Dulu LB Moerdani, Sekarang Luhut B. Panjaitan

Sebetapa pun, sulit menghindar dari "cap dirinya" sebagai agen oligarkis terpenting di masa Jokowi.

Jumat, 6 Mei 2022 | 14:31 WIB
0
162
Dulu LB Moerdani, Sekarang Luhut B. Panjaitan
Luhut dan Moerdani (Foto: Facebook/Andi Setiono)

Tulisan ini (hanya) tentang sebuah sejarah yang akan terus berulang. Kita tak tahu akhir ceritanya, walau isyarat dan alur ceritanya menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sama. Mencari persamaan di antara keduanya itu sangat mudah. Mencari perbedaannya, walau sedikit mengada-ada. Tentulah ada. 

Dan yang paling mencolok tentu, Moerdani berasal dari etnis Jawa, sedang Luhut orang Batak. Dua suku yang walau ibarat kata, garam dari laut dan asam dari gunung. Keduanya bermakna sangat melengkapi, keduanya akan selalu bertemu di belanga yang sama. Mudah bekerjasama dalam banyak ruang, justru karena perbedaannya yang terkadang terlalu mencolok. Perbedaan, di antara keduanya tentu saja adalah ruang waktu yang berbeda. Moerdani adalah senior bagi Luhut di masa yuniornya. 

Namun, dalam persamaan-persamaannya. Kita akan lebih mudah menemukan detail titik bedanya. Keduanya adalah tentara dalam kotak yang sama, yaitu Tentara Merah Putih. Di mana di seberangnya ada yang disebut Tentara Hijau. Suatu istilah yang orang bilang absurd dan sektarian. Tapi sejujurnya itulah realita yang tak akan pernah bisa dihapus. Bukan karena alasan politik, tapi terutama miturut sejarahnya dulu saat masa revolusi. Di masa awal kemerdekaan, walau sama-sama berjuang melawan re-kolonisasi dari Belanda. Banyak laskar berasal dari kubu yang berbeda.  

Secara garis besar Tentara Merah-Putih umumnya berasal dari asal-usul yang heterogen. Mereka yang bukan tiba-tiba jadi prajurit, yang bahkan berjuang jauh dari kampung halaman tempat ia berasal. Mereka lebih terlatih, terdidik dan bersenjata lebih layak. Mereka lebih disiplin, bermodal taktis dan strategi, orientasinya lebih nasionalis, kalau tidak bisa dibilang sifatnya kebangsaan. Sebaliknya Tentara Hijau itu sifatnya lebih lokalik, sporadik, dan aroma agamanya sangat kuat. 

Gampangnya, bila kita menyebut Pasukan Bambu Runcing, yang itulah pencitraan tergampang kelompok ini. Makanya ketika muncul istilah "pokrol bambu", untuk menyebut debat kusir yang tak kunjung akhir, tak jelas manfaatnya. 

Dan itu berlanjut sampai hari ini, dalam laskar-laskar yang ini itu. Sama sekali tak perlu kualitas, modal nekad dan bergerak tanpa disiplin yang jelas. Tapi justru memiliki keunggulan utama, dimana apa pun yang mereka lakukan tak bisa dikaitkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena tanpa seragam, mereka adalah orang sipil yan siap berkelahi.

Inilah wajah paling banal dari militerisasi sipil. Hal ini bisa dilihat dari mulai Hansip, Pamswakarsa, hingga satuan pengaman yang ada di bawah parpol dan ormas. Yang anehnya, mereka berbaju tentara karena sedemikian benci sama polisi.

Sedikit berbelok, jangan lupa hal ini menjelaskan kenapa "anak klitih" di hari ini sulit sekali diberantas. Karena memang mereka representasi "militerisasi sipil" yang sangat lokal, tanpa bentuk, dan pelatihan ancur-ancuran. Mereka bagian bagian dari pendidikan jalanan. Untuk sekedar bisa masuk dalam lingkaran masyarakat "freeman", yang di hari-hari ini lebih akrab disebut preman. Menghapuskan gerombolan geng motor dan bocah klithih jadi mustahil, tanpa menghapus premanisme di atasnya yang menjadi induknya. 

Dan tentara hijau inilah, yang menjadi masalah sepanjang waktu, sejak Indonesia merdeka. Saat mereka mulai "di-barak-kan", dalam arti dimasukkan ke dalam kesatuan resmi-resmi ketentaraan. Mereka bukan saja selalu tidak siap jadi militer sungguhan. Mereka terlalu kritis tapi tidak memiliki disiplin, justru saat negara masih rapuh. Dan akibatnya muncul pemberontakan-pemberontakan lokal, di banyak tempat dengan background agama. Ya DI-TIII, Permesta, PRRI, PKI 48, RMS, GAM, OPM dst dstnya. Menunjukkan bahwa mereka tak selalu Islam, agama lain juga sebenarnya juga... 

Kelompok Hijau, itu sekarang jauh lebih cerdas dan praktis. Mereka tak lagi perlu mengeluarkan duit banyak untuk membuat laskar mandiri yang terlatih. Mereka cukup memanfaatkan fragmentasi dan perpecahan di tubuh militer. .

Yang bisa diakibatkan apa saja, yang kompetisi karier, rebutan proyek, perbedaan seleran, dll. Sampai di titik mereka butuh juga dukungan eksternal, dari sinilah "Tentara Hijau" itu abadi eksistensinya yang sebenarnya sama sekali tidak netral. Yang konon, dari hari ke hari populasinya semakin meningkat. Mereka inilah, apa yang kalau dalam konteks NKRI disebut musuh dalam selimut, atau meminjam istilah anak gaul "selimut yang suka kentut". 

Maaf, kebablasan membahas "tentara hijau".....

Tentu saja keistimewaan keduanya adalah di samping memang terlatih sebagai prajurit tempur, dalam arti sesungguhnya. Keduanya memiliki cukup kecerdasan yang tinggi, untuk kemudian dimasukkan sebagai bagian dari kelompok kecil yang sangat keren yaitu dunia intelijen. Suatu kelompok yang bukan saja butuh pendidikan khusus, tetapi terutama banyak kecakapan khusus yang lain. Apakah itu kemampuan komunikasi, pengalaman panjang karier di luar negeri, dan terutama pendidikan militer khusus di negara induk semangnya. 

Suatu hal yang memungkikan "karier militer" mereka jadi relatif sangat panjang, bila tak ingin dikatakan seumur hidup. 

Dunia intelejen, meminjam istilah hari ini ia adalah dunia "BIG DATA". Ia tidak sekedar memang memiliki data, tapi terutama adalah jaringan luas, kapital besar, dan operator lapangan. Perbedaannya pada di masa lalu BIG DATA itu selalu merupakan sesuatu yang tersembunyi, misterius dan dibantah ada. Tapi hari ini, mereka yang memilikinya atau sekedar tahu, akan dengan jumawa bilang itu dasarnya "BIG DATA". Entah sekedar flexing, sekedar mengancam atau memang demikianlah bunyi datanya. Kita tak pernah tahu mana yang sungguh-sungguh, mana yang sekedar sekali lagi: flexing dan self-imaging. 

Anehnya saking pinternya, saking cerdasnya, saking banyaknya jaringan (baca: duit). Disini uniknya, mereka merasa bahwa kecerdasan itu related (berhubungan langsung) dengan nasionalisme atau kebangsaan. Dan itu harus dijaga kontinuitasnya sepanjang masa. Biasanya kecerdasan itu membebaskan dari beban-beban, tapi bagi keduanya tidak. Kedua tokoh ini, punya satu persamaan legacy mulia dalam dunia pendidikan. Bila LB Moerdani jauh sebelum wafatnya, ia mempersiapakan dan mendidrikan SMA Taruna Nusantara di Magelang, sebuah sekolah para-militer. Sebut saja sebagai pendidikan "militer malu-malu kucing". Sebuah kawin campur antara Akademi Militer dan "Ke-Taman Siswa-an". 

Sedangkan Luhut B. Panjaitan, di tanah Kelahirannya di daerah Toba ia mendirikan Sekolah Unggul Del. Berbeda dengan SMA TN, yang sebagian dananya masih dibiayai negara. SMA "milik Luhut", sepenuhnya swasta dan menjangkau tidak sekedar SMA tetapi juga Perguruan Tinggi. Bisa dibayangkan, bagaimana Luhut harus "ubet dan ribet" mencari duit kesana kemari untuk menjamin sekolah tersebut tetap hidup dan berprestasi. 

Pertanyaannya? Apakah dengan statusnya yang bak meteor, bisa di peringkat ketiga nasional di tahun 2021. Ia akan tetap lestari? Jawabnya sederhana: ngurus minoritas itu jauh lebih gampang dari ngurus mereka yang mayo. 

Ini kredo yang menyakitkan, tapi tampaknya abadi.... 

Lalu apa kekurangan keduanya? Bila tampak di atas kertas mereka "nyaris sempurna sebagai nasionalis". Sulit dipungkiri, keduanya sangat berbau Amerika. Bau busuk, yang sejak lama akan jadi amunisi dan titik lemah yang membuat serangan "kaum hijau" tak henti menyerangnya. Menjelaskan, kenapa juga sejak lama AS merubah strateginya. Mereka tak lagi sekedar "make tentara", tapi juga memakai kaum intelektual, akademisi, kaum pers dengan media bayarannya, LSM dengan SJW-nya.  

Dan belakangan tanpa malu menggunakan "pasukan jalanan". Yang sulit dipungkiri warnanya selalu hijau. Mereka yang setiap saat siap melakukan demo harian dengan isu apa saja. Atau bila perlu menggerakkan "people power" yang siap menjatuhkan siapa saja, sesuai pesanan bohir jalanannya. 

Kedua-dua mereka ini, meminjam istilah Soe Hoek Gie adalah manusia di persimpangan jalan. Pada keduanya, kita akan saling sangsi, meragukan, mencurigai. Tapi sulit membantah kita, atau lebih tepat sebagai negara akan selalu membutuhkannya. Keterbatasan kita yang hanya memiliki "small data", kadang akan selalu jengah padanya. 

Pada Moerdani, ketika ia tiada kita merindukannya. Pertanyaannya, kenapa pada Luhut ketika ia masih ada kita selalu ingin menendangnya...

NB: Tulisan ini terutama, ditujukan untuk mengingatkan bahwa setelah Lebaran 2022. Yang gempita tapi anyep ini, konon Jokowi akan melakukan resuufle Kabinet. Sesuatu yang mutlak, mengingat kabinet koalisi ini memang sudah seperti kandang tikus. Tapi, menuding Luhut Panjaitan, sebagai tokoh yang paling pantas dilengserkan. Hanya karena keceplosan mengatakan memiliki Big Data untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi. Atau men-tiga periode-kannya. Tentu harus dicermati secara lebih serius. 

Lepas dari peranannya, yang sering dianggap "the real president", jasanya menjaga Jokowi dan bangsa ini sampai detik ini terlalu mencolok. Beda dengan Moerdani yang tidak terlalu berbau bisnis, aroma pada Luhut sangat mencolok. Tapi bukankah ia hanya menselaraskan pada semangat zamannya. Yang apa-apa sekedar diukur dari pertumbuhan. Tidak makin sejahtera jadi sebuah kesalahan. Sejahteranya sih OK, tapi makin serakah, tamak, dan semena-mena itu tentu masalah lain yang jauh lebih serius. 

Sebetapa pun, sulit menghindar dari "cap dirinya" sebagai agen oligarkis terpenting di masa Jokowi. 

Saya hanya ingin, menyitir sebuah cerita sederhana. Di akhir masa hidupnya, Soeharto dijenguk LB Moerdani. Dalam sakitnya yang sangat parah, ia mengatakan "Sing bener kowe, Moer. Aku sing kleru!". Mungkin ini kalimat paling jujur dan menyayat dari seorang yang dianggap sebagai "diktator", yang namanya bahkan harus selalu dicoret. Karena dianggap tak ada jejak baiknya, kalau pun ada jejak dosanya lebih menggunung. Bila hari ini, kita hanya tampak tambah maju tapi tidak semakin beradab. 

Pada keduanya, mungkin ceritanya akan berulang. Alih-alih mempertahankan, ia akan didepak atas tekanan kelompok hijau dan SJW-SJW yang dikomando bohir besar dibelakangnya. Si super cukong, yang situasinya sudah benar-benar pada titik paling kritis. Banyak negara besar dengan kekuatan SDA , teknologi, dan finansial yang makin mengikis hegemoninya.

Perang di Ukraina, presidennya yang bangkotan dan rapuh, hutang internalnya yang makin menumpuk. Sementara ambisinya tak pernah berhenti mendera. Tangan-tangannya saat ini sedang bergerak sampai kemana-mana. Dan Lebaran ini hanya hari-hari jedanya. 

Saya (dan semoga kita) hanya tak ingin mendengar remake dari akhir cerita sederhana di atas. Saat terpuruk dan secara hiperbolik Jokowi malah dinisbikan. Ia akan berbisik: "Saya menyesal tidak mendengarkan Pak Luhut..."

***