Perlombaan Vaksin Covid-19 Belum Usai, Imun Tubuh Harus Kuat! (2)

Nama besar, seperti Pfizer, belumlah jaminan. Namun, jika mengkonsumsi vaksin dengan efikasi rendah dan lebih tidak aman, seperti Sinovac, justru sebaiknya harus dihindari.

Selasa, 2 Februari 2021 | 14:47 WIB
0
130
Perlombaan Vaksin Covid-19 Belum Usai, Imun Tubuh Harus Kuat! (2)
Salah satu strain Virus Corona yang sudah mermutasi makin kuat sehingga bisa merusak sistem saraf juga. (Foto: Kompas.com)

Seorang teknisi rontgen di Orange County, California, Tim Zook, 60 tahun, meninggal empat hari setelah mendapat suntikan kedua vaksin Covid-19 Pfizer pada 5 Januari lalu. Dua jam setelah disuntik Zook mengalami nyeri perut dan gangguan pernafasan.

Dokter mengatakan bahwa ini sebagai reaksi peradangan (inflamasi). Zook memiliki riwayat hipertensi dan sedikit kelebihan berat badan. Kematian Zook sudah dilaporkan ke FDA dan CDC Selasa lalu.

Menurut Coroner, salah satu otoritas kesehatan di sana yang berhak menentukan penyebab kematian tak wajar, penyebab kematiannya tersebut belum bisa dipastikan dan uji toksisitas (keberadaan racun di dalam tubuh) akan memerlukan waktu beberapa bulan.

Isterinya tidak menyalahkan Pfizer, karena dia tahu suaminya mempercayai vaksin. Hanya saja dia berharap perlu dilakukan lebih banyak riset untuk reaksi alergi yang parah, yang meskipun insidennya jarang, namun pada beberapa kasus bisa menyebabkan kematian.

Sebelumnya seorang petugas kesehatan di Placer County, California, juga dilaporkan telah meninggal beberapa jam setelah mendapat vaksinasi Covid-19, namun belum diketahui vaksin mana yang diterimanya.

Orang ini hasil tesnya akhir Desember lalu menunjukkan positif Covid-19, dan dia (tetap) divaksinasi 21 Januari lalu. Tidak disebutkan apakah petugas vaksinasi mengetahui hasil tes itu sebelum memberikan suntikan. Belum ada berita lengkapnya.

ThrombocytoPenia

Menurut Arie Karimah, meninggalnya Michael, seorang dokter Obgyn di Florida, AS, setelah vaksinasi Covid-19 dosis pertama Pfizer diduga karena komplikasi penyakit ITP.

Immune ThrombocytoPenia-ITP adalah salah satu bentuk penyakit autoimun. Artinya sistem kekebalan tubuh bukannya menyerang musuh, misalnya bakteri atau virus, melainkan bagian tubuhnya sendiri yaitu trombosit atau platelet.

Istilah trombosit lebih populer untuk orang awam, sedangkan platelet untuk kalangan medis. ThrombocytoPenia artinya adalah kadar trombosit di dalam darah rendah, di bawah angka normalnya yaitu 150.000 - 400.000/mm3. Trombosit adalah salah satu bagian dari sel darah.

Dalam keadaan normal, jika terjadi infeksi oleh bakteri atau virus maka sel-sel darah putih akan menuju ke lokasi infeksi, dia keluar meninggalkan pembuluh darah menuju sel yang terinfeksi, atau ke kelenjar getah bening untuk membunuh bakteri atau virus.

Bekas keluarnya sel darah putih ini akan “ditambal” atau ditutup oleh trombosit, agar tidak terjadi pendarahan. “Kira-kira mirip dengan cara abang tambal ban ketika menambal ban tubeless yang bocor,” tulis Arie Karimah dalam akun FB-nya.

Hal yang sama juga terjadi jika ada cedera pada dinding pembuluh darah bagian dalam. Untuk mencegah terjadinya pendarahan trombosit akan berikatan dengan benang-benang fibrin, faktor pembekuan darah dan sel darah merah.

“Inilah yang dikenal sebagai proses pembekuan darah,” jelas Arie Karimah.

Jadi, bisa dibayangkan jika jumlah trombosit sangat rendah maka pendarahan bisa terjadi di mana-mana, karena proses masuknya bakteri dan virus ke dalam tubuh berlangsung terus-menerus, sehingga perlawanan oleh sel darah putih juga berlangsung 24 jam nonstop.

“Lubang-lubang” bekas keluarnya sel darah putih akan dibiarkan terbuka, sehingga plasma dan sel-sel darah merah bisa ikut keluar meninggalkan pembuluh darah. Inilah yang disebut dengan proses pendarahan.

Demikian juga cedera pada pembuluh darah: tidak terjadinya proses pembekuan darah akan menyebabkan terjadiya pendarahan.

Itulah sebabnya sangat mudah dipahami ketika dr. Michael angka trombositnya Nol, maka pendarahan bisa terjadi di seluruh tubuhnya. Terjadinya hemorrhagic stroke yang dialaminya dua hari sebelum meninggal menunjukkan terjadinya pendarahan di pembuluh darah di otak.

Darahnya akan membanjiri otaknya, dan mungkin ini yang menjadi penyebab kematiannya. Penyakit autoimun adalah penyakit yang langka. “Saya menyebutnya ini adalah penyakit yang termasuk dalam kategori takdir, yang tidak bisa dihindari,” ujar Arie Karimah.

Berbeda dengan kebanyakan penyakit lainnya, misal: hipertensi, diabetes, tifus atau radang sendi, yang lebih disebabkan oleh kesalahan pola hidup dan pola makan selama belasan atau puluhan tahun.

Artinya, orang Bisa Menghindari penyakit ini kalau mau memilih melakukan pola hidup dan pola makan yang sehat. Selain ITP, contoh yang termasuk dalam kategori penyakit autoimun adalah:

Lupus (SLE, Systemic Lupus Erythematosus) yang menyerang persendian, ginjal atau bagian lain; Diabetes mellitus tipe 1 yang menyerang kelenjar pankreas; Rheumatoid arthritis yang menyerang persendian, terutama jari tangan.

Menurutnya, pada penyakit autoimun dikenal istilah periode remisi dan eksaserbasi. Artinya, penyakit ini bisa tiba-tiba muncul (kambuh, eksaserbasi), dan bisa juga “menghilang” atau sembuh dengan sendirinya (remisi).

Jarak antara fase remisi dan eksaserbasi ini bisa dalam hitungan bulan, tahun atau bahkan belasan tahun. Cara mengontrolnya bisa dilakukan dengan pemeriksaan berkala trombosit, Rf (rheumatoid factor) atau jumlah leukosit.

Arie Karimah berpesan, yang perlu dihindari: Semua suplemen atau makanan dengan klaim bisa meningkatkan sistem imun (immune booster). Pengobatan: dengan kelompok steroid (deksametason, metilprednisolon) atau immunosuppressant (Sandimmun, Cellcept).

Risiko: lebih sering/mudah mengalami infeksi jika sedang dalam masa pengobatan dengan steroid atau immunosuppressant.

Menurut Arie Karimah, setelah mempelajari beberapa kasus reaksi alergi yang parah pada vaksinasi, CDC mengeluarkan informasi yang baru:

Mereka yang pernah mengalami reaksi alergi parah yang Tidak Berkaitan dengan vaksin atau obat-obatan (apa saja) yang disuntikkan, misalnya: alergi makanan, bulu binatang peliharaan, debu, atau lateks tetap masih bisa mendapat vaksinasi.

Mereka yang memiliki riwayat alergi pada obat-obatan (apa saja) yang diminum, memiliki riwayat keluarga dengan reaksi alergi parah, atau pernah mengalami reaksi alergi ringan terhadap vaksin bukan Covid-19 (misal: merah, gatal, dan Bukan anafilaksis), masih bisa mendapatkan vaksinasi.

“Kalau anda berpendapat vaksinasi ini mengerikan karena bisa menyebabkan kematian, let me tell you this!” ujarnya.

Dalam catatan Arie Karimah, ini adalah orang Ketiga yang meninggal setelah divaksinasi di AS. Jumlah orang yang telah divaksinasi di AS: lebih dari 24 juta.

Jumlah yang meninggal akibat Covid-19: 443,7 ribu orang, dari total 26,3 juta kasus Covid-19 di AS (7,96% populasi). Jadi persentase kematian akibat Covid di AS: 1,7% dari total kasus, 0,13% dari seluruh populasi, atau 0,14% dari orang yang tidak terinfeksi Covid.

Jadi, “Jauh Lebih Banyak kematian yang disebabkan oleh Covid-19 dibandingkan vaksin. Begitu cara membuat apple-to-apple comparison,” simpul Arie Karimah.

Jika menyimak kasus di Jerman dan AS tersebut, yang jelas, apapun produk vaksin Covid-19 saat ini diyakini masih belum aman untuk dikonsumsi. Ini menandakan bahwa “perlombaan” vaksin belumlah selesai.

Nama besar, seperti Pfizer, belumlah jaminan. Namun, jika mengkonsumsi vaksin dengan efikasi rendah dan lebih tidak aman, seperti Sinovac, justru sebaiknya harus dihindari.

(Selesai)

***