Perlawanan Jokowi Lewat Penolakan Amandemen UUD 1945

Kamis, 15 Agustus 2019 | 09:40 WIB
0
467
Perlawanan Jokowi Lewat Penolakan Amandemen UUD 1945
Foto: Kompas.com

Sepertinya pada Periode kedua Jokowi benar-benar tidak ada beban lagi, bahkan berhadapan secara frontal dengan PDI Perjuangan pun Jokowi tidak lagi takut. Hal ini terbukti, Jokowi terang-terangan menolak wacana amandemen UUD 1945 yang digulirkan PDI Perjuangan.

Sebagaimana diketahui, PDI Perjuangan mewacanakan amandemen sebagian dari UUD 1945, yang point-nya ingin menjadikan Presiden sebagai Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR, dan itu artinya Presiden akan dipilih dan diberhentikan oleh MPR.

Seperti yang dilansir Kompas.com, Presiden Joko Widodo menolak wacana pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Cara pemilihan presiden seperti ini terjadi di masa Orde Baru saat Soeharto dipilih sebagai presiden sebagai mandataris MPR.

"Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat, masak saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR," kata Jokowi saat bertemu pimpinan media massa di Istana Kepresidenan pada Rabu (14/8/2019).

Penolakan Jokowi ini adalah bentuk perlawanannya secara langsung dan frontal terhadap Partai pengusungnya, karena yang mewacanakan gagasan amandemen tersebut adalah PDI Perjuangan, itu artinya Jokowi tidak saja berhadapan dengan PDI Perjuangan, tapi juga secara langsung berhadapan dengan Megawati.

Bahkan PDI Perjuangan mewacanakan Barter Ketua MPR dengan Amandemen UUD 1945. Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan partainya akan mengajukan calon ketua sendiri jika partai lain tak menyepakati agenda amandemen.

"Istilahnya bukan mengambil alih. Kalau kemudian nanti calon-calon ketua MPR yang sudah menyatakan kesediaannya tidak setuju, ya berarti tidak sesuai dengan agenda PDIP. Maka dengan sangat terpaksa, PDIP bisa saja mengusulkan kadernya sebagai calon ketua MPR," kata Basarah kepada Tempo.co, Jumat, 9 Agustus 2019.

Jadi "Babaliut" kekisruhan pembagian kekuasaan, PDIP sebagai Partai Pemenang sepertinya ingin memdominasi berbagai jabatan penting. Sudah mendapatkan jabatan Ketua DPR, masih ingin Ikut memperebutkan Kursi Ketua MPR, karuan saja persoalan ini menimbulkan ketegangan diantara Partai Koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus menanggapi niat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengajukan calon ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) jika partai-partai lain tak sepakat dengan agenda amandemen Undang-undang Dasar 1945.

Lodewijk sekaligus mengingatkan bahwa PDIP sudah mendapatkan jatah kursi ketua Dewan Perwakilan Rakyat. "Kita lihat, itu kan sedang berproses. Yang jelas sebagai pemenang pemilu 2019 PDIP telah mendapatkan kursi ketua DPR RI sesuai UU MD3," kata Lodewijk di kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Ahad, 11 Agustus 2019.

Ketidaksetujuan Jokowi terhadap wacana munculnya kembali GBHN, dikarenakan saat ini Indonesia sudah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai pengganti GBHN.

Menurut Jokowi SPPN juga mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode setiap lima tahun.

Sepertinya PDI-P perlu mensosialisasikan terlebih dahulu seperti apa konsep dari implementasi Amandemen UUD 1945 secara terbatas tersebut, agar secara persepsi bisa bisa diterima semua pihak.

Mengembalikan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, hanya akan mendegradasikan kekuasaan Presiden terpilih saat ini, dan akan membuat Kursi MPR semakin panas, sehingga pantas untuk diperebutkan.

Memang munculnya wacana Amandemen tersebut dikarenakan Majelis Permusyawarata Rakyat atau MPR, tidak mempunya kedudukan yang jelas dalam sistem kenegaraan. Tapi seharusnya tidak juga mengembalikan kekuasaan MPR dengan mengabaikan Presiden terpilih, dengan rencana kerja jangka panjangnya.