Pembubaran FPI oleh 6 pejabat Pemerintah itu bisa dianggap “mengebiri” kebebasan rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945. Jelas, Pemerintah telah “memperkosa” UUD 1945!
Menurut Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Maman Suryadi Abdurrahman bahwa jumlah anggota FPI saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Maman juga memastikan bahwa FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah.
Mereka bahkan memasang bendera merah-putih dalam seragam untuk memastikan tidak anti NKRI. “Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” kata Abdurrahman.
“Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,” sambungnya. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah bisa diterima Presiden Donald Trump.
Atensi media AS tersebut setidaknya menggambarkan sikap politik Pemerintahan Donald Trump. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI terkait bantuan ketika ada bencana alam tentu sangat menarik untuk dikaji.
Pasalnya, selama ini sejak kampanye Pilpres AS lalu, Trump dikenal dengan kebijakannya “anti” Islam, sampai membatasi orang Islam yang mau masuk AS. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI bisa mewakili sikap Pemerintah AS.
Tapi, sayangnya di dalam negeri, sikap Presiden Jokowi bertolak belakang dengan Presiden Trump. Presiden Jokowi sepertinya mengikuti arus deras desakan Pembubaran FPI. Jika ini terjadi, dan akhirnya benar-benar terealisasi, diperkirakan bakal ada perlawanan dari FPI dan simpatisannya.
Secara yuridis, sebenarnya ada ketegasan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas bisa mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan bisa juga tak mendaftarkan izinnya.
Tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak boleh melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, “Sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum,” lanjut Sugito.
Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya.
Dengan demikian tak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tidak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya bahwsa tidak ada alasan yuridis yang kuat dari pemerintah untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI.
Dalam konteks FPI bahwa alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu?
“Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” tegas Sugito. Pernyataan Presiden dengan jelas menyatakan, FPI dapat saja dibubarkan, jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan NKRI.
Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung Presiden Jokowi. Makanya, massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya.
Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tak diperpanjang lagi sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan.
Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habibn Rizieq Shihab yang saat itu berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.
Semua itu memperkuat keyakinan bahwa adanya desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan.
Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground “, bawah tanah, dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini.
“Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) dengan FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI,” tegas Sugito.
Mereka menganggap bahwa intensitas kerja FPI ini mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu.
Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut.
FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI.
Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden.
Menurut Sugito, FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pada Pilpres 2019, kian tersudutkan tidak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur.
Situasi ini kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyerukan pembubaran FPI dengan alasan, dalam AD FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa.
Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi.
Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka).
FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan, memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam.
Mereka tak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan umat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Ponpes Al-Umm Ciputat.
Misi utamanya pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini.
Di mana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief).
Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, Presiden harus kaji lagi.
Sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI.
Hal ini menjadi niscaya karena jika dilakukan cuma atas dasar ketidaksukaan bisa berdampak atas pemasungan hak sipil konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan rakyat untuk berserikat dan berkumpul.
Pembubaran FPI oleh 6 pejabat Pemerintah itu bisa dianggap “mengebiri” kebebasan rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945. Jelas, Pemerintah telah “memperkosa” UUD 1945!
(Selesai)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews