Honor Kematian, Nikmat Pejabat di Masa Pandemi

Begitulah moralitas sebagian besar pejabat kita. Para penikmat uang rakyat berlomba-lomba memperoleh cuan di tengah penderitaan rakyat.

Jumat, 3 September 2021 | 17:37 WIB
1
333
Honor Kematian, Nikmat Pejabat di Masa Pandemi
Cuan Pejabat di Massa Pandemi

Terberitakan  sejumlah   pejabat mendapatkan honorarium ratusan juta rupiah dari pemakaman jenazah Covid-19. Bupati Jember  bersama Sekretaris Daerah (Sekda), Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logstik BPBD Kabupaten Jember menerima honor sebesar Rp 282 juta dari pemakaman jenazah Covid-19.

Bisa dibayangkan  kematian warga akibat pandemi menjadi peluang yang menggiurkan bagi sebagian pejabat. Bencana bagi rakyat, cuan di kantong pejabat.

Setiap pemakaman satu jenazah Covid-19, pejabat tersebut menerima Rp 100.000. Sementara jumlah warga yang meninggal karena Covid-19 di kabupaten tersebut cukup banyak. Alhasil, dari total pemakaman jenazah Covid-19, keempat pejabat ini mendapat honor sejumlah Rp 70,5 Juta per orang.

Bupati Jember Hendy Siswanto telah  meminta maaf dan mengembalikan total uang yang diterimanya. Dia berdalih bahwa praktik honorarium anggota tim pemakaman itu sudah lama dilakukan, ia hanya meneruskan saja. Dalam tim pemakaman jenazah  Covid-19, dia duduk sebagai pengarah.

Sementara penanggung jawab adalah Sekda, ketua adalah Kepala BPBD, dan ada 30 anggota petugas pemakaman. Itu sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Jember Nomor: 188.45/107/1.21/2021 tertanggal 30 Maret 2021 tentang Struktur Tim Pemakaman yang ditandatangi oleh sang bupati.

Honor yang diterima Hendy dan pejabat lainnya sama dengan honor tukang gali kubur, yakni Rp 100 ribu per pemakaman. Honor petugas pemakaman dihitung per kegiatan. Tiap petugas pemakaman mendapat honor Rp 100 ribu, setiap kali melakukan pemakaman COVID-19.

Eiit…!Tapi jangan dikira para  penggali kubur  itu memperoleh  akumulasi  honor yang sama dengan yang diterima pejabat tersebut. Penggali kubur  itu dibayar hanya oleh tugas pemakaman  yang dikerjakannya secara bergilir atau bergantian dengan penggali kubur yang  lainnya. Jika ada tiga puluh  orang petugas penggali kubur, kemungkinan  mereka  dibagi dalam lima kelompok.

Setiap kelompok terdiri dari enam  orang. Jika ada kematian 100 orang berarti  setiap kelompok hanya  menangani    dua puluh kali pemakaman, artinya setiap penggali kubur hanya memperoleh honor sebesar 2 juta saja, sedangkan bupati  dan pejabat itu menerima  honor untuk seluruh kegiatan pemakaman itu. Enak toh?. 

Praktik seperti ini lumrah dalam tim pelaksana kegiatan  di pemerintahan. Pejabat penanggung jawab, pengarah dan pembina sudah tentu   mendapatkan honor yang lebih gede dibanding pelaksana atau petugas yang kerja di lapangan.

Jangan heran misalnya,  seorang petugas kebersihan   sebuah tim pelaksana kebersihan kota, hanya memperoleh  honor 1,5 juta sementara pejabatnya di atasnya bisa menerima  sampai 15 juta,"Honor penanggung jawab, pengarah dan pembina harus  lebih besar dari pelaksana" begitulah logikanya.

Pertanyaannya,  apakah praktik honorarium pemakaman jenazah Covid-19 tersebut hanya terjadi di Kabupaten Jember saja?  Tidakkah ini  fenomena gunung es, hanya ribut-ribut yang ketahuan atau yang kebetulan  terangkat ke permukaan. Sedangkan  praktik tersembunyi yang terjadi di daerah lain terbiarkan. Bisa saja honor  pemakaman jenazah Covid-19 yang dikantongi pejabat di suatu daerah  lebih besar daripada yang diterima di Jember.

Pengakuan  Bupati Jember yang mengatakan  honarium pemakaman untuk pejabat itu sudah lama dilakukan, ini menunjukan bahwa praktik semacam itu  kemungkinan besar berlaku pula di tempat lain. Biasanya setiap modus honorarium  dari tim pelaksanaan kegiatan di suatu daerah  "sangat sensitif" cepat menyebar antar sesama pemerintah daerah. Honorarium bagi Tim Pemakaman Jenazah Covid-19  yang diterapkan Kabupaten Jember   kemungkinan besar sudah   menjadi inspirasi dan telah diadopsi oleh daerah lain.

Apalagi Menko PMK Muhadjir Effendy, dalam jawabannya tidak menganggap pemberian honor pemakaman itu melanggar hukum, malah dibolehkan oleh undang -undang, semakin menguatkan keyakinan sejumlah pejabat daerah bahwa tak ada pelanggaran hukum bila menerima honor  dari  pemakaman jenazah Covid-19.

Moralitas dan kepantasan yang dianggap berada di luar aturan hukum, sudah pasti akan  diabaikan oleh sebagian besar pejabat . Rasa malu dan nafsu serakah mereka  bak tembok kokoh yang  tak bisa  dirobohkan atau digoyang  oleh hanya   moralitas  dan kepantasan. Lah, yang melanggar hukum aja biasa mereka siasati apalagi yang dibolehkan hukum.

Selama aturan membolehkan, Mereka akan menari riang menikmati apapun keuntungan itu.Tak peduli rakyat susah, yang penting mereka nikmat dan cuan.

Benarlah adagium yang mengatakan "Semakin kacau  keadaan masyarakat maka semakin mudah orang-orang yang berkuasa mengambil keuntungan dari keadaan itu". Seolah menegaskan ada  pejabat  yang sengaja memanfaatkan  bencana pandemi Covid-19 ini untuk  memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi bansos dan korupsi pengadaan masker adalah  contoh lain dari praktik cuan pejabat di tengah  pandemi.  

Tidak semua   praktik komersialisasi pandemi  itu berujung menjadi kasus hukum korupsi.  Bisa karena  praktiknya tidak dipersoalkan aparat  hukum atau memang belum  terdeteksi adanya  pelanggaran hukum.  Selama  tidak ada penangkapan, tuntutan dan proses hukum, selama itu pula motif dan praktik itu terjadi. Selama  keuntungan itu cukup menjanjikan, selama itu juga mereka tak hirau  jeritan dan diteriakkan masyarakat.

Tak peduli lagi soal moralitas dan  kepantasan.  Tak malu bila menerima honor kematian warganya. Tak sungkan  ketika tampil sebagai   endorse merk obat covid tertentu.  Tak merasa hina saat menjadi jongos  perusahaan importir alkes. Tak risi  manakala menerima   vaksin booster dan meminta   vitamin dari milyaran uang rakyat.

Begitulah moralitas sebagian besar  pejabat kita. Para penikmat uang rakyat  berlomba-lomba  memperoleh  cuan di tengah penderitaan rakyat.

***

Tommy Manggus