Meninggikan Gelar, Merendahkan Nalar

Joko Widodo tak hanya sekali menolak gelar Doktor Honoris Causa. Ia telah menolak sebanyak 24 kali, dari perguruan tinggi terkemuka baik dari dalam maupun luar negeri.

Selasa, 12 Oktober 2021 | 14:21 WIB
0
151
Meninggikan Gelar, Merendahkan Nalar
Aziz Syamsudin (Foto: liputan6.com)

Ditangkapnya Aziz Syamsuddin (AS), sama sekali tidak bikin heboh. Kalau pun ada sedikit kehebohan, hanya pada kok akhirnya bisa ditangkap juga. Karena, ia telah dikenal lama sebagai "kolektor kasus". Namanya ada di banyak kasus, nyaris di seluruh penjuru tanah air.

Tapi kasusnya, agar tampak relevan dipilihkan darimana ia berasal sebagai anggota Legislatif. Mungkin ini sejenis sopan santun dari Firli Bahuri, Ketua KPK yang menangkapnya, sebagai sejenis balas budi. Karena Aziz Syamsuddin dalam banyak wawancara mengaku memilihnya sebagai Ketua KPK.

Pun demikian ditangkapnya Aziz ini, juga merupakan sebuah cerita anomali yang unik. Secara undercover, ia tergabung dalam Komisi Hukum di DPR apa yang disebut "Tim Mawar". Mungkin plesetan dari gerakan terselubung serupa pada masa awal reformasi yang menculik para aktivis itu. Yang gilanya, aktor utamanya sekarang menjadi Menhankam itu.

Kali ini, yang diculik Tim Mawar adalah upaya merevisi Undang-Undang KPK. Tampak gagah, tapi belakangan hanya sekedar untuk menendang keluar Kelompok Taliban yang ada di dalam lembaga anti-rasuah ini. Makanya, banyak yang bilang bahwa penangkapan Aziz ini sekedar kado perpisahan dari geng-nya Novel Baswedan itu.

Sebagaimana kita tahu, per 30 September yang biasanya diperingati sebagai gerakan anti-komunis itu. Kali ini, berbalik justru mengusir kelemahan para-radikalis yang ngendon di sana. Kita tunggu, apakah akan muncul rumor murahan: KPK telah disusupi antek komunis....

Tapi saya, tak ingin terlalu dalam masuk urusan sandiwara KPK itu. Juga tak terlalu berharap, bahwa KPK akan menjadi lebih baik saat geng itu sudah ditendang keluar. Bagi saya, apakah pegawai KPK akan jadi ASN atau tidak. Yang akan terjadi kelak kerja KPK akan semakin tebang pilih.

Logikanya sederhana saja, bukankah setelah jadi ASN mereka akan memiliki spirit d'escorp yang sama dengan ASN yang lain. Dengan apa yang dulu disebut para "abdi negara", tapi sekarang turun nilainya sebagai sekedar "penyelanggara negara".

Istilah sih boleh saja turun, tapi justru gaji, tunjangan dan fasilitas terus naik. Makanya tak usah heran, ketika rakyat tambah miskin, pada masa pandemi ini. Mereka justru tambah kaya. Gak usah iri, itu bukan karena pelemahan KPK. Ia hanya terkena kutuk nama lembaga yang bernama "komisi". Mana ada pemangku (baca: penerima) komisi yang kuat mentalnya. Yang dalam bahasa hari ini kuat imannya...

Saya lebih tertarik meyimak, bahwa tertangkapnya Azis Syamsuddin harusnya dimaknai sebagai makin rendahnya nilai gelar akademik di Indonesia. Boleh saja, Perguruan Tinggi (negeri, swasta, beragama atau sekuler). Mereka berlomba-lomba menaikkan standar kualitas tenaga pengajarnya dengan gelar-gelar tinggi. Atau membuka strata Doktoral dengan berbagai ke-ilmu-an. Tapi kenyataan riil bahwa ketika para alumni-nya (jangan salah alumunus itu bermakana tunggal, kalau alumni itu jamak) justru meninggalkan jelaga besar pada almamaternya.

Dan Azis Syamsuddin adalah salah satunya itu!

Di luar ia kolektor kasus sebagaimana saya bilang, ia adalah seorang kolektor gelar. Dr. H.M. Azis Syamsuddin, SH.,SE.,MAF.,MH. Strata 1-nya dua kali, Strata 2 dua kali, Doktoralnya entah berapa kali. Terkait penyertaan tulisan DR. berapa kali pun ia menerima gelar itu, ya cuma sekali dituliskan. Tak mementingkan di bidang ilmu apa ia memperolehnya. Hal ini beda dalam konteks S1 maupun S2 yang memang memungkinkan sebutan yang berbeda.

Sejak kapan trend pejabat mengejar gelar akademik ini mulai menggejala di lingkungan pejabat publik. Sependek yang saya tahu, sejak SBY tiba-tiba saja bergelar Doktor. Tanpa kita pernah tahu ia pernah kuliah S1 dan S2 secara reguler. Tiba-tiba saja sudah ujian doktoral di mantan tempat saya kuliah dulu.

