Bintang Kejora sebagai Sinyal Proxy

Sebagai pengamat yang selalu berfikir worst condition, mohon pembacaan, Hire Road, Depth Trap, Referendum diputuskan dengan bijak dan hati-hati.

Jumat, 30 Agustus 2019 | 07:07 WIB
0
690
Bintang Kejora sebagai Sinyal Proxy
Bintang Kejora di Depan Istana (Foto: RMOL)

Bagaimana membaca geliat masyarakat Papua yang marah di pulaunya dan kini mulai mengusik ibukota? Demo-demo kekerasan terjadi di beberapa kota di Papua, terakhir terjadi di Jayapura. Awal aksi sebagai protes atas terjadinya kasus yang terjadi kepada mahasiswa Papua di Surabaya.

Kini greget dipertajam dengan simbol bendera Bintang Kejora, dikibarkan di depan Istana Merdeka (28/8/2019) dan di sekitar Monas. Seberapa seriuskah kondisi yang berlaku? Pak Jokowi sebagai Kepala Negara atau end user pasti bertanya dan yang harus dijawab oleh Pimpinan Badan Intelijen.

Gerakan masyarakat Papua di beberapa kota adalah masalah taktis tetapi harus dibaca dgn kacamata intelijen strategis (intelstrat). Akan keliru apabila dibaca sbg masalah hukum belaka. Mengapa? Kasus yg terjadi bukan sekedar solidaritas atau rasisme dan seperti yang disuarakan, represi terhadap orang Papua. Kini bobotnya diperberat.

Koordinator aksi dimuka Istana Ambrosius tegas menyatakan "Rakyat Papua ingin mendapatkan haknya untuk menentukan nasib sendiri". Artinya rakyat Papua ingin keterlibatan fihak ketiga, meniru lepasnya Timor Timur melalui referendum.

Apakah sedemikian seriusnyakah keinginan merdeka? Saya melihat geliat yang terjadi bila dibaca dengan kacamata intelstrat adalah baru berupa signal keras kepada pemerintah Indonesia terkait kebijakan politik luar negerinya.

Ada kekeliruan pembacaan situasi dan kondisi Polugri. Kita meributkan dan turun tangan menggebu masalah Afghanistan, Palestina, Rohingya, tapi tidak membaca dan menyikapi kondisi geopolitik dan geostrategi di lingkungannya sendiri. Entah disadari atau tidak mau tahu, ada persaingansengit  komponen Politik, ekonomi dan pertahanan di kawasan Asia Pasifik antara China dengan AS yang diabaikan

China sejak tahun 2007 mengembangkan teori penguasaan dua Samudera, Pasifik dan Samudera Hindia. Kawasan Laut China Selatan yg dahulu dikuasai oleh Armada Perang AS, sejak 2007 mulai diduduki China yg ingin menjadi sherif, karena AS sedang sibuk membenahi Kawasan Timur Tengah. China mengeluarkan teori OBOR.

Melihat perkembangan dan bahaya kemauan hegemoni China,AS sejak 2009 memindahkan wilayah kepentingan utamanya dari Timur Tengah ke Asia Pasifik dengan teori Rebalancing. Presiden Barrack Obama pada 2009 di Jepang menyatakannya, dan juga mengatakan bahwa AS membutuhkan dua mitra di Asia Tenggara disamping sudah punya beberapa sekutu. Dua mitra yang diinginkan adalah Malaysia dengan Indonesia.

Sejak 2010 terjadi 'cold war' antara AS versus China. AS merubah strategi kawasan pertahanannya dari Pacific Command menjadi Indo Pacific, dan mengeluarkan kebijakan mirip OBOR dengan nama hire road. Nah, PM Najib menjadi korban ops clandestine karena terlalu pro ke China. Terjadi kasus misteri MH370, MH17 dan titik mati Najib karena korupsinya di buka. Sulit membaca dan membuktikan ops intelijen cladestine itu. Hanya analis intelijen senior yg bisa membaca dan itupun hanya bisa meraba.

Kini melihat situasi dan kondisi Indonesia, penulis menggunakam sense of intelligence, berani menyebutkan geliat Papua adalah bagian dari proxy war.

Ini adalah signal kepada Pemerintah Indonesia (baca Presiden Jokowi), setelah dua signal terdahulu kasus kegagalan sistem IT, dan black out PLN tidak ada perubahan dan tidak disikapi. Papua oleh sang principle agent (pemilik kepentingan) akan dimainkan melalui para handler agent (pengendali) biasanya yang beroperasi kontraktor khusus,  kini sudah ditingkatkan ke arah referendum. Apakah rakyat Papua mampu melaksanakannya, rasanya tanpa bantuan pihak ketiga mustahil.

Kini di samping aksi kekerasan di Papua, para handler sengaja mengibarkan Bintang Kejora di depan Istana Merdeka. Mereka menunggu ada aksi represif aparat, agar jatuh korban dan terjadi pelanggaran HAM. Kapolri dan Panglima TNI cukup mewaspadai hal tersebut, tidak ada letusan senjata api, baik saat memadamkan demo di Papua maupun di Jakarta. Dari pihak TNI atau Polri ada korban yang jatuh.

Jadi menurut analisis intelijen, apabila tidak ada perubahan sikap dari Penerintah Indonesia, rasanya tidak terlalu lama akan didatangkan PBB ke Papua. Timor Timur jajak oendapat dilaksanakan hanya dalam empat bulan. Kita faham siapa yang berkuasa dan mampu mendatangkan PBB. Bila terjadi referendum di Papua, nasib Pak Jokowi bisa seperti Pak Habibie atau Najib. Muncul pertanyaan, bagaimana menyelesaikan dan mengamankan Indonesia dan Presidennya? Ini bagian terpentingnya.

Penulis menyarankan, Presiden Jokowi sebaiknya segera mengutus Menhan Ryamizard Ryacudu untuk berangkat ke AS. Pintu diplomasi pertahanan Ryamizard terbuka lebar ke Uncle Sam, ini satu-satunya pintu yg mereka buka. Belum ada pejabat lain yang tembus ke pusatnya.

Mungkin ada informasi dari AS yang pernah diterima Presiden Jokowi, bahwa penasihat Presiden Trump marah , tetapi informasi pasti lebih sefihak dan kurang akurat. Pak Jokowi perlu segera mengirim Menhan sebagai negosiator. Insya Allah akan selesai karena Menhan di back up team intelijen strategis yang juga pernah ke AS.

Kedua, mohon sementara dibatasi ketergantungan dengan China, walaupun Indonesia membutuhkannya di bidang ekonomi. Kini ada pejabat teras Indonesia selalu menyatakan sedikit-sedikit kita butuh China, seperti BPJS, dan demikian banyak proyek sudah dan akan ditandatangani dengan China. Ini tidak perlu digembar gemborkan, membuat kesal raksasa lainnya, kalau dia tiwikromo habislah kita, siapa yang akan menolong?

Sebagai pengamat yang selalu berfikir worst condition, mohon pembacaan, Hire Road, Depth Trap, Referendum diputuskan dengan bijak dan hati-hati. Indonesia berhadapan dengan raksasa yang pernah berperang di Vietnam, Korea, Jepang, Afganistan, Libya, Irak, Syria dan terlibat dalam dua perang dunia.

China berani melawan AS karena ekonominya kuat, punya peluru kendali nuklir, alutsista modern, punya 33.000 kapal yg dikawal coast guard. Pengamat dunia mengatakan, kalau anda tidak punya nuklir jangan coba-coba lawan Amerika. Sebaiknya para inner circle apabila tidak mempunyai fakta intelijen tidak memberikan saran yang justru akan  menjerumuskan.

Demikian sedikit analisis tentang sikon yang sedang terjadi. Semoga bermanfaat bagi pimpinan nasional. Saya mendoakan semoga Presiden Jokowi mendapat ridho, dan perlindungan Allah dengan barokahNya. Penulis mengagumi dan bangga punya presiden yang sederhana. integritas tinggi, dekat dengan rakyat  dan andap asor ini, sayang kalau sampai dijatuhkan karena info yang masuk keliru.

Catatan: saya menulis analisis dan saran terbuka karena sebagai rakyat kecil, pensiunan tentara di luar sistem tidak punya saluran langsung, mohon maaf. Artikel dan analisis ini diyakini sebagai bagian dari ibadah, Aamiin.

Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen

***