Antara Estrada dan Jokowi

Lain "Go 2EDSA" lain "Jokowi End Game", gerakan politik yang perbedaanya layak diibaratkan "bagai langit dan comberan".

Minggu, 25 Juli 2021 | 08:32 WIB
1
275
Antara Estrada dan Jokowi

Hampir 20 tahun lalu, tepatnya awal Januari 2002, jutaan rakyat Filipina menjejali pusat kota Manila tempat di mana demo besar biasa dilaksanakan di negera yang bertetangga dengan Pulau Sulawesi ini.

Bagaimana jutaan massa bisa berkumpul di satu titik dengan tujuan sama: melengserkan Presiden Joseph Estrada? Mereka ternyata dipersatukan hanya oleh sebuah seruan SMS berantai dengan pesing (pesan singkat) "Go 2EDSA. Wear Blck".

Tempat (EDSA) dan warna "Blck" (hitam) menjadi penanda sekaligus kode yang saat itu tentu saja tidak bisa dibendung oleh dinas intelijen negara setempat. EDSA bisa disandingkan dengan Bundaran HI atau Tugu Monas di Jakarta. "Blck" merujuk ke "dress code" yang harus dikenakan saat aksi massa itu berlangsung.

Masih di negeri yang sama, tahun 1986 atau 16 tahun sebelum pesan SMS berantai itu, terjadilah apa ayang disebut "Revolusi EDSA" di mana saat itu terjadi demonstrasi besar yang berlangsung tanpa kekerasan selama empat hari.

Jutaan rakyat Filipina menyesaki EDSA untuk mengakhiri rezim otoriter saat itu, Presiden Ferdinand Marcos sekaligus pengangkatan Corazon Aquino sebagai Presiden baru. EDSA singkatan dari "Epifanio de los Santos Avenue", merujuk pada seruas jalan di Metro Manila, tempat di mana demonstrasi biasa dilakukan.

Kemarin, Sabtu 24 Juli 2021, "seharusnya terjadi" aksi masa besar-besaran di 17 kota dengan tagline "Jokowi End Game". Maksudnya sudah jelas, yaitu mengakhiri pemerintahan sah yang sedang dipimpin dan dijalankan Presiden Joko Widodo.

Tetapi takdir berbicara lain, aksi bertajuk keren (seperti judul sebuah game) gagal total, berakhir tragis dan memilukan, juga memalukan kalau membaca tautan berita di bawah ini. Bahkan aksi di depan Istana konon hanya dihadiri 10-an pendemo yang tentu saja langsung diciduk aparat karena menyalahi aturan PPKM Darurat yang baru akan berakhir Senin, 25 Juli 2021.

Di Semarang, para pelajar dan santri yang dijadikan tameng untuk berdemo justeru ditangkap oleh para kyai dan diminta berjanji tidak akan ikut berdemo politik dan left dari WAG yang menghasut dan mengajak mereka melakukan makar menggulingkan pemerintah yang sah.

Alhasil, demo prematur "Jokowi End Game" yang ditepuktangani para "hyena politics" -politikus pemangsa bangkai kekuasaan- dan para gerombolan pendukungnya itu bernasib "End Game", sesuai tagline yang mereka usung. Permainan berakhir secara memalukan!

Kesamaan dari "Revolusi Ke-2 EDSA" yang menggulingkan Estrada dengan "Jokowi End Game" adalah penggunaan media ponsel dalam mempersatukan warga yang punya minat dan hasrat yang sama, meski hasil akhirnya tentu saja berbeda.

Saat itu teknologi informasi WAG belum ada, yang umum di tahun 2002 adalah penggunaan "pesing" SMS. Akan tetapi, efektivitas pesan singkat melalui SMS berantai itu sangat terasa.

Pesan berantai membentuk rantai panjang dan mengikat rakyat untuk tujuan yang sama, yaitu menjatuhkan Estrada yang terbukti korup saat itu.

Bukankah pesan WAG juga lebih efektif dalam memprovokasi massa -karena dilakukan grup per grup WA- tidak lagi orang-perorangan seperti SMS? Bukankah seharusnya WAG lebih berhasil dominan dari sekadar SMS?

Yang membedakannya adalah isu dan realitas politik!

Isu EDSA jelas, menggulingkan Presiden yang korup, sedang isu "Jokowi End Game" menggulingkan Presiden dan pemerintah yang sedang berusaha menangani pandemi Covid-19, sungguh sangat lemah, selemah-lemahnya iman.

Bahwa ada yang mendukung dan tidak mendukung vaksinasi sebagai pintu gerbang imunisasi massa, itu biasa. Yang tidak biasa dari sisi etika politik adalah para "hyena-politics" dalam memprovokasi sebagian massa yang menolak vaksinasi dan karenanya tidak mendukung usaha Pemerintah dalam menangani pandemi, kemudian mencap pemerintah gagal total dalam menangani pandemi.

Persoalannya, sebagian besar rakyat justeru sedang berjibaku bersama pemerintah menangani pandemi. Ada puluhan juta warga yang sudah menerima vaksin demi kemaslahatan bersama sekaligus ketahanan tubuh mereka. Ada puluhan juta warga yang menerima bantuan akibat terdampak pandemi. Inilah yang tidak dihitung para "hyena politics"!

Alhasil, gerakan "Jokowi End Game" mengalami "ejakulasi dini" karena kurangnya vitamin, keburu napsu, lemahnya ketahanan psikologis dan sosiologis, kurang gizi dan asupan dan ajakan hanya bergaung di "echo chamber" para pembenci Jokowi saja yang diamplifikasi ala kadarnya oleh para "penggonggong"-nya di medsos.

Lain "Go 2EDSA" lain "Jokowi End Game", gerakan politik yang perbedaanya layak diibaratkan "bagai langit dan comberan".

***