Sialnya lagi, bahkan di tempat yang sangat saya kenal karena di jurusan yang sama, dengan para pembimbing dan penguji yang sangat saya kenal secara pribadi. Saya bertanya, kapan kuliahnya, kapan bimbingannya. Kapan cari buku referensi di perpustakaan. Kapan riset lapangannya, kapan ngolah datanya. Ujug-ujug lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Sependek ingatan dan selelah pengalaman saya, kuliah di IPB itu untuk lulus harus berdarah-darah. Lah ini kok sedemikian lempang, mudah, bahkan nyaris tanpa berkeringat dan berkerut kening. Maka sejak itulah, ambyar semua kebanggaan saya terhadap almamater pertama saya ini. Makin ambyar, ketika anak mantan presiden itu, dengan modus yang sama menerima gelar yang sama.

Pertanyaannya untuk apa? Segepok gelar panjang itu..

Cari jabatan? Bukannya sudah. Cari kehormatan? Memang kehormatan bisa diperoleh dengan cara itu. Mungkin ia akan mendatangkan pujian, tapi bukankan pujian itu nilanya sesaat. Mungkin ia akan mengundang tepuk tangan? Namun itu akan berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Ingin mendadak kaya? Apa artinya jika berakhir di penjara, atau derita panjang sakit atau anak-anak yang tiba-tiba bermasalah.

Gelar akademis itu tidak bisa membeli integritas, kredibilitas, apalagi otentisitas. Tak pernah bisa, hanya seolah bisa.

Dalam ketiga konteks itulah, saya harus memberi respek yang tinggi. Ketika Jokowi sudah merasa cukup dengan gelar insinyur-nya saja. Gelar yang sesungguhnya juga sudah lama ditinggalkannya, ketika ia mulai bisnis mebel dengan memulai dengan menjadi tukang kayu. Di sisi lain, ia tak hanya sekali menolak gelar Doktor Honoris Causa. Ia telah menolak sebanyak 24 kali, dari perguruan tinggi terkemuka baik dari dalam maupun luar negeri.

Di sinilah salah satu nilai otensitas terpenting dari Jokowi. Ia mengedepankan kerja dari sekedar omong kosong. Ia mengedepankan bukti daripada pepesan janji. Bahwa ia tak bisa menepati janjinya seketika atau seluruhnya, tapi lihatlah cara ia mengupayakan. Ia tak bekerja sendiri, dan tak semua mesin birokrasinya bisa berjalan seirama dengan dirinya. Pun ketika, mesin birokrasinya bisa berjalan, ia harus berhadapan dengan benturan rivalitas ekonomi-politik yang otomatis akan saling membelenggu.

Dalam konteks seperti itu, gelar akademik itu adalah non-sen. ia tak berarti dan tak memiliki banyak manfaat. Ia hanya bisa cair melalui lobi-lobi, tawar-menawar, dan bahkan bagian terburuknya berbagi peran. Dalam apa yang dipahami secara sederhana sebagai saling mengikat, menjebak, dan menyandera dalam silang sekarut "pertukaran". Dari sinilah kemudian muncul preseden KKN yang hari-hari ini populer sebagai oligarki.

Mungkin dari rasa frustasi sendiri itulah, sehingga seolah Jokowi malah tampak menjadi bagian penting dari olgarki itu sendiri. Hal yang terindikasi kuat, dari majunya anak sulung dan menantunya sebagai pejabat publik. Tapi, benang merah dan sisi baiknya dalam lingkaran dalam Jokowi itu, ia sama sekali tak menunjukkan "kebutuhan akan gelar akademik".

Alasan keluarga Jokowi saya yakin sederhana, mereka akan menghindarkan diri pada trend buruk hari ini untuk "meninggikan gelar, merendahkan nalar". Mungkin mereka belajar dari apa yang sangat ditakutkan oleh filsafat modern yang mula-mula dipopulerkan kaum neuro-science bahwa biasanya mereka yang tidak memiliki kompetensi, mereka akan melebih-lebihkan segala sesuatu. Dimulai dari melebih-lebihkan dirinya sendiri...

NB: Saya cukup heran, dengan trend mengejar gelar akademi hari ini. Trend yang juga sekaligus diikuti dengan cara memanipulasi kompetensi. Dan hal ini, terjadi justru makin parah di dunia pendidikan. Tatkala guru-guru yang menjadi pengajar, rata-rata adalah justru mereka yang terdepan sebagai manipulator kompetensi. Karena itu jangan berharap dari model pendidikan seperti itu akan lahir generasi yang penuh integritas, kredibiltas apalagi otentisitas. Tulisan ini untuk menghormati tiga senior saya, yang saya pikir tanpa gelar akademik ini itu tapi sangat memiliki kompetensi, integritas, dan otentisitas. Pakyai Isni Wahyudi, Akang Pilot Iwan Hernawan Suriadikusumah, dan Pak Handogo Sukarno.

***