Kita tidak memusuhi orangnya secara pribadi. Yang kita tentang adalah perilaku mereka yang sungguh ngeri tingkat penularannya.
Duh, baca berita seperti ini bikin perut saya mendadak mules.
Ini baru di satu kota Bekasi, yang notabene tetangganya DKI Jakarta. Kebayang di ibukota sendiri sebanyak apa pengidap kelainan jiwa sedemikian. Apa yang diberitakan ini, saya yakin, hanyalah fenomena gunung es. Yang terlihat hanya sebagian kecil saja. Kalau mau menelisik lebih mendalam, pasti kita semua akan terkejut-kejut.
Baca juga ini (berita lama tapi masih sangat relevan; dan mungkin keadaanya sekarang semakin parah).
Gerakan lelaki melambai (dan kaum sejenisnya yang tergabung dalam eljibitisimilikiti) ini memang sangat masif. Yang awalnya merupakan suatu aib, sekarang orang yang "come out" alias berani mengakui, malah dianggap sebagai pemberani.
Yang dulunya pelaku eljibitisimilikiti ini kebanyakan non-muslim, sekarang kaum muslim pun sudah mulai percaya diri menampakkan kelainan orientasi seksualnya. Saya yakin, dari 4.000 orang yang tercyduk oleh KPAD Bekasi itu sebagian besar adalah kaum muslim.
Seharusnya, sepatutnya... Daripada ngurusin cadar, celana cingkrang, dan membuat PMA khusus untuk ngawasin majelis taklim ibu-ibu, Kementerian Agama tuh lebih baik ngurusin penyakit masyarakat bernama eljibitisimilikiti. Ini lebih darurat. Gerakannya sporadis dan masif. Orang-orang yang sudah terjangkit penyakit ini nggak akan ragu untuk mengajak sebanyak mungkin orang, bahkan menyasar ke remaja dan anak-anak.
Bukan di Indonesia tok, tentunya. Jauh di Norwegia sini, kaum menyimpang itu bisa hidup tenang dan bebas. Mereka sudah boleh menikah sesama jenis dan diakui oleh negara. Bahkan gereja pun diizinkan untuk memberkati pernikahan sejenis. Sampai ada beberapa pendeta/pastor di sini yang mundur dari profesinya, karena menilai gereja sudah bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama mereka. Ini di Norwegia.
Keberatan seperti yang diajukan para pastor itu tak ada artinya apa-apa, meski tetap harus disuarakan. Dengan cepat sikap berani pemuka agama itu tenggelam oleh ingar-bingar dan glorifikasi gerakan Kaum Luth.
Bahkan saya pernah cerita, kan, tentang pertunjukan panggung di sekolah Fatih beberapa bulan lalu. Di acara perpisahan anak SD (iya, SD!), walikelas Fatih justru memfasilitasi beberapa siswanya untuk berperan ala-ala lelaki penyuka sesama jenis. Waktu itu tema besar punggungnya adalah "Kjærlighet" alias "Love".
Love knows no boundaries. Gitulah kira-kira. Menjadi kaum eljibitisimilikiti adalah salah satu bentuk pernyataan kebebasan mencintai yang tak seorangpun boleh melarang.
Ibu walikelas bahkan membawakan bendera pelangi khas kaum itu, dan anak-anak pamerannya (Fatih tidak termasuk) dengan bangga mengibarkan bendera itu. Dan para orangtua yang menyaksikan bertepuk tangan, kecuali saya.
Sungguh tak terlupakan. Baca cerita selengkapnya di sini.
Kita tinggalkan Norwegia. Kembali ke Indonesia. Harus diakui kalau masyarakat kita semakin permisif dan liberal. Pengaruh budaya Barat dan bahkan budaya orang Timur yang kebarat-baratan, diterima dengan tangan terbuka dan bahkan diresapi dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun bukan pelaku, setidaknya mereka tidak menentang. Dianggap biasa saja; tanda perubahan zaman. This is 2019.
Ada juga yang tidak menentang, tapi tidak mendukung juga. Ini namanya galau alias labil, nggak bisa menentukan sikap.
Sekarang ini, yang namanya mayoritas itu semakin ditindas oleh minoritas. Kaum eljibitisimilikiti ini termasuk yang rajin merengek dan "playing victim", meminta untuk disamakan haknya dengan mereka yang normal. Nah, dari sini aja mereka secara nggak langsung mengakui kalau mereka ini nggak normal, ya toh?
Coba deh, berani nulis di medsos tentang masalah ini. Udah bagus kalau cuma dikasih peringatan. Seringnya sih, postingan begini langsung dihapus "karena tidak sesuai dengan standar komunitas kami". Jadi ingat status Kak Sinyo Egie yang barusan kena semprit oleh tim Facebook, hiks. Semangat terus, Kak!
Jadi, kaum mereka ini semakin banyak, semakin kuat, karena pendukungnya juga punya dana tak terbatas untuk mempopulerkan gaya hidup sedemikian. Kita yang nggak setuju atau menentang, akan dilabeli "homophobic" alias intoleran. Nasiblah memang jadi mayoritas zaman now.
Intinya, saya sepakat kalau orang-orang dengan eljibitisimilikiti ini mengidap penyakit kejiwaan, dan karenanya perlu direhabilitasi/disembuhkan. Kita tidak memusuhi orangnya secara pribadi. Yang kita tentang adalah perilaku mereka yang sungguh ngeri tingkat penularannya.
Amati sekitar kita. Jaga anak-anak kita dari pengaruh buruknya. Arahkan mereka untuk bergabung dengan komunitas yang bisa menyembuhkan. Kalaupun tak bisa, jangan sampai kita jadi ikut-ikutan permisif dan memandang perilaku ini sebagai suatu kenormalan; karena ini sungguh tidak normal. Belum lagi kalau kita bicara perspektif agama. Akan panjang ulasannya.
Mari kita lihat berapa lama tulisan saya ini bisa bertahan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews