Partai Nasdem, dalam hal ini Surya Paloh, memang tidak atau kurang memiliki etika dalam berpolitik. Ini bukan yang kali pertama dilakukan oleh Surya Paloh.
Partai Demokrat meradang ditinggal oleh Anies Baswedan, calon Presiden yang diusung Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Nasdem yang tadinya merangkul Partai Demokrat dengan menjanjikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon Wapres, tiba-tiba berbelok dan memeluk Partai Kesatuan Bangsa (PKB) dengan menjadikan Muhaimin Iskandar sebagai calon Wapres.
Deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dilaksanakan Sabtu, 2 September 2023, sore di Hotel Majapahit di Surabaya.
Wajar jika Partai Demokrat marah karena secara sepihak ditinggalkan oleh Nasdem. Marah boleh, tetapi jangan sampai rasa marah itu berkelanjutan. Oleh karena itulah realitas di dunia politik.
Di dalam dunia politik tidak ada yang namanya kawan yang abadi, dan juga tidak ada lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Kalau kepentingannya tidak sama, maka yang tadinya kawan, dapat menjadi lawan. Demikian juga, kalau kepentingannya sama yang tadinya lawan, dapat menjadi kawan.
Kata-kata telah berkhianat yang ditujukan kepada Partai Nasdem mungkin terlalu keras. Kata yang lebih tepat adalah Partai Nasdem tidak memiliki etika dalam berpolitik.
Otto von Bismark, Kanselir Kerajaan Jerman, yang hidup dari tahun 1815 hingga 1898, mengatakan, politics is the art of the possible. Apa pun dapat terjadi di dunia politik. Sebab itu, di dunia politik yang ada hanyalah pragmatisme dan bukan idealisme.
Ibaratnya, di dunia politik, masing-masing pihak telah melemparkan kartu secara terbuka di atas meja, dan yang mempunyai kartu dengan nilai tertinggi layak diambil sebagai kawan untuk bersama-sama meraih kemenangan. Demikian pula dengan Partai Nasdem. Hitung-hitungan di atas kertas dianggap Anies Baswedan lebih baik berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, ketimbang dengan AHY.
Namun, soal apakah nanti kenyataannya seperti itu? Itu yang masih harus ditunggu. Setiap mata uang mempunyai dua sisi. Memasangkan Anies dengan Muhaimin bisa membawa hasil positif, tetapi bukan tidak mungkin kenyataannya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan.
Bahwa, Partai Demokrat tidak diajak bicara oleh Partai Nasdem, itu hanya menunjukkan bahwa Partai Nasdem, dalam hal ini Surya Paloh, memang tidak atau kurang memiliki etika dalam berpolitik. Ini bukan yang kali pertama dilakukan oleh Surya Paloh.
Sebelumnya, Surya Paloh sudah pernah melakukan itu, Yakni, ketika Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem yang tergabung dalam koalisi pemerintah, secara sepihak membentuk koalisi baru (Koalisi Perubahan untuk Persatuan) dengan partai oposisi, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Dan, ketika kemudian tidak diundang lagi dalam rapat koalisi pemerintah, karena dianggap ia sudah membentuk koalisi dengan opisisi, Surya Paloh heran dan kecewa. Aneh…
Itu pula, mungkin, alasan bahwa Surya Paloh masih berharap Partai Demokrat mau tetap bergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan setelah ditelikung. Oleh karena ia tidak merasa apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang salah, atau melanggar kepantasan.
Akan tetapi, dengan ditinggalkannya AHY, mestinya, Partai Demokrat sudah tahu bahwa kemungkinan itu bisa terjadi. Mengingat, baik Partai Demokrat maupun Partai Nasdem sudah saling melemparkan kartu secara terbuka di atas meja sehingga secara teoretis potensi dari masing-masing partai untuk bekerja sama dan meraih kemenangan, di atas kertas sudah diketahui kemungkinan-kemungkinannya.
Sebab itu, seperti yang telah ditulis di atas, marah boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai marah yang berkepanjangan. Oleh karena bisa runyam sendiri. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi Partai Demokrat untuk segera mencari strategi baru, apalagi jika ingin memelihara asa AHY sebagai calon Wapres.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews