Jokowi Hendaknya Belajar dari Kegagalan Najib

Secara umum dua kasus secara tehnis dijawab ringan dan beres oleh para pemangku. Tetapi dilain sisi, masyarakat mulai terganggu dan sebatas turun kepercayaan terhadap Bank BUMN dan PLN.

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 12:56 WIB
0
572
Jokowi Hendaknya Belajar dari Kegagalan Najib
Joko Widodo dan Najib razak (Foto: Setkab.go.id)

Dalam terminologi intelijen bagian penting yang harus dijawab analis intelijen adalah kata "ME" singkatan dari kata mengapa, berupa pemenuhan kebutuhan informasi intelijen dari pulbaket siabidibame. Pada setiap kasus, end user butuh jawaban atas UUK. Bagi Indonesia sebuah pertanyaan, sudahkah intelijen negara menjawab UUK presiden khusus tentang ancaman?

Pada beberapa kasus, kegagalan dan penyimpangan unsur intelijen sangat merugikan end user. Sebagai contoh,  Presiden AS George Bush Jr, diakhir masa jabatannya menyatakan kekecewaannya,  karena mempercayai informasi intelijen yang mengatakan adanya Senjata Pemusnah Masal (SPM) di Irak. Presiden memutuskan Irak diserbu, Sadam dijatuhkan dan dihukum gantung, ternyata tidak ditemukan SPM. Informasi intelijen itu keliru atau dikelirukan?

Nah, kini penulis melihat sikon politik dalam negeri, Pak Jokowi yang sudah menang secara legitimate pada pilpres 2019 masih menghadapi tekanan politik berat dari dinamika politik yang ada yang dinilai  kurang kondusif. Selain poros KIK yaitu parpol pendukung saat pilpres, kini muncul poros baru Tengku Umar-Hambalang. Seberapa kuat dan mumpuninya inner circle beliau menyikapi masalah politik ini?

Masalah kedua Pak Jokowi harus mempersiapkan kabinet sebagai hak prerogatifnya, tuntutan parpol untuk menjadi anggota kabinet serta kebutuhannya memilih menteri non partisan dan profesional, ini menjadi masalah tersendiri.

Sementara Ratu Banteng, Megawati  dengan domain politik, juara pemilu 2019 nampaknya mulai melihat masa depan. Pemilu dan pilpres 2024 mulai dirancangnya. Prabowo  dinilai potensinya masih besar sebagai capres pada masa mendatang mulai ditarik merapat, sah-sah saja sebenarnya. Tetapi ditarik merapatnya Prabowo membuat koalisi empat parpol panas dingin, merasa tersaingi, pamornya turun. Di sini peran Kepala BIN terang benderang dan sukses sebagai mediator.

Kejatuhan Najib Sebagai Pembelajaran

Penulis mencermati kasus kejatuhan PM Malaysia Najib Razak pada pemilu yang dilaksanakan hari Rabu (9/5/2018) sebagai sebuah pembelajaran bagi Pak Jokowi. Saat pemilu Malaysia, PM Najib dikalahkan oleh politikus sepuh Mahathir Mohamad (92 th) yang sudah 15 tahun mundur dari dunia politik. Padahal Najib didukung koalisi Barisan Nasional yang sudah 60 tahun berkuasa.

Muncul pertanyaan,  mengapa Najib sebagai petahana yang superior kalah? Dari fakta yang ada, dia jatuh karena persoalan integritas. Najib terbukti terlibat korupsi 1 Malaysia Development Berhad (1MDB), bahkan kemudian dia ditahan. Sebenarnya apabila dicermati dari sisi intelijen, terdapat rangkaian conditioning yang menyebabkan dia kalah. Serangan terhadap PM Najib sudah dimulai sejak tahun 2014.

Tahun 2014, terjadi dua kasus menyangkut celakanya pesawat Boeing 777 Malaysia Airlines, MH370 dan MH17. Malaysia Airline adalah perusahaan negara. Sebagai akibatnya saham perusahaan penerbangan itu ambruk. Kasus yang menelan korban MH370 (239) dan MH17 (298 jiwa)  bukan sekedar aksi teror atau kecelakaan semata, ada konspirasi besar untuk menyerang dan menurunkan kredibilitas Najib. Penulis membuat beberapa tulisan, dan  buku Misteri MH370.

Selain itu pemerintahan Najib terus dirongrong dengan demo-demo yang menyerangnya. Tetapi hantaman terhadap kredibilitas tidak menggoyahkanya, dia tetap tegar. Serangan terakhir yang mematikan karirnya dibuka oleh beberapa negara, dia terbukti melakukan korupsi, bukti terakhir dari sumber FBI, jatuhlah Najib dikalahkan Mahathir yang berusia 92 tahun itu.

Perkembangan Geopolitik dan Geostrategi Asia Pasifik

Setiap negara di kawasan Asia- Pasifik tidak bisa berpangku tangan dengan perkembangan Geopolitik dan Geostrategi kawasan regional Asia Pasifik khususnya negara-negara disekitar di Laut China Selatan . Tiga negara besar bermain di kawasan ini, AS, China dan Rusia. AS tetap tetap menggunakan diplomasi kekuatan militer, China melalui pengaruh ekonomi dan pengembangan strategi militer, Rusia dengan pola Hybrid War.

China mengembangkan One Belt One Route (OBOR), sejak 2015 China melancarkan strategi yang dirancang sejak tahun 2007, dimana kekuatan lautnya diarahkan kedua Samudera (Pasifik dan Indonesia). China mengerahkan dan menyebar sebanyak  33.000 kapal laut dengan bobot rata-rata  500 ton yang didukung kapal Coast Guard berbobot rata-rata 13.000 ton. Strategi tersebut   kini sudah berjalan. Menarik yang disebutkan  China dalam menuju upaya hegemoni dua samudera, "You fight your way and I fight my way". Jelas ini tantangan terhadap Amerika  di kawasan regional yang selama ini menjadi wilayah hegemoninya.

Di lain sisi, AS yang merasa wilayah dominasinya mulai terganggu oleh ulah China mengubah strategi kekuatan,  awalnya adalah Pacific Command, kini  menjadi Indo Pacific yang diluaskan dengan tiga komando wilayah pertahanan (Kowilhan). Konsep maririm AS terbaru sejak 2019 diberi nama higher road, yang prinsipnya  sama dengan OBOR. Higher Road terdiri dari, Uninterupted Commerce, Freedom of Navigation, Connectivity, and Maritime Domain Security. 

Sementara Rusia sebagai pemain besar ketiga selain mempunyai kepentingan sendiri di regional Asia Pasifik, juga bersekutu dengan China dan Korea Utara, sedang AS menggandeng Australia, Jepang, Korea Selatan, dan India.

Terkait kepentingan AS terhadap Asean, pada tahun 2009, Presiden Obama menyatakan di Jepang bahwa AS  menggeser wilayah kepentingannya  dari Timur Tengah ke kawasan Asia Pasifik. Saat itu ditekankannya AS butuh dua mitra di Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Indonesia, disamping sudah adanya sekutu yang ada.

Dalam beberapa tahun terakhir, AS melihat China sebagai lawan serius, yang dapat menguasai negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui pemberian hutang dan berakhir menjadi depth trap(jebakan hutang). Malaysia dibawah Najib telah masuk perangkap China, ini yang tidak disukai AS. Najib keliru membaca situasi dan kondisi yang berlaku, menolak menjadi mitra AS dan membatasi hubungan dengan China, sebagai akibat fatal baginya.

Alur konspirasi serangan sistematis terhadap Najib, di mulai Maret 2014, aksi terorisme terhadap MH370, dilanjut penembakan MH17, serta demo anti Najib. Pukulan yang mematikan dengan dibongkarnya kasus korupsi. Kasus integritas ini yang paling fatal. Alur bukti mengalir dari Eropa, mengalir ke AS dan mengimbas ke Malaysia, Najib yang pro China selesai, apapun alasannya.

Di bawah PM Mahathir, terjadi perubahan kebijakan terhadap China, beberapa proyek investasi China dibatalkan. Di bawah Mahatir, Malaysia akan membangun tidak dibawah belenggu hutang China.

Ancaman Terhadap Jokowi

Apakah ada ancaman terhadap Pak Jokowi sebagai presiden terpilih?

Inilah tugas intelijen dalam melakukan pulbaket ancaman, menganalisisnya  dan melakukan counter. Dalam politik tidak ada sekutu, yang ada hanyalah kepentingan bersama. Ancaman jelas selalu ada, baik dari dalam maupun luar negeri. Penulis menilai ancaman dalam negeri selama ini mampu dinetralisir oleh Polri yang di back up TNI. Kasus politik jelas bisa diatasi oleh Jokowi, karena politik itu pragmatis.

Baca Juga: Prediksi Intelijen tentang Pengganti Presiden Joko Widodo

Kini penulis melihat ada  indikasi serius yang terjadi dan berpotensi mengancam Jokowi, yaitu terjadinya gangguan sistem IT Bank Mandiri Sabtu (20/7/2019)  di mana puluhan nasabah Bank Mandiri di Pekanbaru, Riau, kehilangan saldo dan sebagian saldonya bertambah.

Kasus kedua terjadinya  blackout listrik PLN, (Minggu 4/8/2019). Terjadi pemadaman listrik  di wilayah Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Matinya listrik hingga kurang lebih 8-18 jam membuat berbagai aktivitas masyarakat lumpuh seketika, utamanya sistem berbasis digital.

Secara umum dua kasus secara tehnis dijawab ringan dan beres oleh para pemangku. Tetapi dilain sisi, masyarakat mulai terganggu dan sebatas turun kepercayaan terhadap Bank BUMN dan PLN.

Sebaiknya Pak Jokowi lebih mewaspadai, dua kasus tersebut mirip pola serangan terhadap Najib. Operasi pengondisian awalnya hanya sebagai signal awal. Apabila tidak dibaca dan direspon positif, penulis memperkirakan akan terjadi serangan lebih keras dan fatal.

Dari sisi pertanyaan worst condition sisi intelijen , bagaimana bila listrik mati dalam beberapa hari kerja? Bagaimana bila bank-bank BUMN lainnya juga dikacaukan. Jelas potensi terjadinya chaos besar. Apakah ini target penyerang? Pelantikan presiden dan wapres baru akan dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2019, kasus-kasus worst condition diprediksi bisa mengganggu pelantikan .

Masih cukup waktu untuk memperbaiki dan mengamankan posisi atau apabila tidak percaya, bisa diabaikan saja. Dari pemikiran intelijen diatas, bahaya dinilai cukup besar. Kuncinya Pak Jokowi menjawab pertanyaan AS, "Mau ikut OBOR atau Higher Road?"

Pemerintah tidak bisa selalu beralasan memisahkan masalah ekonomi dengan politik. Para pembantunya jelas selalu memberian masukan bahwa kerjasama dengan China hanya masalah ekonomi. Apabila tetap diteruskan, yang perlu diperhaikan adakah gangguan berat menyangkut masyarakat luas? Terakhir, apabila terjadi depth trap, maka yang menanggung akibat adalah Presiden Jokowi. Demi keamanan, Pak Jokowi perlu memberikan signal yang jelas dan terukur.

Bagian terberat seorang pemimpin adalah memutuskan, karena keputusan akan menentukan akan terus berlanjut atau berhenti. Pelajaran yang sangat berharga dari Najib, pengambilan keputusannya salah, terlalu percaya diri, merasa kuat. Tetapi Najib mempunyai titik rawan  soal integritas, dia terlibat korupsi. Begitu titik rawannya di eksploitasi penyerang, Najib menjadi lumpuh, selesai sudah karir politiknya. Pak Jokowi sebaiknya lebih berhati-hati menyikapi masalah serupa. Selama ini kekuatannya adalah integritas.

Semoga bermanfaat, Salam. 

***

Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen