Netizen, Puan Maharani dan Sentimen Kedaerahan

Para pembaca yang bijak harus pandai mencerna kata agar tidak terjebak dalam pertengkaran aneh yang sebetulnya hanya memancing masyarakat saling serang dan saling melontarkan kebencian.

Jumat, 4 September 2020 | 12:30 WIB
0
457
Netizen, Puan Maharani dan Sentimen Kedaerahan
bukamatanews.id

Perdebatan netizen yang paling tidak penulis sukai adalah perdebatan yang mengarah ke sentimen kedaerahan. Akibat “salah”ucap dari pesohor negeri ini rasanya sontak netizen langsung reaktif. Ada yang emosi, ada yang berusaha memprovokasi untuk membangkitkan sentimen kedaerahan. Tampak seru namun rasanya tidak lucu.

Susah- susah para pejuang kemerdekaan zaman dahulu meraih kemerdekaan, namun sekarang banyak pihak berusaha mengaduk emosi masyarakat dengan sentimen kedaerahan. Juga memperdebatkan tentang dasar negara Pancasila. Rasanya semakin banyak orang pintar dan cerdas saat ini lebih tergiur pada serunya isu, nikmatnya godaan masuk partai demi meraih kekuasaan instan.

Netizen terbagi dalam beberapa kategori, ada yang menamakan influencer, Buzzer, blogger, Youtuber, Jurnalis warga. Berita - berita di website, jurnal berita online, broadcast dari WA, informasi membandang dari masyarakat yang pengin segera mengabarkan peristiwa di sekitarnya. Limpahnya berita yang masuk dalam ruang otak manusia menjadikan kerancuan - kerancuan yang akhirnya bisa menjebak manusia untuk meyakini bahwa benar yang sering diistilahkan “Post Truth”. Di era post truth berita benar bisa saja menjadi salah, berita rumor, hoak, berita bohong malah dipercaya sebagai berita yang akurat dan benar.

Netizen meyakini hukum probabilitas. Saking banyaknya yang mengamini berita salah akhirnya menjadi percaya bahwa berita salah dan bohong itulah yang benar. Kadang hanya dari judul dan baris kata – kata di depannya akhirnya berita itu dipercaya benar. Banyak yang percaya karena masalah branding, portal terpercaya tanpa melakukan cek dan ricek. Pokoknya kalau yang bikin dia atau sosok ini pasti benar.

Anjay, benar benar susah yang mempercayai sebuah pemberitaan. Semuanya kadang harus dicampur dengan perasaaan, dengan keterlanjuran bahwa sosok jujur, sederhana dan santun hingga melahirkan persepsi dia selalu benar. Banyak orang meyakini bahwa jika seseorang berpakaian, agamis, dengan penampilan perlente dan dengan kata - kata meyakinkan sebagai orang “benar”.

Maka masyarakat percaya saja dan akhirnya ikut arus menyalahkan orang yang penampilannya terkesan berantakan, berandal dan tidak mencerminkan santuy padahal pola pemikirannya jauh lebih dewasa dan logika berpikirnya jernih dan tulus. Padahal tidak kurang yang berpenampilan santun, terkesan orang baik ternyata adalah koruptor dan penjahat kelas kakap.

Banyak netizen yang membesar- besarkan masalah suku, ras, agama hanya karena ia ingin dikenal, terkenal atau istilahnya pansos atau panjat sosial. Jika ia dan pendapatnya bisa viral otomatis dirinya lebih dikenal di masyarakat medsos.

Masyarakat medsos saat ini tengah ramai membuli perkataan Puan Maharani, Anak dari Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas. Salah satu pemicunya ketika Puan mempertanyakan kesetiaan pada Pancasila kepada kader dan masyarakat Sumatera Barat”Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang memang mendukung Pancasila(2 /9 /2020)

Sebetulnya pernyataan Puan itu enteng, tidak ada kadar untuk membangkitkan sentimen kedaerahan, coba yang mengucapkan hanya dosen biasa pasti tidak menjadi polemik. Tapi karena yang mengucapkan adalah Puan Maharani anak Megawati dan megawati Pemimpin dari partai besar PDIP serta anak dari Proklamator Soekarno dan anak dari Fatmawati yang berasal dari Sumatera Barat maka kehebohan pun muncul. Gorengan dari Politisi (Khususnya PKS, tampak seakan akan Puan meragukan masyarakat Sumbar yang akhir – akhir ini sering ditimpa isu tentang khilafah).

Netizen yang gampang terbakar emosinya lalu mengaitkan dengan munculnya khilafah, radikalisasi agama yang muncul di Sumbar dan kekalahan telak PDIP dan Jokowi Di Sumatera Barat. Ada yang tersinggung dan menyinggung- nyinggung sentimen kedaerahan.

Saat ini sentimen daerah, agama, suku sepertinya menjadi santapan manis bagi pihak – pihak yang tidak senang Indonesia hidup rukun dalam bingkai Pancasila. Ada yang mendesak dan mengusulkan Trisila untuk daerahnya (misalnya Sumatera Barat, Aceh…)_Rasanya masyarakat selalu diberi suguhan perdebatan yang tidak ada habis- habisnya tentang agama, isu kedaerahan, isu ras, suku. Di aktifitas agama sendiri banyak pro kontra karena munculnya mazhab, sekte, yang akhirnya memecah belah persatuan.

Ada perang memanas yang membuat manusia bergelut, saling bunuh, saling melontarkan serangan rasis, dan sentimen kedaerahan padahal satu agama. Dalam satu agama bergelut perbedaan tafsir yang menyebabkan mereka bergejolak dan saling bertikai hanya gara – gara salah persepsi menafsir isi ajaran – ajarannya.

Indonesia amat rawan perpecahan jika akhirnya banyak manusia yang lebih senang memperdebatkan perbedaan- perbedaan tidak penting daripada menghargai perbedaan itu sebaga proses demokrasi. Sebagai dasar negara Pancasila sudah final. Antara satu sila ke sila lain saling berkait dan menutupi kekurangan. Mengapa harus berdebat pada isi silanya jika sebenarnya Pancasila jika dihayati dan diresapi dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari – hari akan membuat negara maju kertaraharja.

Jika bicara”ngegas” dengan menonjolkan kedaerahannya, serta keunggulan masing- masing daerah atau suku, rasanya sekarang salah sasaran. Percampuran darah dengan menikah, lintas etnis, lintas suku dan keyakinan sebetulnya memberi tanda tidak perlu berdebat karena sentimen kedaerahan dan agama. Mereka yang kebetulan di Sumatera Barat, atau lahir di Jakarta yang notabene di pulau Jawa adalah orang Indonesia juga. Agama – agama yang berdampingan di Indonesia itu menunjukkan keragaman, menunjukkan toleransi. Menunjukkan bahwa tiap isi kepala manusia boleh berbeda tetapi harus dicatat bahwa Indonesia sangat kuat saat ini meski selalu diserang oleh isu ras, agama yang bikin jengah dan kadang menjengkelkan.

Puan bisa salah ucap, namun bisa saja adalah reaksi spontan ketika mendengar berita marak bahwa Sumatera Barat itu basis pergerakan khilafah, basisnya PKS, bukan daerah yang menyukai partai nasionalis, merah merona dengan moncong putih dan mata memerah.Sebetulnya penulis yakin di daerah Sumatera Barat adem- adem saja, politisi Senayan tetap tersenyum meskipun di medsos tampak tengah bermusuhan. Netizen saja yang heboh yang membuat berita yang seharusnya biasa menjadi luar biasa serunya menjadi perdebatan netizen yang “ kepo “.

 Banyak yang menduga Puan sedang mencari panggung, sedang memainkan trik – triknya bertujuan pansos atau panjat sosial ( mungkin ada yang menduga begitu), mempersiapkan diri menjelang tahun 2024 ). Jadi mengapa heboh sendiri sih, toh pada akhirnya yang diuntungkan Puan, dan orang – orang yang mempermasalahkan pernyataan Puan sebagai orang yang tidak tahu diri, mentang- mentang cucu dari Proklamator. Ada yang menganggap Puan keseleo lidah karena ia tidak pecus sebagai politisi.

Banyak yang menuduh PDIP sendiri membuat Sumatera Barat tidak yakin memilih pemimpinnya. Yang hebohnya mereka ada yang menuduh karena daerah berbasis agama maka mereka tidak mau memilih partai yang rapor korupsinya luar biasa, padahal siapa sih partai baik dari basis keagamaan maupun yang nasionalis yang tidak melakukan korupsi?

Itulah kehebohan di dunia medsos. Para pembaca yang bijak harus pandai mencerna kata agar tidak terjebak dalam pertengkaran aneh yang sebetulnya hanya memancing masyarakat saling serang dan saling melontarkan kebencian. Jangan mau diadu domba. Tetap semangat dalam balutan nasionalisme yang berbasis Pancasila. Karena Pancasila itu sempurna sebagai dasar negara Indonesia. Salam damai. Merdeka.

***