Ini masih terkait rame-rame isu mengenai "selang" yang kemarin ramai dibicarakan. Saya tulis kembali karena hari ini orang gampang sekali menuduh hoax terhadap semua informasi yang tidak menyenangkan dirinya, atau yang bertentangan dengan narasi resmi penguasa.
Di tengah masyarakat kita yang sebagian besarnya mengidap ‘buta-huruf-fungsional’, tuduhan-tuduhan semacam itu hanya kian menyuburkan “narasi takfiri” dalam ruang diskusi.
Ya, narasi “hoaxisasi” ini sebenarnya mirip dengan narasi takfiri dalam wacana keagamaan, di mana semua yang berbeda dengan golongannya langsung dianggap sebagai “kafir”. Tidak ada lagi ruang jelajah untuk diskusi. Dan itu sangat tidak sehat.
Kalau Anda memutar kembali pidato akhir tahun Prabowo, dalam pidato itu ia sebenarnya sama sekali tidak menyebut mengenai selang. Ia mengatakan mendapatkan laporan jika di sebuah rumah sakit “ada alat pencuci ginjal, harusnya itu punya saluran-saluran dari plastik, dari karet, dari alat-alat dipakai satu orang satu kali,” namun kemudian dipergunakan oleh 40 kali.
Jadi, Prabowo sama sekali tidak ngomong “selang”. Ia bicara tentang “alat” dengan beberapa keterangan tambahan mengenai fungsi dan penampakan alat tersebut.
Sebagai orang yang bukan berasal dari kalangan medis, dia tidak mau ceroboh dengan berusaha menyebut nama alat itu—yang bisa saja salah, melainkan memilih untuk mendeskripsikannya sesuai dengan pengaduan yang pernah disampaikan kepadanya.
Sebagaimana penjelasan dari para dokter yang beredar belakangan, peralatan hemodialisis ternyata memang memerlukan tiga komponen utama, yaitu (1) mesin hemodialisis, (2) selang hemodialisis (blood tubing), dan (3) dialiser (artificial kidney/ginjal buatan).
Peralatan pertama, yaitu mesin dialisis, berfungsi sebagai pengatur proses dialisis dan tidak ada kontak langsung dengan darah pasien. Mesin dialisis bisa digunakan secara bergantian untuk beberapa pasien.
Sedangkan peralatan kedua, yaitu selang hemodialisis, digunakan untuk mengalirkan darah dari tubuh pasien ke dialiser dan mengembalikan darah yang sudah didialisis kembali ke tubuh pasien. Selang hemodialisis hanya digunakan untuk satu kali untuk satu pasien.
Adapun peralatan ketiga, dialiser, adalah ginjal buatan yang berfungsi membersihkan darah dari toksin sisa metabolisme tubuh. Dialiser pada proses hemodialisis dapat digunakan satu kali (single use) atau berulang kali pada pasien yang sama setelah dilakukan proses sterilisasi dan uji kelayakan.
Dari tiga alat tadi, yang dimaksud oleh Prabowo sebenarnya adalah dialiser. Itu sebabnya ia mencoba mendeskripsikan alat tersebut. Jika yang dia maksud adalah selang, ia tidak perlu mendeskripsikannya, karena “selang” adalah istilah yang mudah diingat oleh siapapun, tapi tidak demikian halnya dengan “dialiser”.
Jadi, siapa yang telah memframing seolah pernyataan Prabowo di akhir tahun itu sedang bicara mengenai selang? Silakan Anda bertanya ke media yang meramaikan isu ini.
Rumah sakit yang disebut namanya, pekan lalu memang telah memberikan bantahan dengan menyebut jika penggunaan selang hemodialisis dan dialiser di tempat mereka hanya bersifat sekali pakai (single use). Namun, apakah bantahan itu bisa diterima dan otomatis memfalsifikasi pengaduan yang diterima oleh Prabowo? Saya kira tidak.
Sebab, jika mau fair, baik pengaduan yang diterima Prabowo, maupun bantahan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, sebenarnya sama-sama sulit untuk diverifikasi.
Untuk itulah kita perlu menggunakan data pembanding untuk memahami persoalan ini. Apalagi, masalah tersebut sebenarnya diangkat bukan untuk membahas kasus, melainkan untuk membicarakan masalah yang lebih besar, yaitu mengenai sistem jaminan kesehatan nasional.
Terkait dengan penggunaan dialiser secara berulang kali (reuse), di bawah ini adalah petikan data dari "10th Report Of Indonesian Renal Registry". Indonesian Renal Registry (IRR) adalah suatu program dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) berupa kegiatan pengumpulan data berkaitan dengan dialisis, transplantasi ginjal serta data epidemiologi penyakit ginjal dan hipertensi se-Indonesia.
Data ini dikumpulkan dari seluruh renal unit yang ada di Indonesia, baik di dalam maupun di luar rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta. Seluruh renal unit harus melaporkan datanya secara berkala kepada PERNEFRI dan Kementerian Kesehatan.
(Report bisa diunduh di sini https://is.gd/ZS8luk)
Data di bawah ini menunjukkan jika penggunaan dialiser lebih dari 16 kali bukan hanya ada, tapi jumlahnya juga masih cukup besar di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan masalah jaminan kesehatan, secara jelas dalam laporan ini disebutkan jika "Penggunaan dializer reuse tidak dapat dihindarkan di Indonesia karena PEMBIAYAAN HEMODIALISIS TERUTAMA DARI PROGRAM JKN TIDAK MENGAKOMODASI UNTUK PENGGUNAAN SINGLE USE" (Lihat halaman 22 laporan ini).
Jadi, cukup jelas, penggunaan dialiser lebih dari satu kali bukan hanya ada, melainkan masih cukup besar jumlahnya. Dari data, meskipun pada tahun 2015 penggunaan ulang lebih dari 16 kali sempat turun drastis, namun dalam tahun-tahun berikutnya angkanya cenderung terus-menerus naik kembali.
Sekali lagi, pengaduan yang disampaikan kepada Prabowo terkait masalah ini tentu saja tidak dimaksudkan oleh sang pengadu untuk menjatuhkan rumah sakit tertentu, atau sekadar curhat mengenai penggunaan alat tertentu yang tidak sesuai. Prabowo juga me-mention kasus itu lebih untuk wake up call. Kasus spesifik tadi di-mention hanya untuk menggugah kita saja.
Inti semua ini sebenarnya untuk mengingatkan bahwa ada masalah serius yang kini sedang dihadapi oleh sistem jaminan kesehatan di tanah air. Serius bukan hanya karena skalanya, melainkan juga karena masalah ini menyangkut soal kesehatan dan keselamatan jiwa seseorang.
Siapapun yang nanti akan terpilih menjadi Presiden, masalah ini riil dan harus segera diatasi, bukan ditutup-tutupi.
***
Tarli Nugroho
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews