Dandhy Laksono, Kebebasan atau Kabablasan Berekspresi?

Keberaniannya memaparkan data dan fakta hasil riset lapangan, mengelilingi pelosok-pelosok wilayah sulit di Indonesia menjadi kekuatan dan kapasitasnya dalam melahirkan "Sexy Killers".

Sabtu, 28 September 2019 | 09:46 WIB
0
858
Dandhy Laksono, Kebebasan atau Kabablasan Berekspresi?
Dandhy Laksono (Foto: Tirto.id)

Tren bertagar 'Saya bersama Dandhy Laksono', atau 'Bebaskan Dandhy Laksono' sempat bertengger di Twitter Top 5 Trending Indonesia, kira-kira begitu. Yang saya lihat, di linimasa facebook banyak juga netizen menulis status dengan tagar serupa.

Saya nggak ikutan.  Alasannya personal saja -- jelang dan selama pilkada dki (2016-2017), di medsos dia posting intens dengan konten dominan negatif tentang Ahok aka BTP.

Saya khususnya mengamati, tepatnya menemukan tulisannya di facebook yang lewat di Newsfeed. Alasan subyektif saya hingga mengutarakan uneg-uneg ini sekarang, saya batasi dalam konteks saat itu, bahwa Cagub DKI yang menjadi rival Ahok pada Pilkada DKI 2017 adalah eks jajaran Kabinet Kerja yang diganti orang lain karena sesuatu yang mengindikasikan "ketidak-beresannya" di mata Presiden.

Konotasinya, ada hal dari Sang Cagub rival Ahok yang secara "political correctness", mungkin juga secara "manajerial" alias track record pengelolaan terkait kewenangan jabatan yang tidak sesuai yang seharusnya dipertanggungjawabkannya.

Dengan alasan itu, maka saya malas mengikuti status medsos Dandhy. Sejak itu status CEO Watchdog yang kini banyak melahirkan dukungan warga medsos dan mungkin sejumlah pihak yang punya aspirasi terjaminnya kehidupan berdemokrasi, antara lain kebebasan berekspresi terkait dengan UUITE  (siapa yang tidak ingin, maka saya pun) itu terasa "melukai hati" saya sebagai warga DKI yang ingin punya pemimpin (gubernur) yang membuat perubahan dari "status quo" sungai hitam dan bau sepanjang Jl Daan Mogot" menjadi seindah Yarra River di Melbourne, gubernur yang memampukan warga kumuh pindah ke tempat tinggal yang layak dan manusiawi.

Ini mungkin subyektivitas saya sebagai pemegang KTP DKI sejak lima gubernur yang pernah menjabat.

Dikenal luas sebagai sosok "Aktivis HAM" maupun "Social Justice Warrior", karya filmnya -- Sexy Killers" memang mengagumkan. Keberaniannya memaparkan data dan fakta sebagai hasil riset pribadi lapangan, mengelilingi pelosok-pelosok wilayah sulit di Indonesia menjadi kekuatan dan kapasitasnya dalam melahirkan "Sexy Killers" -- karya kritis, berkualitas, dan membuka wawasan, saya akui.

Namun bukan bumi manusia namanya bila soal apapun tidak menimbulkan reaksi pro dan kontra, termasuk Film "Rayuan Pulau Palsu" (2016) dan "Sexy Killers" (ditayangkan April 2019).

Khusus tentang karya Dandhy -- "Rayuan Pulau Palsu" bagi sebagian pihak (para pendukung BTP) dianggap punya andil mendeskreditkan pimpinan Pemprov DKI periode tersebut.

Terkait dengan cuitan warga Twitter dan Facebook yang memasang tagar 'Saya bersama Dandhy' karena aspirasi kebebasan berekspresi, Penulis menemukan pernyataan-pernyataan yang mungkin mencerminkan sisi menarik lainnya 'tentang CEO Watchdog, antara lain seperti berikut ini:

" ... memang kebiasaan Dandhy yang memblokir siapapun yang tidak sependapat. Saya tidak mendukungnya karena tidak mengerti sama sekali satu pun idenya, karena sudah sejak setahun lalu akun saya diblokir." (Hariadhi, Penulis dalam artikelnya tentang "Debat Keren Dandhy Vs Budiman Sudjatmiko" di Kompasiana).

Kira-kira ada ga Netizen yang ngetweet “Apakah aku satu-satunya orang yang diblock @Dhandy_Laksono?” (Coki Tobing di Twitter)

Dede Budhyarto di Twitter, "Saya diblock dr 2017 waktu Dokumenter Rayuan Pulau Palsu menghantam Ahok."

"Maaf bagi sy dandhy pengecut
Mau kritik tapi kaga mau dikritik
KLU DIKRITIK MAIN BLOK aja" (Djunaedi - DjoenDjoenBang di Twitter)

"Sangat sedikit orang yg cerewet di twitter yg berani mempertanggungjawabkannya dlm debat. @Dandhy_Laksono adalah salah seorang yg sedikit itu, berdebat tatap muka dgn pinsip (opini2nya meskipun kerap berbeda dgn saya) & harga diri. Saya menolak penangkapannya" (Budiman Sudjatmiko di Twitter)

Merujuk pada keprihatinan banyak pegiat HAM maupun netizen tentang kebebasan berekspresi yang menurut anggapan mereka cenderung terpasung oleh "penguasa" di negeri +62 ini, saya jadi teringat pertanyaan yang terjawab tragis, bahwa ekspresi seorang gubernur (mantan yang tulus di mata saya) mengantarkannya dengan mulus ke dalam jeruji penjara selama dua tahun.

Kita tahu, apa yang diucapkan oleh mantan gubernur Ahok dulu utamanya terjadi dalam pidato tatap muka dengan warga di Kepulauan Seribu, yang didokumentasikan dalam rekaman video.

Inilah saya, bukan siapa-siapa yang juga ingin mengekspresikan ingatan lama yang kini semakin receh dan nyaris terhapus. Saya rasa sikap pribadi ini tidak akan berpengaruh buat siapapun. "Nggak ngaruh babar blas!"

"Eniwei baswei", sebagai pribadi juga saya tetap menghormati "Mas Dandhy" yang keren, humoris, baik, dan santai", itu kesan saya pernah bertemu dengannya. Kepo? Nggak penting itu.

*personal = subyektif*

Indria Salim

***