Mungkin ada benarnya ungkapan Rheinald Kasali yang menyebut era ini sebagai disrupsi dimana hampir seluruh kenyataan sosial "tercerabut dari akarnya". Ciri yang paling nampak dari masyarakat kita sebelum era ini adalah tertatanya ikatan-ikatan sosial secara baik yang ditopang oleh suasana saling percaya dan gotong royong.
Namun, era disrupsi yang ditandai dengan penguatan aspek digitalisasi dan diperketat oleh kenyataan ikatan-ikatan 'fiktif' dalam ranah media sosial, ternyata telah membuat suatu struktur baru dalam masyarakat. Banyak yang ternyata hilang dalam diri kita, dari mulai entitas tradisi, nilai-nilai budaya, moralitas, bahkan nilai-nilai moralitas keagamaan yang rasa-rasanya entah menguap kemana.
Era disrupsi memungkinkan banyak hal menjadi tampak kontradiktif: yang salah menjadi benar dan yang benar mungkin saja dianggap salah. Ada semacam gejala baru dalam realitas sosial kita yang mungkin sulit mendefinisikannya secara pas. Tumbuhnya ikatan-ikatan fiktif kemanusiaan dalam ruang media sosial, menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami apa sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat kita belakangan ini.
Tak berlebihan kiranya, jika saya menyebut bahwa persaingan politik tampak mengedepankan semangat destruktif yang tampil dalam berbagai macam cara. Menggiring suasana disruptif kita semakin mengental, menjauhi bahkan tak peduli terhadap ikatan-ikatan budaya dan moral yang dulu sempat terpintal.
Belum lama ini kita dihebohkan oleh cuitan bodong soal "surat suara tercoblos" yang viral, sehingga banyak politisi menggelinjang, bahkan mungkin "kejang-kejang" terimbas cuitan ini. Tak hanya politisi, para simpatisan, partisan, bahkan tokoh agama tak luput masuk dalam pusaran gelinjang politik ini.
Era disrupsi telah membuat suasana yang sama sekali berbeda, bahkan berubah sedemikian drastis. Bagaimana tidak, jalur utama yang disebut medsos, tentu saja dapat menjadi ajang disrupsi paling nyata dalam konteks sosial-politik yang sedemikian mengerikan, memudarkan ikatan-ikatan nyata solidaritas sosial, bahkan mungkin mencerai-beraikannya.
Banyak cuitan bodong lainnya yang juga sukses membuat dunia sosial kita gonjang-ganjing. Anehnya, cuitan bodong ini seperti menjadi kenyataan bahkan mungkin saksi bisu yang juga membuat gerah bahkan banyak diantara kita ikut menggelinjang. Jaringan sosial tak lebih dari sebatas "cuitan" yang mungkin saja berasal berasal dari akun-akun bodong hasil rekayasa sosial.
Ruang-ruang digital menjadi semacam wadah besar aktualisasi diri dalam banyak hal: politik, sosial, ekonomi, bisnis, bahkan sikap keberagamaan. Era disrupsi seolah membentuk skala besar "gerakan sosial baru" yang tak terafiliasi dengan kelompok riil manapun, hanya sebuah ikatan sosial fiktif dalam jaringan besar medsos yang semakin disukai karena digital friendly.
Riuh gelinjang para politisi di era disrupsi semakin menjadi-jadi. Tak ubahnya "cacing kepanasan" yang terus menggelepar, sibuk mencari perlindungan diri kesana-kemari. Ikatan moral menjadi barang mahal bahkan mungkin sulit terjangkau, sehingga yang tampil hanyalah diksi-diksi nyinyir atau wajah-wajah "beringas" yang tak pernah puas.
Apa yang mereka perjuangkan? Kredibilitas? Kehormatan? Kursi kekuasaan? Dukungan? Atau sensasi? Sulit mendeteksi apa sesungguhnya yang diperjuangkan para politisi ini, kecuali ikut gelinjang kepolitikan dalam ruang sesak media sosial.
Politik yang semestinya dipahami sebagai media "pemersatu" antarberagam kepentingan "ideologis" baik individu maupun kelompok dengan tujuan mulia kepentingan bersama, semakin tampak kehilangan makna substansinya.
Politik telah tercerabut dari akar sosialnya, dari media pemersatu beragam kepentingan menjadi pemecah belah yang semakin mewabah. Politik tak lebih dari upaya berebut kekuasaan, kemewahan, prestise, dan akses-akses keekonomian yang semakin membelah realitas sosial kepada kepentingan-kepentingan sesaat yang semakin tidak sehat.
Politik bagi saya malah semakin tidak menarik, terlebih ditopang kenyataan suasana disruptif yang tak lagi sekadar menggejala. Bahkan tak hanya dalam gemuruh eskalasi kepolitikan, ruang-ruang sosial dipenuhi fenomena saling curiga, distrust, hampir semakin sulit menemukan keramahan, tolong menolong apalagi gotong royong.
Nilai-nilai sosial kita tercerabut dari akarnya, terutama yang tampak kita saksikan dalam realitas masyarakat urban. Mereka yang datang "hijrah" ke pusat-pusat perkotaan, meninggalkan akar tradisinya nunjauh disana, tergantikan ikatan-ikatan semu secara "medsos" yang semakin lama semakin membesar.
Kita tentu saja lebih mempercayai "cuitan bodong" ketimbang harus melihat sendiri dan menilai aktivitas sosial-politik orang lain dalam dimensi yang paling nyata. Cuitan bodong dalam beragam derivasinya di tengah aktivitas media sosial -termasuk hoaks dan semacamnya- tentu saja lebih menarik untuk kita ikuti ketimbang harus terlibat langsung dalam realitas sosial yang sesungguhnya.
Disrupsi memungkinkan kita lebih percaya kepada orang yang belum kita kenal, ketimbang kawan sendiri yang memang berbeda pilihan politiknya. Maka, untuk saat ini, kencan online-pun menjadi bagian dari era disrupsi, tanpa harus mengenal atau datang secara langsung ke tempat-tempat prostitusi.
Ternyata, bangsa kita masih punya malu, sekalipun disrupsi telah menghilangkan rasa malu itu di mana aktivitas kita di dunia medsos sukses menyembunyikan identitas kita yang sesungguhnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews