Menakar Motivasi Hypercritical Rocky Gerung

Kamis, 14 Februari 2019 | 06:19 WIB
0
898
Menakar Motivasi Hypercritical Rocky Gerung
Rocky Gerung (Foto: Kumparan)

Salah satu ciri khas ilmu filsafat adalah berpikir kritis. Kritis berarti tajam berdistinksi atau jeli melihat dan mengungkapkan perbedaan ide, fenomen,konteks dan lain sebagainya. Perbedaan yang dimaksud adalah soal logis atau tidak; benar atau tidak.  Tentu kritis erat kaitannya dengan logis, rational dan sistematis.

Suatu pernyataan dikatakan kritis apabila memenuhi persyaratan logis, rational dan sistematis. Logis berarti masuk akal, dalam arti akal budi menangkap atau mengungkapkan sesuatu apa adanya selurus fakta. Rational berarti sesuatu yang diungkapkan, mampu dipertanggungjawabkan.

Apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang terjadi atau apa yang diungkapkan, benar-benar mengungkapkan suatu kenyataan yang terjadi. Sistematis berarti sesuatu diungkapkan, diungkapkan secara berurutan entah dari aspek kerangka materialnya maupun dari aspek kerangka ideologisnya.

Kritis, logis, rational dan sistematis merupakan senjata akal budi untuk membidik suatu persoalan agar tepat sasar dan tepat guna. Pertanyaan ialah sudahkah kita bersikap kritis dalam menanggapi setiap ide, fenomen, konteks dan berbagai persoalan?

Pertanyaan di atas mengantar kita menuju aspek sosial dari setiap ilmu tegasnya aspek fungsional ilmu. Khususnya Ilmu Filsafat, aspek fungsional ini menjadi sangat fenomenal akhir-akhir ini, ketika sosok Rocky Gerung mencuat di layar publik, khususnya di acara Talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC).

Rocky Gerung dikenal sebagai sosok yang pedas dan tajam dalam melontarkan catatan-catatan kritisnya. Hingga kini, percikan kritisnya terhadap berbagai situasi politik, hukum menjadi suatu kontribusi tersendiri bagi perkembangan ilmu pengetahuan bangsa tercinta ini. Secara rational, saya mengagumi sosok Rocky Gerung yang sangat tajam membedah persoalan dengan senjata-senjata filosofis.

Namun, di tengah berbagai aksi kritis yang dilontarkan oleh sosok yang fenomenal ini, saya melihat ada suatu kecenderungan, yang kalau tidak dikendalikan, bisa menjadi boomerang terhadap Si RG itu sendiri. Kecenderungan itu ialah hypercriticalnya RG.

Bersama sosok Fadli Zon, Rocky Gerung selalu menempati frekuensi yang lumayan, dalam melontarkan berbagai kritik terhadap petahana Jokowi. Saking biasanya, sampai-sampai publik merasa biasa, kalau kedua sosok ini terus melontarkan kritiknya dan luar biasa kalau mereka tidak melontarkan aksi kritiknya.

Bahkan beberapa aksi kritik, di antaranya menembus pula sampai apa yang seharusnya sangat privasial sebagai seorang Jokowi (baca ; bukan sebagai Presiden). Pertanyaannya ialah apakah dengan tipe hypercritical seperti itu, ada jaminan bahwa mereka murni kritis?  

Mari kita melihat dan menafsir sinonim dari hypercritical. Ada arti yang sepadan yakni yang pertama; mencari-cari kesalahan lalu dibungkus dengan rationalisasi defensif agar diterima publik.  Yang kedua; merasa puas dan senang kalau terus melakukan kritik atau kritik demi kritik itu sendiri, bukan demi perubahan. Yang ketiga; berupaya membeberkan sejumlah fakta lalu dibungkus dengan unsur-unsur afeksional untuk mengalihkan perhatian publik demi melemahkan kredibilitas pihak tertentu.

Kalau memang ketiga kesepadanan di atas yang terjadi, maka menurut hemat saya, kedua sosok yakni Rocky Gerung dan Fadli Zon sesungguhnya bukanlah tokoh-tokoh kritis. Seorang peng-kritis yang tepat, ia digerakkan oleh motivasi yang murni serentak menempuh jalur kritik yang benar demi pembenahan oleh pihak yang dikritiknya.

Seorang peng-kritis dan peng-kritik yang taat norma, ia tidak menjadikan basis ilmunya entah filsafat maupun politik, sebagai media untuk melancarkan berbagai keinginan atau kepentingannya. Jika fenomen seperti itu yang terjadi, maka kenyataan itu tidak lain dan tidak bukan, adalah sebuah cara pemiskinan ilmu di hadapan publik.

***