silam, di masa Indonesia moderen telah bergeser posisi sosial-ekonomi-politiknya sebagai pedalaman. Orang-orang yang tinggal di Jakarta ketika kembali ke kota-kota di Jawa Tengah saban Idul Fitri disebut mudik, menuju udik.
Prabowo dan tim-nya sepertinya malas untuk berpikir dan merenungkan seberapa merusaknya stereotip dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu mungkin kita perlu sedikit menjelaskannya kepada mereka.
Profesor William Wei, pakar sejarah dari Universitas Colorado di Boulder pernah bikin riset untuk memahami perilaku stereotip di Amerika Serikat. Ia menulis laporan singkat tentang itu, "The Nature and Problem of Stereotype."
Prof. William Wei katakan,
"Stereotypes are a function of social relations between groups or political relations between nations, not extensive personal experience or knowledge. We use them to justify certain prejudices that we have and to strengthen our self-image at the expense of someone else. Indeed, their primary purpose is to degrade others as a means of accentuating our own humanity."
Itulah poin penting stereotip yang tidak saja berlaku di Amerika Serikat, tetapi juga di balahan dunia lain, termasuk Indonesia.
Sterotip bukan lahir dari pengalaman atau pengetahuan pribadi yang luas, bukan citra yang merepresentasikan gambaran sesungguhnya dari suatu kelompok masyarakat, etnis, ras, gender, agama, atau aliran politik.
Dengan kata lain, sterotip bukan penggambaran suatu kelompok sosial berdasarkan kesimpulan a posteriori studi mendalam namun semata-mata a priori yang terus dipertahankan tanpa niat mengonfirmasi atau mengoreksinya lewat studi.
Stereotip lebih merupakan fungsi relasi sosial yang digunakan untuk membenarkan prasangka terhadap kelompok lain dan memperkuat citra diri dengan mengorbankan orang lain. Jadi tujuan utama stereotip diproduksi dan direproduksi adalah sebagai sarana menonjolkan keunggulan diri dengan merendahkan orang lain.
Ucapan Prabowo soal "Tampang Boyolali" yang diidentikan dengan citra orang miskin adalah sungguh-sungguh contoh pandangan stereotip terhadap orang "Jawa pedalaman." Ini adalah bentuk lain dari cemohoohan kepada Presiden Joko Widodo sebagai "wajah ndeso" dan "plangak-plongok" karena wajah dan pembawaan dirinya yang sangat Jawa.
Kaum oposisi menggunakan stereotip wajah dan perilaku njawani Presiden Joko Widodo sebagai citra ketidaktegasan dan tiadanya kapasitas memimpin; bertolak belakang dengan perbawa Prawobo yang rada-rada mirip penggambaran sosok Gajah Mada versi Yamin, ditambah pidatonya yang menggelegar meski sarat demagogi-miskin konten.
Terbukti, stereotip adalah alat politik, adalah spare part dari instrumen hegemoni dalam politik.
Namun stereotip tidak hanya buruk bagi politik. Dalam kehidupan sehari-hari pun stereotip merusak relasi masyarakat.
Kompasianer Nursini Rais menulis pengalaman traumatisnya menjadi korban stereotip dalam artikel berjudul "Tampang Boyolali" Versi Prabowo Subianto Mengulik Luka Lama."
Dalam artikel itu Bu Nursini menceritakan pengalaman buruknya semaca kecil hingga remaja oleh karena pandangan stereotip negatif terhadap masyarakat kampungnya, Tanjung Batang Kapas.
Saya tak tahu persis, Kampung Tanjung Batas Kapas yang mana dimaksud dalam artikel itu, apakah di Pesisir Selatan Sumatera Barat, atau yang di mana. Namun dari kisah Bu Nurisini, tempatnya terpencil dan karenanya warga Tanjung dipandang orang-orang tertinggal yang serba berkekurangan.
"Tahu apa Kau, orang Tanjung!" adalah umpatan dan kadang juga candaan yang kerap dilontarkan orang-orang pasar (tampaknya istilah bagi warga perkotaan) terhadap orang Tanjung.
Seorang pemuda pernah berkata di depan Bu Nursini, jika hendak berisitri, tak akan diambilnya gadis dari Tanjung. Sungguh ungkapan yang menyakitkan hati, sekalipun diucapkan dalam konteks becanda.
Dalam kenyataan hidup, orang-orang Tanjung umumnya lebih sukses. Terletak jauh di pelosok menyebabkan orang-orang Tanjung menjadi pekerja keras, berusaha melakukan apapun asalkan halal demi kesejahteraan mereka.
Kondisi ini berbeda dengan penduduk perkotaan yang karena merasa lebih tinggi derajatnya, lebih suka bekerja di kantor, hal yang membuat mereka banyak menjadi pengangguran.
Meski pengangguran dan hidup lebih menderita, "orang pasar" tetap saja memandang rendah orang-orang Tanjung Batang Kapas--yang kenyataanya lebih sejahtera--sebagai orang-orang terbelakang.
Ada banyak sekali contoh lain bagaimana kita menilai negatif orang Batak, orang Palembang, orang Sunda, orang Jawa, orang Arab, orang China, orang Aceh, orang Flores, orang Minang, orang Papua dan etnis manapun berdasarkan stereotip.
Meski tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya, masyarakat sering sekali berprasangka terhadap sesamanya yang berbeda etnis, agama, wilayah tempat tingal, dan wilayah geografis lainnya. Karena umumnya negatif, prasangka tersebut menghambat kemajuan.
"Jangan berbisnis dengan orang anu, mereka licik" atau "hati-hati kalau bepergian ke sana, banyak orang Anu tinggal di sana, mereka suka copet," atau "jangan percaya katanya, ia orang Anu."
Kini Prabowo memperkenalkan satu lagi stereotip untuk orang Jawa pedalaman, "tampang Boyolali," segera masuk ke dalam perbendaharaan stereotip negatif masyarakat kita.
Kubu Prabowo tidak bisa membela diri bahwa itu becanda. Tidak bisa pula ngeles dengan cara Djoko Santoso bahwa begitulah budaya di militer.
Kalau pembenaran diri gaya Djoko Santoso membela Prabowo itu diterima, maka benar pula umpatan Bupati Boyolali, Prabowo "Asu" sebab konon itu adalah ungkapan egaliter masyarakat Boyolali, ungkapan gemas kepada Prabowo.
Jadi bagaimana? Silakan Prabowo ungkapkan sayangnya kepada rakyat dengan stereotip rasis seperti "Tampang Boyolali" dan rakyat membalas dengan gemas a la ungkapan Bupati Boyolali. Mau?
Sumber:
Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews