Bukanlah pekerjaan mudah bagaimana merekrut orang-orang yang bisa dipercaya dalam mendukung kemenangan pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Partai koalisi pendukung, seperti PKS, PAN, Demokrat, dan Berkarya tentunya menyetorkan kadernya untuk duduki posisi tertentu di dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Selain diisi kader partai pendukung, BPN juga diisi orang-orang tertentu yang bukan kader partai.
Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani, bahwa koalisinya tidak akan pernah berupaya mengajak pihak-pihak yang selama ini mendukung Joko Widodo untuk masuk ke tim pemenangannya. Alasannya, karena koalisinya hanya diisi oleh orang-orang yang betul-betul rela karena tim pemenangan ini tidak digaji dan dijanjikan apa pun.
Pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada juga tokoh-tokoh yang coba didekati dengan berbagai macam cara, termasuk ditawari untuk mengikuti ajang Pilgub Jawa Timur, seperti yang dilakukan untuk Yeny Wahid. Hal yang sama juga dilakukan kepada Anies Baswedan di Jakarta.
Bagi orang-orang tertentu, jabatan adalah sebuah prestise yang sayang untuk dilepaskan, meskipun untuk itu dia harus tak lagi sepaham secara politik dengan kawannya selama ini.
Ketika Yenny Wahid menyatakan menolak bergabung dengan Prabowo-Sandi dan lebih memilih Jokowi-Ma’ruf, lantas membuat Sandi pun mendekati salah satu cucu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari, yaitu Irfan Yusuf Hasyim atau Gus Irfan, bahkan menunjuknya sebagai juru bicara (jubir) baru. Itulah gaya politik pemecah belah NU yang dipahami dan dipakai dalam perekrutan tim sukses.
Begitu pula dengan nama-nama yang sudah beken, seperti Sudirman Said, Rizal Ramli, Ferry Mursyidan Baldan, atau Anies Baswedan. Nama keempatnya memang tak asing lagi di telinga kita. Mereka adalah mantan menteri Jokowi yang terdepak melalui prosedur resuffle kabinet.Secara kasatmata, masyarakat bisa melihat dan menilai sikap para mantan itu kepada Jokowi melalui komentar-komentarnya. Meski begitu, ada juga mantan menteri Jokowi yang tetap menaruh hormat kepada mantan atasannya itu. Jadi tidak semua mantan menteri kecewa karena diberhentikan.
Namun, ada juga tokoh yang sebelumnya menjadi pendukung Prabowo, mengalihkan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Ambil contoh dukungan mantan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) dan mantan wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mizwar. Keduanya mantan pejabat daerah yang mengalihkan dukungannya kepada Jokowi karena pertimbangan realitas yang terjadi selama 4 tahun terakhir ini.
Begitu juga mantan penasehat Persaudaraan Alumni (PA) 212 Usamah Hisyam dan Kapitra Ampera yang sebelumya berharap Ijtima Ulama benar-benar menghasilan sosok pemimpin Islam yang taat, ternyata hasilnya mengecewakan.
Bagi mereka, Prabowo bukanlah muslim yang taat ibadah, sehingga tak ada pilihan lain, kecuali mendukung Jokowi yang kebetulan bersanding dengan ulama besar KH Ma’ruf Amin.
Memilih orang yang bisa dipercaya dan mampu bekerja dengan baik, bukanlah pekerjaan mudah. Begitu pula yang dilakukan Presiden Jokowi ketika memilih dan memilah para pembantunya untuk duduk di kursi kabinet.
Ketika ada kebutuhan yang amat medesak, sehingga harus merotasi atau bahkan mengganti beberapa orang menteri.
Namun, jika ada menteri yang diberhentikan itu tidak merasa puas dan mengalihkan pilihan politiknya ke lawanya, itu adalah pilihan yang juga harus dihormati Jokowi.
Akhirnya, bisa disimpulkan, mereka yang merapat karena jabatan, maka loyalitasnya akan hilang seiring hilangnya jabatan.
Namun, bila loyalitasnya itu disandarkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara, melalui keberlanjutan pembangaun, sampai kapan pun tak akan bergeser.
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews