Prabowo Subianto, Presiden Tanpa Mahkota?

Keinginan Prabowo untuk menjadi Presiden di negeri ini sudah jauh-jauh hari diimpikannya. Namun, apa daya jika Allah SWT belum berkehendak?

Rabu, 24 April 2019 | 11:47 WIB
0
487
Prabowo Subianto, Presiden Tanpa Mahkota?
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto bersiap menyampaikan konferensi pers terkait perolehan hitung cepat pemilihan presiden 2019 di Jalan Kertanegara, Jakarta, Rabu (17/4/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

Pesta Demokrasi Pemilu 2019 telah usai.  Meskipun masih ada di beberapa tempat, yang baru bisa dilakukan pencoblosan ataupun dilakukan pencoblosan ulang. Prinsipnya, Pilpres dan Pileg sudah berlangsung dengan baik. Namun, bukan berarti  semuanya berjalan tanpa masalah.

Seperti halnya di Pilpres 2014 lalu, di Pilpres 2019 ini juga menyisakan persoalan baru. Kejadian di Pilpres 2014 sepertinya kembali terulang. Hal ini, terkait klaim dari capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, yang menyatakan dirinyalah yang unggul dalam perolehan suara dari rivalnya presiden petahan Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo mengklaim kemenangannya 55,4 persen berdasar hasil hitung cepat internal. Ia pun memberikan pidatonya, setelah hampir seluruh hasil hitung cepat lembaga survei publik mengeluarkan angka bahwa ia kalah dalam Pemilu Presiden 2019.

Saat berpidato, Prabowo memang tidak ditemani Sandiaga Salahuddin Uno, calon wakil presiden pendampingnya. Pemandangan itu tak lazim, namun Prabowo tetap bersemangat mengingatkan para pendukungnya atas klaim yang ia sebut. Selesai berpidato, Prabowo pun tak lupa melakukan sujud syukur.

Itulah Prabowo Subianto, yang selalu merasa dirinya unggul dalam perolehan suara dari Jokowi sesuai perhitungan internal, bukan berdasarkan penghitungan lembaga survei independen ataupun hasil yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya, Prabowo sudah menyatakan dirinya sebagai Presiden Indonesia, khususnya untuk pendukungnya sendiri.

Jika merujuk dari hasil quick count lembaga independen, kita tidak bisa memungkiri bahwa pemenangnya adalah Jokowi-Ma'ruf.  Bahkan, dari hasil sementara real count yang dilakukan KPU, ternyata hasilnya juga hampir sama dengan lembaga independen, yakni mengunggulkan Jokowi-Ma'ruf.

Saya tak mau menggiring Anda untuk memihak siapa. Saya pun tak ingin mengaitkan apa yang dilakukan Prabowo itu dengan pendekatan psikologis. Namun, saya ingin memberikan sedikit analisa saya mengapa Prabowo selalu menganggap  dirinya sebagai pemenang.

Bagi Anda yang mengalami masa-masa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, tentu saja, Anda mengetahui bahwa Presiden ke-2 Republik Indonesia itu berkuasa sekitar 32 tahun, dari tahun 1967 hingga 1998. Terlama dalam kepemimpinan di Indonesia.

Jika kita cermati, di masa Soeharto berkuasa, negara-negara lain pun  punya masa berkuasa yang tidak jauh berbeda, berkuasa dalam waktu lama, meskipun bentuk pemerintahannya bukan kerajaan. 

Misalnya Ferdinand Marcos di Filipina, Moammar Khadafi di Libya, Hosni Mubarak di Mesir, Saddam Hussein di Irak, Lee Kuan Yew di Singapura, Robert Mugabe dari Zimbabwe, atau Hafez Al-Assad dari Suriah yang kemudian mewariskan kepada anaknya Bashar Al-Assad. Dan masih banyak lainnya. 

Bahkan, ada di antara negara-negara tersebut mewariskan kekuasaannya itu kepada anak-anaknya atau kerabatnya.

Saya menilai begitu juga halnya dengan Indonesia. Bayangkan, seandainya Soeharto tidak dilengserkan di tahun 1998, bisa jadi Presiden berikutnya adalah seseorang yang mendapatkan mandat dari Soeharto. Hal ini, saya yakini karena kekuatan politik saat itu digenggam kuat oleh Soeharto.

Begitu pula, seandainya Soeharto tak lagi menginginkan kursi RI 1, bisa jadi kursi itu akan diserahkan kepada orang-orang terdekatnya. Dan, bukan hal mustahil jika kursi itu diwariskan kepada Prabowo Subianto, menantunya sendiri. Apalagi ketika itu,  suami dari Siti Hediati Hariyadi ini berpangkat Letnan Jenderal meski usianya baru 47 tahunan.

Namun, apa yang terjadi, sejarah berjalan tidak sesuai yang diharapkan Keluarga Cendana. Soeharto dilengserkan para mahasiswa dengan aksi reformasinya, dimana Amien Rais juga ikut berada di dalamnya. Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, kemudian Pemerintahan dilanjutkan oleh BJ Habibie. 

Sejarah kelam itu pun terjadi pada diri Prabowo dan Siti Hediati. Keduanya berpisah, dan Prabowo pun diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Militer atas kasus yang melibatkannya. Seperti diketahui selanjutnya, Prabowo meninggalkan Indonesia dan menetap di Yordania.

Di tahun 2004, ketika Indonesia akan dilangsungkan pilpres, Prabowo yang menjadi kader Golkar ikut dalam konvensi Partai yang akan dijadikan capres dari Partai Golkar untuk Pilpres 2004. Ketika itu, pemenang konvensi adalah Wiranto yang kemudian bersanding dengan KH Solahuddin Wahid di Pilpres 2004.

Di Pilpres 2009, Prabowo ketika itu sudah memiliki kendaraan politik sendiri, yaitu Partai Gerindra. Melalui Gerindra, Prabowo menjadi cawapres dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengikuti kontestasi Pilpres 2009. Namun, Pilpres 2009 ini kembali dimenangkan Presiden Petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bersanding dengan Prof Boediono.

Lanjut 5 tahun kemudian, Prabowo tidak lelah mulai  mengajak Ketum PAN Hatta Rajasa untuk mengikuti Pilpres 2014. Kali ini, Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon, yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Di Pilpres 2014 ini, Prabowo Hatta kalah dari Jokowi-JK.

Ketika itu, Prabowo merasa dirinya menang, bahkan sengketa pilpres itu dilanjutkan hingga ke sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi, Mahfud MD yang ketika itu adalah Ketua Timses Prabowo-Hatta, benar-benar merasakan bahwa apa yang dilakukan Prabowo adalah sebuah kesia-siaan. Hubungan keduanya pun mulai retak, hingga pada akhirnya Mahfud MD mengundurkan diri dari Timses Prabowo-Hatta. Dan, MK pun memutuskan bahwa pemenang Pilpres 2014 adalah Jokowi-Jusuf Kalla.

Apa yang terjadi di Pilpres 2014, kembali terulang di Pilpres 2019. Prabowo pun sudah menciptakan narasinya bahwa hasil quick countyang dirilis beberapa lembaga survei adalah sebuah kebohongan, dan Prabowo menyatakan dirinya  sebagai pemenang melalui hasil quick count yang dilakukan secara internal. 

Dengan kata lain, lembaga-lembaga survei yang saat ini dinilai Prabowo sebagai pembohong adalah lembaga-lembaga survei yang hasil quick count-nya pernah diakui Prabowo sendiri ketika hasilnya memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Apapun hasilnya nanti setelah KPU resmi mengumumkannya, Pilpres 2019 ini harus diakui dan dijunjung tinggi meskipun itu tidak sesuai harapan dan impian Prabowo Subianto. 

Dan, bagaimanapun dengan jumlah dukungan sekitar 45%, Prabowo Subianto tetaplah Presiden bagi rakyat yang mendukungnya, Presiden tanpa mahkota, tanpa kekuasaan. 

Sebagai seorang negarawan, Prabowo mestinya memahami, apa yang dilakukan KPU sudah teramat sempurna. Selain sebagai lembaga independen, orang-orang yang berada di dalamnya juga dipilih secara independen dengan integritas tinggi dan tak perlu lagi diragukan. 

Memang benar, keinginan Prabowo untuk menjadi Presiden di negeri ini sudah jauh-jauh hari diimpikannya. Namun, apa daya jika Allah SWT belum berkehendak?

Salam dan terima kasih!

***

Tulisan ini juga pernah dimuat di Kompasiana.com