Revolusi Mental Jokowi versus Revolusi Moral Amien Rais

Selasa, 15 Januari 2019 | 19:26 WIB
0
474
Revolusi Mental Jokowi versus Revolusi Moral Amien Rais
Amien Rais dan Joko Widodo

Kedua revolusi ini sejatinya bisa seiring sejalan, jika saja lepas kepentingan dan politik. Usai mentalnya diperbaiki dan dikembangkan, kemudian ada revolusi moralnya, sehingga mental dan moralnya baik semua. Kualitas tanpa tanding bukan? Dan jaminan kemajuan dalam banyak bidang yang menggembirakan sebagai bangsa dan negara.

Mental itu berkaitan dengan batin dan watak, dan memang perbaikan itu mendesak, di mana sering  kemajuan bangsa ini terhambat karena sikap mental yang buruk. Sikap-sikap batin yang dulunya jadi kekuatan bangsa ini malah sudah luntur dan berubah. Lebih banyak orang yang suka menebarkan kecemasan, ketakutan, dan fitnah.

Dulu, era sebelum reformasi masalah pokok bangsa ini  berkisar pada KKN, dan itu juga belum banyak perubahan yang semestinya. Perbaikan memang sudah diupayakan, namun masih banyak penghambat, di mana para pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya menjadi pemimpin perbaikan dan perubahan itu.

Mereka yang seharusnya jadi pelopor perubahan, malah menghambat karena mereka terganggu kebiasaan dan kepentingannya. Jika berbicara salah satu masalah ada lambannya birokrasi, dan itu juga paling susah dibenahi. Perlawanan dari kelompok mapan dan nyaman.

Moral bisa dipahami sebagai pertimbangan mana yang baik, buruk, dan tidak bernilai secara moral. Contoh, jika  makan apel tanpa dikupas ataupun dikupas itu tidak ada nilai moralnya, baik atau tidak baik, benar atau salah. Tidak masalah mau dimakan begitu saja atau dikupas. Tidak ada yang lebih baik atau kurang baik.

Penilaian dan sikap moral yang baik jika itu tidak dilakukan adalah salah dan buruk, belum tentu berkaitan dengan melanggar hukum lho. Lebih dalam ini  ranah etis, pantas atau tidak. Sederhana saja, bagaimana di angkutan umum, ada nenek-nenek tidak mendapatkan tempat duduk, padahal ada anak muda, gagah, dan cukup mampu berdiri, malah pura-pura tidur.

Ini tidak melanggar hukum, namun tidak patut dan tidak pantas. Penilaian moral ada di sini. Jelas penilaian moral baik dan buruk dari contoh tersebut.

Patut dilihat, apa yang disampaikan “penggagas” revolusi moral ini. Apakah perilakunya sudah mencerminkan pilihan moral yang baik dan bernilai moral terpuji, atau malah sebaliknya? Mengapa menjadi penting?

Karena ranah moral dan etis itu bisa saja lepas dari jerat hukum, karena memang lebih memberikan ranah susila dan normal, yang cenderung bebas dari jerat hukum positif. Namun jangan lupa, ranah etis kadang lebih berat karena sanksi sosial yang terjadi. Ada pula ranah etis itu dengan pemberian tuntutan hukum. Seperti pejabat negara yang melanggar kode etik itu masuk ranah moral, etis, sekaligus juga pidana.

Bagaimana jika orang yang bisa seenaknya berbicara ngawur, menuding tanpa bukti, menuduh pemerintah seenaknya sendiri, ketika ditelisik ebih jauh ternyata kebohongan, bahkan unsur fitah pun masuk. Eh tanpa malu hanya cengengesan, ngeles ke mana-mana, tidak merasa bersalah, merasa tidak melanggar hukum lagi. Ingat inilah ranah revolusi moral.

Beberapa sikap moral yang baik;

Bertanggung jawab. Sikap di  mana melakukan tindakan, pilihan, itu akan  ada konsekuensinya. Bagaimana bisa jika, melakukan tuduhan yang ternyata tidak benar, kemudian malah menuding pihak lain sebagai pelaku kesalahan lain. Ingat kisah ketika ramai hoax Ratna Sarumpaet. Tudingan pemerintah melakukan kekerasan, ketika dipanggil polisi mengancam akan membeberkan pelaku mega korupsi, dan ternyata tidak ada juga.

Konsisten terhadap pilihan dan pernyataan. Moral yang baik, akan konsisten terhadap sikap, pernyataan, dan pilihannya. Lihat dan kembali buka-buka file, simpanan terhadap pernyataannya. Bagaimana bisa seorang penggagas revolusi moral namun menjadi moralnya sendiri saja kacau. Dua saja contoh konkret, janji jalan Jakarta-Jokja yang fenomenal itu dan soal Prabowo. Tidak perlu dikupas, toh semua paham.

Satunya kata dan perbuatan, ini jelas mendasar, seperti gagasan Bung Karno, bagaimana pemimpin yang baik itu satu di dalam perkataan dan perbuatan. Bagaimana ia memperlihatkan KKN era reformasi namun diam saja. Malah mencaci maki pejabat yang tidak melibatkan anak-anak di dalam proyek negara dan juga menjadi anggota dewan ataupun jabatan lainnya. Gampang orang  bicara soal reformasi, revolusi, atau anarkhi sekalipun, namun apa bisa melakukan? Itu kualitas.

Penganut ajaran moral yang baik, akan memiilih cara yang baik dan benar. Bagaimana bisa orang menglaim bermoral baik, mengaku pencetus revolusi moral, namun ia memilih jalan fitnah, bohong, penyembunyian fakta dan data, mengubah persepsi demi keuntungan sendiri seperti itu. Contoh tidak perlu lagi dibeberkan dan dinyatakan, bisa dicari sendiri bagaiaman reputasinya di dalam membenarkan segala cara demi kepentingannya.

Pengusung moral baik, tentu tidak akan main standart ganda, munafik, bukan semata satu  kata perbuatan dan kata, namun juga jika salah ya salah, benar ya benar. Bagaimana bisa salah itu untuk Jokowi apapun pasti salah. Ketika rekan separtai maling ramai-ramai diam seribu bahasa. Apa iya moralis main standart ganda begitu? Belum pernah terdengar kecamannya atas perilaku korup kader dan elit partainya.

Apalagi ditambah dengan hijrah, ungkapan sakral keagamaan namun minim kebenaran demikian. Ini hanya memainkan psikologi massa dan malah melecehkan agama sebagai komoditas politik. Makin jelas kualitas si pencetus ini, hanya kebencian dan menampakan sikap irinya yang tidak lagi mempan dipendam.

Apa iya model penasihat demikan didengar dan dijadikan referensi pilihan? Jelas tidak, bagaimana menasihati orang, dirinya sendiri amburadul begitu. Revolusi moral untuknya bukan untukku dan untuk kita.

Salam.

***