Oleh: Dimas Aryaputra
Langkah pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 dan menggantinya dengan sembilan regulasi baru berdasarkan klaster sektor industri merupakan strategi progresif yang layak diapresiasi. Kebijakan ini bukan sekadar penyederhanaan administratif, melainkan merupakan terobosan dalam menciptakan ekosistem usaha yang lebih responsif terhadap kebutuhan industri nasional. Dalam konteks mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, deregulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah mengambil posisi proaktif untuk memperkuat fondasi industri dalam negeri.
Salah satu dampak langsung dari deregulasi tersebut adalah percepatan proses produksi. Dengan izin impor bahan baku dan barang modal yang lebih sederhana, pelaku usaha kini dapat memangkas waktu tunggu yang sebelumnya menjadi hambatan utama dalam rantai pasok. Efisiensi ini membuka ruang lebih luas bagi industri untuk meningkatkan kapasitas produksi sekaligus merespons permintaan pasar dengan lebih cepat. Keuntungan semacam ini sangat dibutuhkan terutama oleh sektor industri padat karya yang selama ini terganjal oleh birokrasi perizinan yang kompleks.
Anggota Komisi VI DPR, Sartono Hutomo, menyampaikan pandangan bahwa deregulasi ini akan berperan besar dalam menggairahkan investasi. Menurutnya, iklim investasi yang sehat hanya bisa tercipta bila proses perizinan disederhanakan tanpa mengurangi unsur pengawasan. Pendekatan klasterisasi dalam regulasi baru juga dinilai memungkinkan pemerintah untuk lebih responsif dalam menyesuaikan kebijakan dengan kondisi masing-masing sektor. Dalam hal ini, sektor tekstil, elektronik, dan bahan kimia diperkirakan akan langsung merasakan dampaknya melalui peningkatan efisiensi produksi dan daya saing harga.
Namun, dukungan terhadap deregulasi tidak berarti membuka keran impor secara bebas. Pemerintah tetap menegaskan pentingnya pengawasan dan kontrol teknis. Prinsip kehati-hatian menjadi kunci agar kebijakan ini tidak justru menjadi bumerang bagi industri domestik. Dalam hal ini, pemerintah didorong untuk mempertahankan mekanisme persetujuan impor (PI), terutama pada sektor strategis seperti tekstil, guna memastikan bahwa tenaga kerja dan industri dalam negeri tidak terganggu oleh masuknya barang-barang dari luar secara berlebihan.
Lebih jauh, penguatan sistem kepabeanan juga menjadi syarat mutlak. Praktik-praktik curang seperti under-invoicing atau dumping harus dicegah melalui klasifikasi yang ketat dan transparan di pelabuhan. Hal ini tidak hanya penting bagi perlindungan produk lokal, tetapi juga untuk menjaga keadilan dalam kompetisi industri. Langkah ini menjadi vital mengingat Indonesia tengah berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh angka 8 persen.
Kebijakan deregulasi ini juga mendapat dukungan dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Organisasi ini menilai bahwa penyederhanaan perizinan impor bisa memperkuat daya saing industri furnitur, khususnya dalam hal ketersediaan bahan baku yang belum dapat dipenuhi secara mandiri dari dalam negeri. Namun HIMKI mengingatkan pentingnya pembatasan terhadap impor produk furnitur jadi. Jika tidak diatur secara tegas, kekhawatiran akan membanjirnya barang-barang dari luar negeri yang lebih murah bisa menjadi ancaman nyata bagi pelaku industri hilir di dalam negeri.
Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menekankan bahwa kebijakan ini harus tetap memberi perlindungan proporsional. Ia menyoroti kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kelonggaran impor bahan baku dan ketatnya pengawasan terhadap produk jadi. Industri furnitur Indonesia yang selama ini menyumbang ekspor nonmigas dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, membutuhkan dukungan kebijakan yang adil agar dapat terus tumbuh tanpa terganggu oleh tekanan eksternal.
Senada dengan hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR, Kaisar Abu Hanifah, menekankan pentingnya pemetaan kebutuhan industri secara cermat. Ia menilai bahwa deregulasi hanya akan efektif jika kebijakan yang diambil berdasarkan data dan masukan yang riil dari pelaku industri. Keterlibatan akademisi, asosiasi industri, dan pelaku usaha dalam perumusan serta pelaksanaan kebijakan menjadi syarat agar hasilnya tepat sasaran dan berkelanjutan. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, kebijakan pemerintah tidak hanya menjadi lebih inklusif, tapi juga berpotensi besar untuk menyelesaikan permasalahan struktural dalam rantai pasok nasional.
Upaya pemerintah untuk menerbitkan sembilan Permendag baru yang telah dikelompokkan dalam klaster industri merupakan langkah teknokratis yang mengedepankan fleksibilitas dan adaptasi. Klasifikasi ini memberikan keleluasaan untuk menyempurnakan regulasi seiring berkembangnya dinamika industri. Selain itu, diterbitkannya dua Permendag tambahan yang mengatur kemudahan berusaha juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak sekadar melakukan deregulasi, tetapi juga menciptakan landasan hukum baru yang lebih relevan.
Dalam perspektif yang lebih luas, kebijakan deregulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah mengambil posisi strategis dalam menghadapi tantangan global. Ketika negara-negara lain meningkatkan proteksionisme, Indonesia justru memilih jalur efisiensi dan daya saing. Langkah ini perlu didukung dengan penguatan sumber daya manusia, reformasi struktural di sektor industri, serta insentif yang berpihak pada pelaku usaha lokal.
Dengan pengawasan yang tepat dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, deregulasi ini berpotensi menjadi katalis penting dalam mendorong pertumbuhan industri nasional. Selain memberikan ruang lebih luas bagi pelaku usaha untuk berkembang, kebijakan ini juga sejalan dengan agenda besar pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas nasional, serta menjadikan Indonesia sebagai pusat manufaktur yang berdaya saing tinggi di tingkat regional maupun global.
*) Peneliti Kebijakan Industri dan Ekonomi Nasional
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews