Kalau wartawan sudah tidak bisa menjaga marwah profesinya, maka profesi akan rusak dimasa depan.
Media itu sarana imformasi yang menyajikan berita secara berimbang, objektif, dan tidak ikut berpolitik. Khittah media memang sudah seperti itu, namun sayangnya karena pemilik media adalah kebanyakan politisi, maka media pun diseret keranah politik.
Apa yang dialami oleh Detik.com dan Tempo.co adalah dampak dari politisasi media yang kurang tepat. Media dijadikan Buzzer politik yang tidak ada bedanya dengan BuzzerRp, sehingga dalam penyajian imformasi tidak lagi cover both side, lebih mengikuti keinginan pemesan.
Anjloknya rating Detik.com 2.0 hampir menyentuh titik nadir, begitu juga dengan Tempo.co 1.0, yang merusak reputasi yang dibangun sejak lama sebagai media yang selalu menjadi rujukan pemberitaan, yang memiliki akurasi berita sangat dipercaya.
Akhirnya publik berpikir, apa lagi yang layak dipercaya ketika sumber imformasi sudah disusupi kepentingan politik pemilik media. Belum lagi menghadapi persaingan bisnis media yang semakin tidak beradab, yang sudah merusak etika jurnalistik, karena hanya berorientasi pada bisnis semata.
Kalau orang-orang media sendiri tidak melindungi periuk nasinya sendiri, bahkan mengencinginya hanya terbawa syahwat politik, maka lambat laun media akan menemui ajalnya sebelum waktunya.
Profesi jurnalis sangatlah mulia. Dimasa lalu seorang jurnalis memiliki kehormatan setara dengan pejabat negara. Jangan sampai dimasa pandemi corona, jurnalis malah menjual kehormatannya hanya demi kepentingan politik semata.
Bahkan seorang guru bangsa, KH Oemar Said Tjokroaminoto sangat memuji profesi seorang wartawan, dan mensejajarkannya dengan kemampuan seorang pemimpin,
"Jika Anda ingin menjadi seorang pemimpin, menulislah seperti wartawan danberbicaralah seperti seorang orator"
Tidak banyak orang yang mau memilih profesi sebagai seorang jurnalis, karena profesi ini harus memiliki talenta dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki banyak orang, dan harus memiliki nyali yang benar. Selain itu, konsistensi sikap seorang jurnalis itu sangat dipertaruhkan untuk menyajikan karya jurnalistiknya.
Kepatuhan seorang jurnalis pada etika jurnalistik, adalah caranya memelihara adab, dan meninggikan kaidah-kaidah jurnalistik. Itulah yang membuat profesi seorang jurnalis sangat di hormati, namun tidak bisa dipungkiri tidak semua jurnalis yang bermental seperti itu.
“Etika dasar jurnalisme investigatif, bersikaplah adil juga kepada pihak yang kau curigai. Awas dan kritis, tapi jangan cepat memvonis.”― Goenawan Mohamad,
Sangat menarik apa yang dipaparkan Arya Gunawan Usis, yang saya kutip dari Antaranews.com, ada tiga pelajaran yang dia dapatkan dari seorang Wartawan dan Sastrawan kawakan, Rosihan Anwar, yang merupakan hasil pengamatannya.
Pertama, seorang wartawan perlu membereskan terlebih dahulu keruwetannya berpikir, agar bisa merumuskan pandangan dengan jelas, lurus, dan sederhana untuk dipahami dengan mudah oleh pihak lain.
Kedua, seorang wartawan hendaknya tak bosan mengamati, mencatat dan melatih ingatan, bahkan sampai kepada hal-ihwal kecil yang kelihatannya seperti tidak berguna, yang barangkalai saja di kelak kemudian hari akan terpakai untuk bahan tulisan.
Ketiga, seorang wartawan dan penulis hendaknya menjadi sosok “die hard”, pantang berhenti pantang pensiun selagi ingatan masih bersisa dan usia belum dipenggal Sang Maha Pemilik.
Kita bisa melihat betapa mulianya tugas seorang jurnalis/wartawan, yang tidak bekerja secara sembarangan. Apa yang disajikan dalam tulisannya semua berdasarkan fakta, dan hasil investigasi yang bisa dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Profesi yang mulia ini bisa rusak seketika, ketika media tidak lagi bisa menyajikan imformasi yang berimbang (cover both side), karena apa yang disajikan media adalah karya jurnalistik yang dihasilkan oleh seorang wartawan. Kalau wartawan sudah tidak bisa menjaga marwah profesinya, maka profesi akan rusak dimasa depan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews