Cerita tentang Kantor Dosen

Muak, semuak-muaknya. Nomor induk dosennya ada di ujung dunia sana. Tidak ada kontribusi buat akreditasi. Padahal, fasilitas paling lengkap justru dikuasainya.

Kamis, 9 September 2021 | 17:02 WIB
0
219
Cerita tentang Kantor Dosen
Ilustrasi Belajar (Koleksi Geotimes)

Apa Ceritamu Hari Ini?

Di ujung negeri Bunga, tak ada yang istimewa.

Ada seorang dosen harus membawa seperangkat jas, alat mandi, dan juga pakaian ganti. Diangkut dengan motor, istimewa kan?.

Dulu, tiga barang tersebut diangkut dalam tiga hari. Bahkan disimpan di “kantor”.

Sejak penampungan air tumbang karena hujan deras, mandi bukan lagi di rumah. Selalu nomaden mencari tempat mandi yang sesuai kondisi harian.

Kali ini, sang dosen punya cerita terkait “kantor”. Bukan tentang mandi.

Dulu, ini dulu ya. Dosen itu tidak duduk di ruangan. Bahkan sesekali duduk di kursi para pejabat jurusan, ataupun fakultas.

Dosen bahkan tidak punya ruangan khusus, dimana menyimpan alat tulis, ataupun benda miliknya.

Hingga sampailah masanya. Pimpinan perguruan tinggi punya kesempatan bertandang ke perguruan tinggi di luar negara.

Mereka melihat bahwa dosen itu perlu punya ruangan sendiri. Tempat untuk menerima mahasiswa, sekaligus “gua” untuk beruzlah.

Belum lagi, di boring BAN-PT ada pertanyaan tentang ruangan dosen. Pimpinan perguruan tinggi kemudian menyediakan ruangan itu untuk dosen.

Jauhh di negara Wakanda, juga sama. Dana disiapkan oleh kementerian untuk membangun gedung dosen. Bukan ruangan kantor saja. Dosen punya tempat beraktivitas.

Kini, justru anugerah didapatkan dosen 3 tahun terakhir. Ada ruangan yang dikhususkan untuk dosen dimana hanya saya seorang yang menempati.

Di masa itu, dosen tanpa tugas tambahan hanya seorang saja. Lainnya, ada jabatan ditambah dengan kendaraan dinas. Sehingga sang dosen yang sendiri menjadi “sultan” di seentaro ruangan.

Bonus lainnya, dimana ada ruangan yang memungkinkan untuk seminar dan juga kuliah bersama.

Kemewahan itu, berakhir. Mejanya entah kemana. Atas nama rapat pimpinan, meja dosen digusur. Tapi, tetap menyenangkan kalau mengingat pasal 1, dan satu-satunya pasal. “pimpinan selalu benar”.

Basa-basinya yang busuk “diputuskan rapat pimpinan”. Iya, benar. Pimpinan itu kan minimal masgister ya… pasti pernah menulis tesis. Kalau dijadikan ruangan kantor, lalu “penghuni” sebelumnya disimpan dimana dong.

Sang dosen dengan santai menyambutnya dengan kalimat “di luar gedung juga bisa, mumpung masih pandemi kan? Memperkecil penyebaran virus”.

Sementara kalimat ini disampaikan dengan santainya. Di ruangan pejabat dengan sofa yang pastinya empuk. Pakai pendingin ruangan juga. Lalu, ada staf yang akan membersihkan ruangan sepanjang hari.

Itu mungkin yang membuat warga negeri Bunga ini suka jadi pejabat. Fasilitas, ditambah dengan kekuasaan keuangan jikalau itu KPA. Bukan ini, komisi pemungut ampau. Tapi Kuasa Pengguna Anggaran.

Muak, semuak-muaknya. Nomor induk dosennya ada di ujung dunia sana. Tidak ada kontribusi buat akreditasi. Padahal, fasilitas paling lengkap justru dikuasainya.

Sopirnya, tidak ada yang bertahan. Siapa yang bisa bertahan? Di luar jam kerja sopir kantor digunakan untuk ceramah. Iya sih, bagus untuk “pencitraan”. Tapi namanya manusia, butuh istirahat.

Lagipula, ceramah itu “cash and carry”. Ada amplopnya, jikalau saja sang pimpinan mau berbagi dengan sopir untuk sedikit uang amplop itu, pastinya akan ada yang mau jadi sopirnya.

Agh, sudahlah. Pasal 1 yang satu-satunya pasal. Titik.

***